Perbankan Perlu Upaya Lebih untuk Mendapatkan Likuiditas

Jum'at, 13 September 2019 - 07:45 WIB
Perbankan Perlu Upaya...
Perbankan Perlu Upaya Lebih untuk Mendapatkan Likuiditas
A A A
Akbar SuwardiPraktisi Perbankan

DAMPAK kenaikan suku bunga acuan atau BI 7-day (Reverse) Repo Rate yang dilakukan Bank Indonesia pada Semester II-2018 sepertinya baru terasa di pertengahan 2019 ini. Kenaikan suku bunga acuan sebesar 175 bps tersebut tentunya, sedikit atau banyak, akan mendorong suku bunga simpanan dan pinjaman perbankan dalam negeri. Sesuai dengan teori bahwa kenaikan suku bunga acuan dapat berdampak atau menekan demand kredit, sebaliknya dapat mendorong Dana Pihak Ketiga (DPK) seiring meningkatnya keinginan masyarakat untuk saving atau menyimpan uangnya.Hal tersebut terlihat dalam tren 3 (tiga) bulan terakhir di mana pertumbuhan kredit secara tahunan (yoy) terus mengalami penurunan, yaitu Mei (11,05%), Juni (9,94%), dan Juli (9,58%). Sebaliknya, pertumbuhan DPK secara tahunan (yoy) terus mengalami kenaikan, yaitu Mei (6,3%), Juni (7,42%), dan Juli (8,04%).
Kondisi tersebut tentu akan berdampak pada perbaikan tingkat Loan to Deposit Rasio (LDR) yang saat ini merupakan salah satu indikator utama likuiditas perbankan. Tercatat pada Juli 2019, nilainya sekitar 93,6%. Sementara pada bulan sebelumnya masih di level 96,19% (Mei) dan 94,98% (Juni). Namun, apakah kondisi membaiknya tingkat LDR terus berlanjut?

Kondisi dovish yang terus diembuskan oleh The Fed pada pertengahan 2019, mendorong BI, yang saat ini memiliki kebijakan pre-emptif dan Ahead The Curve , menurunkan BI7DRR sebelum The Fed menurunkan Fed Fud Rate (FFR). Dengan demikian, BI7DRR turun 25 bps menjadi 5,75 di Juli 2019.Kondisi tersebut berlanjut pada Agustus 2019. Setelah Juli 2019, The Fed terbukti menurunkan suku bunganya sebesar 25bps sehingga menjadi 2,0-2,25, dalam rapat RDG Agustus 2019, kembali otoritas moneter di Indonesia ini menurunkan suku bunga acuan (BI7DRR) sebesar 25 bps menjadi 5,5%. Lalu, bagaimana dampaknya? Tentunya berkembalikan dengan kenaikan suku bunga acuan yang dilakukan pada 2018, yaitu naiknya demand kredit dan menurunnya DPK sehingga terdapat potensi adanya tekanan likuiditas (meningkatnya LDR Perbankan) kembali di masa akan datang.Lalu, bagaimana perbankan dapat meningkatkan likuiditas ke depannya? Tentu perbankan butuh terobosan, upaya, inovasi, serta program yang lebih karena saat ini LDR perbankan sangat betah bertahan di sekitar 93%. Selain itu, perbankan juga butuh dukungan kebijakan serta relaksasi dari otoritas untuk dapat meningkatkan likuiditasnya.
Pada 2018, rasio DPK perbankan Indonesia terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) baru sekitar 38% atau relatif kecil dibandingkan dengan negara tetangga seperti Singapura yang sebesar 127,5%, Malaysia sekitar 138,2%, Thailand sekitar 82,6%, dan Filipina 69,1%.

Di Luar Sistem Salah satu indikator yang membuat share DPK rendah adalah masih minimnya jumlah uang atau dana yang tercipta dari perekonomian masuk ke dalam perbankan. Misalnya pada 2018, jumlah nominal PDB mencapai Rp14.840 triliun atau bertambah sekitar Rp1.250 triliun bila dibandingkan dengan PDB Nominal pada 2017 sebesar Rp13.590 triliun. Namun, berdasarkan data Statistik Perbankan Indonesia (SPI) selama 2018, nominal DPK perbankan hanya mampu bertambah sekitar Rp341 triliun atau hanya 27,3% dari bertambahan nominal PDB pada 2018.

Selama 2019 (Desember 2018-Juni 2019), nominal DPK perbankan hanya mampu bertambah sekitar Rp185,7 triliun atau tumbuh 3,2% (ytd). Bila di-annualized, nilainya hanya sebesar Rp371,4 triliun atau mampu tumbuh sekitar 7,0% (yoy).

Bila dibandingkan dengan kondisi dua tahun terakhir, share nominal penambahan DPK perbankan pada 2018 jauh lebih rendah. Tercatat pada 2017 share tersebut sebesar 38,2%, sedangkan pada 2016 mencapai 48,4%. Dengan demikian, masih banyak nominal penambahan perekonomian Indonesia yang tidak masuk ke sistem perbankan untuk menjadi DPK.

Uang atau dana yang tercipta dari perekonomian tersebut dapat saja mengalir ke luar negeri untuk membayar barang impor, pembayaran deviden atas hasil laba, masih dalam bentuk kas yang beredar di masyarakat, serta ditaruh dalam produk keuangan berupa obligasi, saham, dan lainnya di luar sistem perbankan.

Hal tersebut sejalan dengan beragam pendapat analis dan ekonom di Indonesia dalam mengomentari faktor apa yang menjadi penyebab tertahannya pertumbuhan DPK perbankan di tengah tingginya permintaan kredit. Setidaknya terdapat 3 (tiga) faktor. Pertama, defisit neraca transaksi berjalan (current account deficit atau CAD) dan defisit neraca perdagangan yang terjadi di Indonesia dari tahun-tahun sebelumnya hingga 2019.

Kedua, terjadi shifting atau peralihan dana nasabah yang sebelumnya disimpan di perbankan, baik tabungan atau deposito, ke instrumen investasi yang dapat memberi return atau imbal hasil yang lebih baik, terutama di obligasi pemerintah.

Ketiga, kebijakan regulator tentang minimal kepemilikan Surat Berharga Negara (SBN) sebesar 30% untuk dana pensiun maupun asuransi yang berlaku sejak akhir 2017.

Upaya Lebih Sesuai dengan penyebab atau kondisi terbatasnya pertumbuhan DPK dan demand kredit yang diperkirakan akan meningkat maka perbankan Indonesia butuh upaya yang lebih untuk meningkatkan likuiditasnya di antaranya: Pertama , bank harus meningkatkan upaya untuk memasukkan uang kartal (cash ) yang dipegang masyarakat di luar bank umum dan BPR ke dalam sistem perbankan. Berdasarkan BI di dalam Laporan Analisis Uang Beredar April 2019, tercatat jumlah uang cash tersebut sebanyak Rp590 triliun atau naik 7,4% dibandingkan April 2018.

Alhasil, bila dibandingkan dengan jumlah penduduk di Indonesia saat ini, yaitu sekitar 270 juta jiwa, orang Indonesia, dari bayi hingga dewasa, rata-rata memegang uang berupa cash sekitar Rp2,1 juta per jiwa. Tentunya hal tersebut hanya dapat dilakukan dengan meningkatkan literasi keuangan yang saat ini levelnya masih di sekitar 40% dan mendorong terciptanya cash less society. Di sini, perbankan sangat perlu bantuan atau dukungan dari regulator, pemerintah pusat dan pemerintah daerah dalam bentuk insentif dan relaksasi kebijakan.

Kedua, perbankan Indonesia harus mendiversifikasi produk untuk memastikan Dana Hasil Ekspor (DHE) tetap berada di perbankan Indonesia. Tentunya, diperlukan kolaborasi antara pemerintah dan industri perbankan dalam membuat produk yang menarik serta didukung kebijakan atau insentif. Selain itu, peningkatan nilai ekspor untuk menambah surplus perdagangan Indonesia melalui diversifikasi produk, menambah negara tujuan ekspor, serta mengekspor produk yang memiliki nilai ekonomi yang tinggi juga sangat perlu dilakukan.

Di berbagai negara sudah terbukti bahwa surplus perdagangan memiliki korelasi positif dengan rasio DPK terhadap PDB pada sebuah negara. Oleh karenanya, seiring dengan meningkatkan surplus perdagangan maka likuiditas di dalam negeri akan semakin meningkat.

Ketiga, perbankan dapat menarik dana atau investasi dari luar negeri. Seperti diketahui bersama bahwa sources of funding di luar negeri masih sangat besar. Namun demikian, sangat diperlukan pendalaman pasar keuangan domestik seperti saham, obligasi, serta produk-produk perbankan lainnya.

Di sisi lain, terdapat dukungan dari regulator yang diperlukan oleh perbankan yang sifatnya segera dilakukan seperti percepatan realisasi pengeluaran atau belanja pemerintah daerah dan pusat sehingga dana atau likuiditas dapat cepat kembali ke sistem perbankan. Selain itu, relaksasi beberapa aturan atau mengubah indikator likuiditas perbankan yang dapat mengadopsi bahwa sumber likuiditas perbankan tidak hanya DPK, namun juga obligasi dan lainnya.

Seperti yang diketahui bersama, pertumbuhan kredit perbankan memiliki pengaruh yang signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi. Namun, kondisi tersebut sangat ditentukan dengan kondisi likuiditasnya. Oleh sebab itu, perbankan perlu upaya yang lebih untuk menjaga likuiditasnya. Inovasi produk dan program perbankan untuk meningkatkan literasi keuangan masyarakat sangat dituntut saat ini.
(mhd)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.1019 seconds (0.1#10.140)