Polemik RUU KUHP, Pasal Penghinaan Presiden Dinilai Berpotensi Bikin Gaduh

Rabu, 09 Juni 2021 - 09:29 WIB
loading...
Polemik RUU KUHP, Pasal...
Pasal penghinaan presiden dan anggota DPR dinilai tidak diperlukan. Aturan tersebut dinilai justru hanya akan menimbulkan kegaduhan di tengah masyarakat. Ilustrasi/SINDOnews
A A A
JAKARTA - Pasal penghinaan presiden dan wakil presiden kembali muncul dalam Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RUU KUHP). Padahal, Mahkamah Konstitusi melalui putusan Nomor 013-022/PUU-IV/2006 pernah membatalkan pasal penghinaan presiden dan wakil presiden dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).

Dalam draf RUU KUHP terbaru, penghinaan terhadap martabat presiden/wapres dikenai ancaman maksimal 3,5 tahun penjara. Namun bila penghinaan itu dilakukan lewat media sosial atau sarana elektronik, ancamannya diperberat menjadi 4,5 tahun penjara.

Menyikapi hal itu, Dewan Pengurus Pusat Komite Nasional Pemuda Indonesia (DPP KNPI) menilai pasal penghinaan presiden dan anggota DPR tidak diperlukan. Aturan tersebut dinilai justru hanya akan menimbulkan kegaduhan di tengah masyarakat.

“Sebagaimana diketahui dalam perkembangan di era digitalisasi ini, ketentuan pidana penghinaan dalam UU ITE seringkali membuat gaduh di kalangan masyarakat karena dianggap seperti pasal karet yang banyak disalahgunakan untuk membedakan hinaan dan kritik,” tutur Ketua Bidang Hukum DPP KNPI Medya Rischa Lubis, Rabu (9/6/2021).

Dia mengatakan Presiden dan anggota DPR memang pemegang kekuasaan terhadap pemerintahan di Republik Indonesia. Kendati demikian, mereka bukan insan yang antikritik pun juga bukanlah merupakan simbol/lambang negara dimaksud dalam pasal 35 dan 36A UUD 45, sehingga tidak diperlukan adanya Pengkhususan pemidanaan terhadap keduanya.

“Hal inilah yang membuat MK menghapuskan pasal penghinaan terhadap presiden dalam KUHP kita di antaranya Pasal 134, Pasal 136 bis, dan Pasal 137 melalui Putusan No. 013-022/PUU-IV/2006 beberapa tahun silam,” tuturnya.

Dalam putusan tersebut, kata dia, MK berpendapat ketiga pasal itu menghalangi kebebasan berekspresi dan mengemukakan pendapat. Dengan adanya putusan MK tersebut maka tindak pidana penghinaan terhadap presiden dan wakil presiden menjadi delik aduan biasa, demikian pula berlaku kepada anggota DPR, MPR, dan DPD.

“Indonesia adalah negara hukum, dan semua warga negara berhak mendapat persamaan di muka hukum. KUHP sudah cukup mengatur pemidanaan terhadap orang termaktub dalam pasal 310 sampai dengan pasal 317,” ujarnya.

Bahkan, sambung dia, UU ITE sudah mengatur pidana penghinaan melalui media sosial dalam Pasal 27 UU ITE. “Buat apalagi RKUHP mengkhususkan pemidanaan terhadap presiden dan anggota DPR, sementara UU yang ada sudah cukup mengaturnya dengan konsep delik aduan yaitu apabila orang/pribadi (termasuk presiden dan anggota DPR) yang dirinya merasa terhina atas ucapan, tulisan, siaran seseorang dapat melaporkannya ke Kepolisian untuk ditindaklanjuti proses hukumnya,” urainya..

Hal sama diungkapkan Ketua Umum DPP KNPI Haris Pertama. Menurut dia, semua orang sama kedudukannya di mata hukum.

“Kami dari DPP KNPI menolak keras apabila disahkan RKUHP dalam Pasal 218 dan 220 mengenai penghinaan terhadap presiden, wakil presiden bahkan anggota DPR karena hanya akan membuat gaduh di masyarakat dan berpotensi kembali menjadi pasal karet dengan tujuan membungkam kritik terhadap kinerja penguasa,” katanya.
(dam)
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.2002 seconds (0.1#10.140)