Produk Halal, Konstitusi, dan Pelaksanaan UU JPH

Rabu, 21 Agustus 2019 - 06:13 WIB
Produk Halal, Konstitusi,...
Produk Halal, Konstitusi, dan Pelaksanaan UU JPH
A A A
Ikhsan Abdullah
Direktur Eksekutif Indonesia Halal Watch

ALQURAN sebagai petunjuk yang benar (hudal lilmuttaqien) bagi semua umat, di dalamnya terkandung seruan bagi semua umat manusia untuk mengonsumsi makanan halal. Alquran dalam Surah Al Baqarah: 168 secara tegas menyerukan kepada semua umat, ya Ayyuhannasu qullu mima filardi halalan toyyiban.

Ini seruan kepada semua umat manusia tanpa batas dan golongan untuk memakan makanan yang halal saja. Seruan tersebut juga terdapat pada Surah Imamat: 14 yang secara perinci mengatur mengenai hewan yang boleh dimakan dan tidak boleh dimakan.

Jadi artinya, isu halal itu sudah muncul bahkan pada masa Nabi Isa AS; atau dengan kata lain, isu dan hukum halal dan haram terhadap makanan dan minuman itu telah diatur dan dianut (syaruman qoblana) oleh umat-umat terdahulu, bukan umat Islam saja.

Mengapa terdapat aturan makanan dan minuman yang dihalalkan dan yang tidak dibolehkan (diharamkan), karena diyakini makanan dan minuman yang dihalalkan itu mengandung kebaikan (toyyib), sepadan dengan wholesome dalam terminologi bahasa Inggris yang artinya mengandung keberkahan. Dan sebaliknya, makanan dan minuman yang tidak halal dan yang haram memiliki dampak yang tidak baik bagi tubuh dan jiwa manusia.

Bagi bangsa Indonesia yang memilih UUD 1945 sebagai hukum dasar dan sumber hukum sekaligus konstitusi negara, telah disepakati dan ditetapkan pada 18 Agustus 1945 sebagai hari bersejarah karena untuk pertama kalinya bangsa Indonesia memiliki konstitusi, ditandai dengan diberlakukannya UUD 45 untuk pertama kalinya.

Di dalam UUD 45, jaminan negara terhadap warga negaranya untuk melaksanakan ibadah dan keyakinannya telah diatur pada pasal 29 yang berbunyi: Negara menjamin warga negaranya untuk melaksanakan ibadahnya menurut agama dan kepercayaannya. Bentuk dari jaminan negara sesuai dengan ketentuan pasal 29 tersebut adalah diundangkannya U No 33/2014 tentang Jaminan Produk Halal (UU JPH) pada 17 Oktober 2014 melalui Lembaran Negara Nomor 295 Tahun 2014.



Di dalam konsideran UU JPH tersebut sangat jelas disebut, bahwa negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu. Bahwa lahirnya UU JPH adalah sebagai bentuk jaminan dan perlindungan negara kepada warga negaranya untuk memperoleh produk halal.

Hal ini sejalan dengan kepentingan umat Islam sebagai mayoritas penduduk di negeri ini, yakni 87% dari 260 juta adalah beragama Islam, yang ajarannya mendasarkan bahwa makan dan minum itu adalah ibadah, selain untuk memenuhi hajat hidup. Lebih lanjut, komitmen negara selain dengan UU JPH, pemerintah menerbitkan Peraturan Pelaksanaan UU JPH, yakni PP No 31/2019 yang diundangkan pada 3 Mei 2019 dan dimuat dalam Lembaran Negara Nomor 88 dan Tambahan Lembaran Negara Nomor 6344.

Dengan demikian, UU JPH secara hukum telah efektif berlaku sebagaimana Ketentuan UU JPH Pasal 4 jo Pasal 67 yang menegaskan bahwa semua produk yang beredar di masyarakat wajib bersertifikasi halal. Kewajiban bersertifikasi halal dimulai lima tahun sejak berlakunya UU JPH. 


Sebagaimana penulis sampaikan di atas, bahwa UU JPH telah diundangkan pada 17 Oktober 2019. Itu berarti UU JPH dan ketentuan wajib halal atau mandatori sertifikasi halal berlaku efektif mulai 17 Oktober 2019 atau lebih kurang dua bulan lagi.



Lalu, siapa yang akan menyelenggarakan sistem jaminan halal dan sertifikasi halal? Sesuai bunyi ketentuan Pasal 5 angka (3) UU JPH, sertifikasi halal dilakukan oleh suatu badan yakni Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal atau BPJPH, yang telah resmi dibentuk pada 14 Oktober 2017.



Pascadibentuknya BPJPH, maka penyelenggara sertifikasi halal yang selama 30 tahun dilakukan oleh Lembaga Pengkajian Pangan Obat dan Makanan Majelis Ulama Indonesia (LPPOM MUI) beralih kewenangannya ke BPJPH. Lima tahun sudah UU JPH diundangkan dan dua tahun BPJPH telah dibentuk, lalu apakah amanat UU JPH untuk wajib sertifikasi halal dapat dilaksanakan?

Lalu, bagaimana BPJPH melaksanakan undang-undang? Inilah the big question mark (tanda tanya besar), mengingat sampai hari ini masyarakat dan dunia usaha serta kalangan industri belum paham bagaimana roadmap BPJPH dalam mengimplementasikan tata kelola sertifikasi halal di Indonesia yang selama ini telah diselenggarakan dengan baik dan sukarela oleh LPPOM MUI.



Ada berbagai catatan mendasar yang wajib dipenuhi oleh BPJPH tanpa kecuali, yakni pertama, lembaga pemeriksa halal telah terbentuk dan telah mendapatkan akreditasi oleh BPJPH dan MUI sesuai Pasal 13 UU JPH. Kedua, syarat Lembaga Pemeriksa Halal (LPH) wajib memiliki minimal tiga auditor halal yang telah disertifikasi oleh MUI.



Ketiga, standar halal yang harus jelas akan mengacu ke standar yang saat ini telah berlaku dan nyaman bagi dunia usaha dan UKM, yakni HAS 23000. Apakah membuat standar baru berarti dunia usaha dan UKM harus menyesuaikan lagi dengan pembaruan sistem jaminan halal di lingkungan perusahaannya?



Keempat, sistem pendaftarannya juga hal yang sangat penting disosialisasikan dan diuji publik, mengingat BPJPH tidak memiliki perwakilan di provinsi dan masih berada tingkat pusat. Dengan demikian, apakah juga mempergunakan sistem daring? Bila melayani permohonan registrasi terpusat di Jakarta, apakah sistemnya mampu melayani permohonan registrasi seluruh wilayah Indonesia mengingat sesuai UU yang berwenang melakukan pendaftaran sertifikasi halal hanya BPJPH?



Kelima, tarif sertifikasi halal yang sampai saat ini belum juga ditetapkan besaran biayanya. Apakah sama untuk semua produk atau apakah ada sistem kluster? Bagaimana basis pengenaan tarifnya apakah per produk, apakah per macam dan jenis produk, juga bagaimana dengan tarif sertifikasi halal untuk UMKM?



Keenam, kerja sama pemfatwaan produk halal amatlah penting segera dilakukan. Bagaimana alurnya dari pendaftaran oleh BPJPH dan dari BPJPH didistribusikan ke LPH, dan dari LPH apa kembali ke BPJPH atau langsung ke MUI untuk dimintakan fatwa atas produk yang telah melewati pemeriksaan?

Setelah dikeluarkannya fatwa halal atas produk, apakah kembali ke BPJPH? Alur ini harus sudah menjadi sistem yang teruji dengan baik karena jangan sampai trial and error. Jika itu dilakukan, dampaknya akan menjadi kacau dan merugikan masyarakat dan dunia usaha.



Ketujuh, kerja sama dengan lembaga halal luar negeri juga harus diperjelas, karena peraturan pemerintah hanya memberikan kewenangan kepada BPJPH dan Kementerian Luar Negeri, padahal ini berkaitan dengan standar halal yang selama ini berbasis fatwa. Sebanyak 46 lembaga sertifikasi halal luar negeri dari 23 negara telah merujuk Fatwa MUI dalam permintaan pengakuan atau rekognisi maupun saling keberpengakuan.



Kedelapan, apakah BPJPH juga akan mempergunakan logo halal MUI yang selama ini sudah dikenal telah menjadi image produk halal bagi masyarakat? Ini mengingat logo bertali-temali dengan kepercayaan umat, image dan nilai-komersial yang menyatu. Apakah BPJPH akan membuat logo baru?

Ini sangat penting. Belum lagi berkaitan dengan pelaku usaha dan perusahaan besar yang saat ini telah memiliki cadangan kemasan berlogo halal MUI jutaan lembar, ini tentu harus dipertimbangkan dengan bijak. Jangan sampai BPJPH membuat kebijakan yang dampaknya menyesalkan pelaku usaha.



Kesembilan, soal pemberian sertifikasi halal. Ini juga sangat penting bagaimana BPJPH menerbitkan sertifikasi halal karena menyangkut keamanan dan kepastian. Jangan sampai justru menimbulkan kerawanan berupa sertifikasi aspal (asli tapi palsu) yang beredar dan sulit dideteksi karena tidak memiliki sistem dan mekanisme kontrol yang berbasis teknologi.



Beberapa catatan di atas kiranya perlu mendapatkan perhatian dari BPJPH sebelum melangkah menjadi Badan Sertifikasi Halal serta menerima pendaftaran sertifikasi halal pada 17 Oktober mendatang. Ini penting mengingat prinsip sertifikasi halal itu berbasis perlindungan, keadilan, kepastian, akuntabilitas dan transparansi, efektivitas, efisiensi, dan profesionalitas. 



Produk halal telah diproklamasikan sejak 30 tahun, lantas apakah diperlukan uji ulang sistem sertifikasi halal untuk yang kedua kali? Bukankah yang kita perlukan saat ini adalah menjadikan sertifikasi halal sebagai alat untuk mendorong industri halal agar kita memperoleh manfaatnya?
(poe)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.9806 seconds (0.1#10.140)