Menghina Presiden Bisa Diancam 5 Tahun Penjara

Kamis, 19 September 2019 - 09:09 WIB
Menghina Presiden Bisa Diancam 5 Tahun Penjara
Menghina Presiden Bisa Diancam 5 Tahun Penjara
A A A
JAKARTA - Kritis kepada presiden atau wakil presiden boleh, tapi jangan sampai menghina. Jika ada yang nekat, mereka bisa dijerat pidana maksimal 5 tahun penjara atau denda paling banyak Rp500 juta.

Ancaman demikian bukan berlaku saat ini karena baru dimasukkan dalam Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) yang kemarin finalisasi revisinya sudah disepakati DPR dan pemerintah dalam rapat pengesahan tingkat pertama di Ruang Komisi III DPR, Senayan, Jakarta.

Seluruh fraksi di DPR sepakat terhadap RKUHP tersebut. Selanjutnya RKUHP ini akan dibawa ke rapat paripurna untuk disahkan pada 24 September 2019 mendatang. Selain pasal mengenai penghinaan presiden dan wakil presiden, RKUHP juga memuat sejumlah pasar kontroversial seperti perluasan pasal pidana asusila mengenai kumpul kebo dan LGBT serta pasal penghinaan terhadap hakim.

Pasal penghinaan terhadap presiden dan wakil presiden memicu kritik dari banyak kalangan lantaran Mahkamah Konstitusi (MK) pada 2006 pernah membatalkan Pasal 134 dan 136 KUHP tentang penghinaan kepala negara. MK beranggapan pasal tersebut bertentangan dengan Undang- Undang Dasar 1945.

Namun, pada 2015, Presiden Joko Widodo menghidupkan pasal penghinaan presiden dengan menyelipkan satu pasal mengenai penghinaan presiden dan wakil presiden dalam RUU KUHP ke DPR RI untuk disetujui menjadi KUHP pada 5 Juni 2015.

Dalam RKUHP ini, pasal penghinaan presiden dan wakil presiden tertera di Pasal 262 hingga 264. Pasal 262 berbunyi: setiap orang yang menyerang diri presiden atau wakil presiden, yang tidak termasuk dalam ketentuan pidana yang lebih berat, dipidana dengan pidana penjara paling lama 9 (sembilan) tahun.

Kemudian Pasal 263: (1) setiap orang yang di muka umum menghina presiden atau wakil presiden dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau denda paling banyak kategori IV dan (2) tidak merupakan penghinaan jika perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) jelas dilakukan untuk kepentingan umum, demi kebenaran, atau pembelaan diri.

Adapun Pasal 264: setiap orang yang menyiarkan, mempertunjukkan atau menempelkan tulisan atau gambar sehingga terlihat oleh umum, yang berisi penghinaan terhadap presiden atau wakil presiden dengan maksud agar isi penghinaan diketahui atau lebih diketahui umum dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau denda paling banyak kategori IV.

Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Menkumham) Yasonna Laoly mengakui sempat ada kekhawatiran beberapa lembaga semisal Komnas HAM, BNN, dan KPK terkait dengan pasal-pasal kontroversial. Namun dia memastikan pro-kontra yang muncul sudah bisa diselesaikan.

“Semua kami jelaskan dan yakinkan dengan baik, tidak akan terjadi. Baik (pasal) kesusilaan, penghinaan presiden, semua sudah dibahas tidak dalam satu hari. It’s almost four years. Kalau pakai cara berpikir ngotot-ngototan, sampai hari raya kuda tidak akan selesai dan kita akan terus pakai KUHP produk Belanda.Mau nggak? Di Belanda aja udah gak dipake,” ujar Yasonna seusai rapat kerja dengan Komisi III DPR di Senayan, Jakarta, kemarin.

Menteri dari PDIP ini pun mengungkapkan rasa leganya karena pembahasan RKUHP berlangsung empat tahun dengan berbagai kontroversi dan perdebatannya hingga akhirnya bisa dituntaskan.

Dia mengakui hasil yang diperoleh masih menimbulkan pro-kontra karena masyarakat Indonesia sangat heterogen dengan segala kompleksitas pandangan di dalamnya. “Tapi inilah yang terbaik buat kita dan sudah diselesaikan dalam pembicaraan tingkat 1.Mudah-mudahan rencananya mau dibawa ke paripurna tanggal 24 September 2019,” katanya.

Dia menandaskan, KUHP ini merupakan warisan yang cukup besar untuk bangsa ke depan setelah sekitar 102 tahun bangsa ini menggunakan hukum warisan kolonial Belanda.

“Ini betul-betul hukum Indonesia,” katanya. Anggota Komisi III DPR Arsul Sani juga memastikan pembahasan RKUHP ini sudah melalui banyak masukan. Banyak aspirasi dan pendapat dari berbagai kalangan masya rakat. “Kami telah mendengarkan. Sebagian besar apa yang disampaikan masyarakat telah terakomodasi dalam RKUHP ini,” katanya.

Soal adanya pasal yang mengatur soal penghinaan terhadap presiden yang berpotensi mengancam kebebasan berpendapat, Sekjen PPP itu mengatakan bahwa dalam KUHP yang ada sekarang, pasal penghinaan presiden memang sudah dibatalkan MK.

Dalam RUU KUHP sekarang, pasal tersebut merupakan tindak pidana biasa. Namun dia menyatakan DPR dan pemerintah sebagai pembentuk undang-undang harus menetapkan politik hukumnya. “Apakah kita kemudian membiarkan orang bisa menghina presiden kita seenaknya? Ada majalah yang misalnya presiden kita digambar kayak pinokio dan segala macam,” katanya.

Sebagai pembentuk undang-undang, lanjut dia, DPR dan pemerintah sepakat untuk mengatur agar demokrasi bisa berjalan dengan bagus dan sehat sehingga siapa pun tidak bisa dibiarkan seenaknya meng hina presiden.

“Nah kami pembentuk UU sepakat untuk tidak seperti itu. Kami sepakat untuk mengatakan harus tetap diatur supaya demokrasi kita, kritik kita sehat, tetap menjaga kultur kesantunan masyarakat kita. Tidak kemudian bisa mengata-ngatain presiden seenak perutnya,” katanya.

Sebelumnya Aliansi Masyarakat untuk Keadilan Demokrasi dan sejumlah masyarakat sipil menggelar aksi unjuk rasa di depan Gedung DPR pada Senin (16/9) untuk menolak rencana pengesahan RKUHP yang dinilai tidak melibatkan partisipasi masyarakat.

Mereka juga menilai beberapa pasal bertentangan dengan nilai demokrasi dan bisa memberangus kebebasan berpendapat. Dalam catatan aliansi, ada lima substansi dari banyak pasal yang dianggap masih bermasalah.

Masalah dimaksud meliputi penerapan hukuman mati, tindak pidana makar, pasal warisan kolonial, pidana terhadap proses peradilan, dan living law.

Pakar hukum tata negara Margarito Kamis, yang dikonfirmasi mengenai pasal kontroversial tersebut, menjawab bahwa kebebasan berpendapat adalah satu hal mutlak yang harus ada dalam suatu negara demokrasi.

Namun, kebebasan juga tidak bisa digunakan semaunya. Pada saat yang sama, pejabat publik, siapa pun orangnya, tidak bisa bersembunyi dari penghinaan sebagai konsekuensi figur publik. “Pejabat publik sebagai figur publik terbuka untuk dinilai, seberat apa pun penilaian itu,” katanya.

Menurut Margarito, pasal ini sebelumnya sudah pernah diputuskan MK. Karena itu, sudah hampir pasti nantinya akan menjadi masalah dengan kembali dibawa ke MK untuk diuji materi. “Sebab kebebasan mengekspresikan pendapat itu dimaksudkan untuk menjamin transparansi dan akuntabilitas dalam menyelenggarakan negara,” paparnya.

Namun, pasal ini juga dinilai berbahaya karena penghinaan yang bisa diproses, yaitu ketika ada pengaduan dari presiden. “Pembentuk undang-undang menyerahkan soal ini kepada kearifan presiden. Ini juga bahaya kalau presiden ini tergantung derajat kearifan. Kalau keseringan mengadu akan dibilang presiden ini tidak arif,” ujarnya. (Abdul Rochim)
(nfl)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.6675 seconds (0.1#10.140)