Harus Ada Penghargaan bagi yang Jujur Melapor LHKPN
A
A
A
Tony Hasyim
Wartawan Hukum dan Politik
DALAM pidato kenegaraan di hadapan MPR, Jumat, 16 Agus tus 2019, Presiden Joko Widodo (Jokowi) secara gamblang menyampaikan visinya yang bertajuk ”Visi Indonesia Maju”. Pesan penting yang saya tangkap dari pidato tersebut Jokowi akan membongkar semua regulasi yang selama ini menghambat krea tivitas, inovasi, dan percepatan bangsa Indonesia dalam menghadapi persaingan global.
Saya setuju dengan pernyataan Presiden Jokowi. Banyak peraturan perundang-undangan yang harus dibongkar karena mempersempit ruang gerak masyarakat, para pelaku usaha, termasuk penyelenggara negara sendiri. Pada 2016 Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo mengungkapkan, Indonesia memiliki lebih dari 43.000 peraturan perundang-undangan, belum termasuk peraturan gubernur, peraturan wali kota, hingga peraturan kepala desa atau lurah.
Sedikitnya ada lima langkah strategis yang tampak akan dilakukan Jokowi melalui pidatonya. Pertama, melakukan deregulasi. Kedua, melakukan debirokratisasi. Ketiga, reformasi perundang-undangan secara besar-besaran.
Keempat, terus mencegah korupsi tanpa mengganggu keberanian berinovasi. Kelima, memanfaatkan teknologi yang membuat hal rumit menjadi sederhana. Kunci keterpurukan Indonesia selama ini ter letak pada mental penyelenggara negara. Sampai ada ungkapan yang menyatakan, ”Kalau bisa di persulit, kenapa di permudah”.
Begitulah mindset sebagian penyelenggara negara hari ini. Tapi, tulisan ini ingin membahas parameter kinerja penegak hukum, khususnya dalam pemberantasan korupsi. Mengawali pembahasan saya mengutip pernyataan Presiden Jokowi tentang parameter penegakan hukum. ”Keberhasilan para penegak hukum bukan hanya diukur dari berapa kasus yang diangkat dan bukan hanya berapa orang dipenjarakan. Harus juga diukur dari berapa potensi pelanggaran hukum dan pelanggaran HAM bisa dicegah, berapa potensi kerugian negara yang bisa diselamatkan. Ini perlu kita garis bawahi.”
Dalam konteks tersebut, penulis teringat Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Sejak lembaga ini beroperasi pada 2004, hingga Agustus 2019 ini sudah ada 950 oknum penyelenggara negara yang ditindak (ditangkap dan dipidanakan). Muncul pertanyaan, mengapa para pejabat masih tidak kapok-kapok korupsi?
Pencegahan Korupsi Tidak Sistematis
Beberapa waktu lalu seorang perwira tinggi Polri mem persoalkan aturan wajib menyetor Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN) ke KPK. Namanya Irjen Polisi Dharma Pongrekun, sekarang menjabat wakil kepala Badan Siber dan Sandi Negara (BSSN).
Kebetulan yang bersangkutan sekarang sedang mengikuti seleksi calon pimpinan KPK. Dharma sendiri sudah menyetor LHKP ke KPK pada 13 Maret 2019. Tapi, ia berpandangan aturan dan sistem LHKPN ini harus diperbaiki. Harus ada terobosan baru dalam aturan LHKPN.
Yang menarik, Dharma menyebut aturan LHKPN yang berlaku sekarang ini adalah konsep ateisme. Pernyataan ini lalu menimbulkan kontroversi sampai sekarang. Tidak banyak pejabat di Indonesia yang berani mem persoalkan aturan wajib menyetor LHKPN ini.
Sebelumnya, pada 2015, Komjen Polisi Budi Waseso (Buwas) juga pernah mempersoalkan LHKPN ketika menjabat kepala Bareskrim Polri. Menurut Buwas, jika dia sendiri yang mengisi dia bisa tidak objektif.
Awal Maret 2019 Wakil Ketua DPR Fadli Zon pernah mengusulkan agar KPK menghapus aturan LHKPN dan fokus kepada pemeriksaan harta kekayaan penyelenggara negara melalui data pajaknya. Tapi, akibatnya Fadli di-bully.
Menurut Wakil Ketua KPK Alexander Marwata, usulan Fadli tersebut tidak bisa dilaksanakan karena surat pem beritahuan tahunan (SPT) pajak sifatnya sangat rahasia dan tidak bisa diakses semua orang. Sedangkan LHKPN ditujukan agar kepemilikan harta seorang penyelenggara negara bisa dicek dan diklarifikasi kebenarannya. Argumen pimpinan KPK ini sebetulnya mudah disangkal.
Selama ini dalam penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan terhadap tindak pidana korupsi, KPK bisa meminta keterangan kepada bank atau lembaga keuangan lain tentang keadaan uang tersangka atau terdakwa. Jika KPK bisa menembus kerahasiaan data perbankan, seharusnya KPK juga bisa menembus kerahasiaan data pajak.
Tinggal koordinasi dengan Menteri Keuangan. Apa sulitnya? Dalam situs resmi KPK disebutkan, ada tiga dasar hukum LHKPN. Pertama, UU Nomor 28/1999 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme. Kedua, UU Nomor 30/2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Ketiga, Peraturan Komisi Pemberantasan Korupsi Nomor 7/2016 tentang Tata Cara Pendaftaran, Pengumuman dan Pemeriksaan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara.
Masih menurut informasi di situs KPK, bahwa penyelenggara negara yang tidak memenuhi kewajiban LHKPN sebagaimana diatur dalam UU Nomor 28/1999, maka berdasarkan Pasal 20 udang-undang yang sama akan dikenai sanksi administratif sesuai perundang-undangan yang berlaku. Jadi, aturan ini hanya mengandung sanksi administratif. Tidak ada sanksi pidana.
Gagasan Dharma Pongrekun
Penulis kebetulan kenal Dharma waktu dia ikut mendaftar jadi calon pimpinan KPK pada 2011. Sebagai catatan, Dharma juga ikut mendaftar dalam seleksi capim KPK pada 2015. Tahun ini (2019) dia mendaftar lagi. Bahwa kemudian dia gagal lagi, itu soal lain.
Waktu masih berpangkat AKBP, Dharma memang sudah merasa risau dengan kondisi peraturan perundang-undangan di Indonesia karena yang lahir berdasarkan pesanan. Waktu itu, menurut catatan Dharma, ada belasan peraturan yang mengandung konsep ateisme.
Antara lain yang terkait masalah narkoba, perburuhan, pertambangan, investasi, pertanahan, perpajakan, perbankan, dan sebagainya. Menurut dia, aturan LHKPN itu memang konsep ateisme karena tidak sesuai dengan konsep keadilan berdasarkan Tuhan Yang Maha Esa.
Dalam definisi Dharma, konsep ateisme adalah segala konsep yang tidak mempertimbangkan ajaranajaran Tuhan di dalamnya. Menurut Dharma, seluruh peraturan perundang-undangan di Indonesia harus bersumber kepada sila pertama Pancasila, Ketuhanan Yang Maha Esa.
Dengan begitu, seluruh peraturan perundang-undangan di Indonesia akan menjamin tercapainya tujuan berbangsa dan bernegara seperti yang terkandung dalam sila kedua, ketiga, keempat, dan kelima dari Pancasila. Dharma berpendapat aturan LHKPN yang berlaku sekarang ini harus diperbaiki karena tidak mencerminkan keadilan berdasarkan ajaran Tuhan. Menurut Dharma, peratur an yang berlandaskan Ketu hanan Yang Maha Esa adalah peraturan yang menerapkan reward dan punishment terhadap orang yang mematuhi dan melanggar setiap aturan.
Sejauh ini aturan LHKPN yang berlaku hingga sekarang hanya berisi punishment (sanksi). Yang mana aturan tersebut mengatakan, pejabat/calon pejabat yang tidak menyetor LHKPN ke KPK akan dikenai sanksi oleh instansi masing-masing. Sebaliknya, penyelenggara negara yang menyetor dan mengisi LHKPN dengan jujur tidak diberi penghargaan apa pun.
Menurut Dharma, jika aturan LHKPN ini mau diberlakukan seharusnya ada menambahkan satu ketentuan. Misalnya, setiap penyelenggara negara yang disiplin dan jujur dalam melaporkan LHKPN akan mendapat penghargaan oleh masing-masing instansi.
Terobosan tersebut sebetulnya sangat sederhana, tapi sangat strategis dalam membangun sistem pencegahan korupsi. Dia berasumsi jika setiap pejabat yang jujur diberi penghargaan, berupa promosi atau kenaikan pangkat, semua pejabat akan berlomba-lomba menjadi orang jujur. Dengan demikian, lambat laun seluruh pos penyelenggara negara akan terisi oleh orang jujur sehingga korupsi bisa dicegah sejak dini pada semua lini.
Mekanisme seperti yang disebut Dharma tersebut memang tidak berjalan. Sampai saat ini masih banyak promosi dan kenaikan pangkat yang dilakukan secara ”transaksional”. Akibatnya, kebanyakan pejabat terpaksa harus korupsi supaya punya uang untuk menyuap atasannya atau instansi yang berwenang dalam promosi dan kenaikan pangkat. Contoh terakhir adalah kasus jual beli jabatan di lingkungan Kementerian Agama yang berhasil dibongkar KPK.
Wartawan Hukum dan Politik
DALAM pidato kenegaraan di hadapan MPR, Jumat, 16 Agus tus 2019, Presiden Joko Widodo (Jokowi) secara gamblang menyampaikan visinya yang bertajuk ”Visi Indonesia Maju”. Pesan penting yang saya tangkap dari pidato tersebut Jokowi akan membongkar semua regulasi yang selama ini menghambat krea tivitas, inovasi, dan percepatan bangsa Indonesia dalam menghadapi persaingan global.
Saya setuju dengan pernyataan Presiden Jokowi. Banyak peraturan perundang-undangan yang harus dibongkar karena mempersempit ruang gerak masyarakat, para pelaku usaha, termasuk penyelenggara negara sendiri. Pada 2016 Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo mengungkapkan, Indonesia memiliki lebih dari 43.000 peraturan perundang-undangan, belum termasuk peraturan gubernur, peraturan wali kota, hingga peraturan kepala desa atau lurah.
Sedikitnya ada lima langkah strategis yang tampak akan dilakukan Jokowi melalui pidatonya. Pertama, melakukan deregulasi. Kedua, melakukan debirokratisasi. Ketiga, reformasi perundang-undangan secara besar-besaran.
Keempat, terus mencegah korupsi tanpa mengganggu keberanian berinovasi. Kelima, memanfaatkan teknologi yang membuat hal rumit menjadi sederhana. Kunci keterpurukan Indonesia selama ini ter letak pada mental penyelenggara negara. Sampai ada ungkapan yang menyatakan, ”Kalau bisa di persulit, kenapa di permudah”.
Begitulah mindset sebagian penyelenggara negara hari ini. Tapi, tulisan ini ingin membahas parameter kinerja penegak hukum, khususnya dalam pemberantasan korupsi. Mengawali pembahasan saya mengutip pernyataan Presiden Jokowi tentang parameter penegakan hukum. ”Keberhasilan para penegak hukum bukan hanya diukur dari berapa kasus yang diangkat dan bukan hanya berapa orang dipenjarakan. Harus juga diukur dari berapa potensi pelanggaran hukum dan pelanggaran HAM bisa dicegah, berapa potensi kerugian negara yang bisa diselamatkan. Ini perlu kita garis bawahi.”
Dalam konteks tersebut, penulis teringat Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Sejak lembaga ini beroperasi pada 2004, hingga Agustus 2019 ini sudah ada 950 oknum penyelenggara negara yang ditindak (ditangkap dan dipidanakan). Muncul pertanyaan, mengapa para pejabat masih tidak kapok-kapok korupsi?
Pencegahan Korupsi Tidak Sistematis
Beberapa waktu lalu seorang perwira tinggi Polri mem persoalkan aturan wajib menyetor Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN) ke KPK. Namanya Irjen Polisi Dharma Pongrekun, sekarang menjabat wakil kepala Badan Siber dan Sandi Negara (BSSN).
Kebetulan yang bersangkutan sekarang sedang mengikuti seleksi calon pimpinan KPK. Dharma sendiri sudah menyetor LHKP ke KPK pada 13 Maret 2019. Tapi, ia berpandangan aturan dan sistem LHKPN ini harus diperbaiki. Harus ada terobosan baru dalam aturan LHKPN.
Yang menarik, Dharma menyebut aturan LHKPN yang berlaku sekarang ini adalah konsep ateisme. Pernyataan ini lalu menimbulkan kontroversi sampai sekarang. Tidak banyak pejabat di Indonesia yang berani mem persoalkan aturan wajib menyetor LHKPN ini.
Sebelumnya, pada 2015, Komjen Polisi Budi Waseso (Buwas) juga pernah mempersoalkan LHKPN ketika menjabat kepala Bareskrim Polri. Menurut Buwas, jika dia sendiri yang mengisi dia bisa tidak objektif.
Awal Maret 2019 Wakil Ketua DPR Fadli Zon pernah mengusulkan agar KPK menghapus aturan LHKPN dan fokus kepada pemeriksaan harta kekayaan penyelenggara negara melalui data pajaknya. Tapi, akibatnya Fadli di-bully.
Menurut Wakil Ketua KPK Alexander Marwata, usulan Fadli tersebut tidak bisa dilaksanakan karena surat pem beritahuan tahunan (SPT) pajak sifatnya sangat rahasia dan tidak bisa diakses semua orang. Sedangkan LHKPN ditujukan agar kepemilikan harta seorang penyelenggara negara bisa dicek dan diklarifikasi kebenarannya. Argumen pimpinan KPK ini sebetulnya mudah disangkal.
Selama ini dalam penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan terhadap tindak pidana korupsi, KPK bisa meminta keterangan kepada bank atau lembaga keuangan lain tentang keadaan uang tersangka atau terdakwa. Jika KPK bisa menembus kerahasiaan data perbankan, seharusnya KPK juga bisa menembus kerahasiaan data pajak.
Tinggal koordinasi dengan Menteri Keuangan. Apa sulitnya? Dalam situs resmi KPK disebutkan, ada tiga dasar hukum LHKPN. Pertama, UU Nomor 28/1999 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme. Kedua, UU Nomor 30/2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Ketiga, Peraturan Komisi Pemberantasan Korupsi Nomor 7/2016 tentang Tata Cara Pendaftaran, Pengumuman dan Pemeriksaan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara.
Masih menurut informasi di situs KPK, bahwa penyelenggara negara yang tidak memenuhi kewajiban LHKPN sebagaimana diatur dalam UU Nomor 28/1999, maka berdasarkan Pasal 20 udang-undang yang sama akan dikenai sanksi administratif sesuai perundang-undangan yang berlaku. Jadi, aturan ini hanya mengandung sanksi administratif. Tidak ada sanksi pidana.
Gagasan Dharma Pongrekun
Penulis kebetulan kenal Dharma waktu dia ikut mendaftar jadi calon pimpinan KPK pada 2011. Sebagai catatan, Dharma juga ikut mendaftar dalam seleksi capim KPK pada 2015. Tahun ini (2019) dia mendaftar lagi. Bahwa kemudian dia gagal lagi, itu soal lain.
Waktu masih berpangkat AKBP, Dharma memang sudah merasa risau dengan kondisi peraturan perundang-undangan di Indonesia karena yang lahir berdasarkan pesanan. Waktu itu, menurut catatan Dharma, ada belasan peraturan yang mengandung konsep ateisme.
Antara lain yang terkait masalah narkoba, perburuhan, pertambangan, investasi, pertanahan, perpajakan, perbankan, dan sebagainya. Menurut dia, aturan LHKPN itu memang konsep ateisme karena tidak sesuai dengan konsep keadilan berdasarkan Tuhan Yang Maha Esa.
Dalam definisi Dharma, konsep ateisme adalah segala konsep yang tidak mempertimbangkan ajaranajaran Tuhan di dalamnya. Menurut Dharma, seluruh peraturan perundang-undangan di Indonesia harus bersumber kepada sila pertama Pancasila, Ketuhanan Yang Maha Esa.
Dengan begitu, seluruh peraturan perundang-undangan di Indonesia akan menjamin tercapainya tujuan berbangsa dan bernegara seperti yang terkandung dalam sila kedua, ketiga, keempat, dan kelima dari Pancasila. Dharma berpendapat aturan LHKPN yang berlaku sekarang ini harus diperbaiki karena tidak mencerminkan keadilan berdasarkan ajaran Tuhan. Menurut Dharma, peratur an yang berlandaskan Ketu hanan Yang Maha Esa adalah peraturan yang menerapkan reward dan punishment terhadap orang yang mematuhi dan melanggar setiap aturan.
Sejauh ini aturan LHKPN yang berlaku hingga sekarang hanya berisi punishment (sanksi). Yang mana aturan tersebut mengatakan, pejabat/calon pejabat yang tidak menyetor LHKPN ke KPK akan dikenai sanksi oleh instansi masing-masing. Sebaliknya, penyelenggara negara yang menyetor dan mengisi LHKPN dengan jujur tidak diberi penghargaan apa pun.
Menurut Dharma, jika aturan LHKPN ini mau diberlakukan seharusnya ada menambahkan satu ketentuan. Misalnya, setiap penyelenggara negara yang disiplin dan jujur dalam melaporkan LHKPN akan mendapat penghargaan oleh masing-masing instansi.
Terobosan tersebut sebetulnya sangat sederhana, tapi sangat strategis dalam membangun sistem pencegahan korupsi. Dia berasumsi jika setiap pejabat yang jujur diberi penghargaan, berupa promosi atau kenaikan pangkat, semua pejabat akan berlomba-lomba menjadi orang jujur. Dengan demikian, lambat laun seluruh pos penyelenggara negara akan terisi oleh orang jujur sehingga korupsi bisa dicegah sejak dini pada semua lini.
Mekanisme seperti yang disebut Dharma tersebut memang tidak berjalan. Sampai saat ini masih banyak promosi dan kenaikan pangkat yang dilakukan secara ”transaksional”. Akibatnya, kebanyakan pejabat terpaksa harus korupsi supaya punya uang untuk menyuap atasannya atau instansi yang berwenang dalam promosi dan kenaikan pangkat. Contoh terakhir adalah kasus jual beli jabatan di lingkungan Kementerian Agama yang berhasil dibongkar KPK.
(poe)