Pasal Penghinaan Presiden Bikin Masyarakat Takut Bersuara
A
A
A
JAKARTA - Wacana dihidupkannya kembali pasal Penghinaan Presiden yang muncul dalam Rancangan Undang-undang Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (RUU KUHP) yang disepakati bersama antara DPR dan Pemerintah menuai respons negatif di masyarakat.
Direktur Parameter Politik Indonesia, Adi Prayitno menganggap, ketentuan itu potensial menjadi pasal subversif yang bisa membungkan sikap kritis dan kebebasan berekspresi rakyat.
"Apa kategorinya menghina presiden dan wakil presiden itu? Kan tak jelas. Apa cover Majalah Tempo yang terbaru itu penghinaan presiden? Ini kan repot jadinya," kata Adi saat dihubungi SINDOnews, Jumat (20/9/2019). (Baca Juga: Pasal Penghinaan Presiden Berpotensi Memberangus Perbedaan Pemikiran
Menurut Adi, ada banyak daftar kekhawatiran masyarakat terkait dengan rencana dihidupkannya kembali pasal penghinaan terhadap Presiden. Menurut dia, meski hal itu delik aduan, namun bisa menjadi senjata pamungkas untuk membungkam suara-suara masyarakat yang berbeda pandangan dengan pemerintah. (Baca Juga: Disayangkan Pasal Penghinaan Presiden Dihidupkan Kembali
Pasal ini, kata Adi, seperti 'karet' yang bisa ditarik sesuka hati 'penguasa' dalam merespons berbagai kondisi sosial politik. Dampaknya, masyarakat akan takut bersuara di ruang publik karena pasal ini. Alih-alih, semangat RUU KUHP ingin mengakhiri undang-undang warisan kolonial Belanda, yang terjadi justeru akan kembali ke kolonoalisme itu sendiri. (Baca Juga: Menghina Presiden Bisa Diancam 5 Tahun Penjara
"Jangan sampai pasal itu justeru membunuh demorkasi yang tumbuh mekar. Terkesan elite tak mau dengar kritik rakyat. Dan pasal itu cukup potensial menjadi pasal karet," ujar analis politik asal UIN Jakarta ini. (Baca Juga: Pasal Penghinaan Presiden, Pengamat: Jadi Pasal Subversif, Bungkam Kritik Rakyat(mhd)
Direktur Parameter Politik Indonesia, Adi Prayitno menganggap, ketentuan itu potensial menjadi pasal subversif yang bisa membungkan sikap kritis dan kebebasan berekspresi rakyat.
"Apa kategorinya menghina presiden dan wakil presiden itu? Kan tak jelas. Apa cover Majalah Tempo yang terbaru itu penghinaan presiden? Ini kan repot jadinya," kata Adi saat dihubungi SINDOnews, Jumat (20/9/2019). (Baca Juga: Pasal Penghinaan Presiden Berpotensi Memberangus Perbedaan Pemikiran
Menurut Adi, ada banyak daftar kekhawatiran masyarakat terkait dengan rencana dihidupkannya kembali pasal penghinaan terhadap Presiden. Menurut dia, meski hal itu delik aduan, namun bisa menjadi senjata pamungkas untuk membungkam suara-suara masyarakat yang berbeda pandangan dengan pemerintah. (Baca Juga: Disayangkan Pasal Penghinaan Presiden Dihidupkan Kembali
Pasal ini, kata Adi, seperti 'karet' yang bisa ditarik sesuka hati 'penguasa' dalam merespons berbagai kondisi sosial politik. Dampaknya, masyarakat akan takut bersuara di ruang publik karena pasal ini. Alih-alih, semangat RUU KUHP ingin mengakhiri undang-undang warisan kolonial Belanda, yang terjadi justeru akan kembali ke kolonoalisme itu sendiri. (Baca Juga: Menghina Presiden Bisa Diancam 5 Tahun Penjara
"Jangan sampai pasal itu justeru membunuh demorkasi yang tumbuh mekar. Terkesan elite tak mau dengar kritik rakyat. Dan pasal itu cukup potensial menjadi pasal karet," ujar analis politik asal UIN Jakarta ini. (Baca Juga: Pasal Penghinaan Presiden, Pengamat: Jadi Pasal Subversif, Bungkam Kritik Rakyat(mhd)