IAID 2019, Perkuat Kemitraan Ekonomi Indonesia-Afrika

Kamis, 15 Agustus 2019 - 06:37 WIB
IAID 2019, Perkuat Kemitraan Ekonomi Indonesia-Afrika
IAID 2019, Perkuat Kemitraan Ekonomi Indonesia-Afrika
A A A
Al Busyra Basnur
Duta Besar RI untuk Etiopia, Djibouti, dan Uni Afrika berkedudukan di Addis Ababa

PADA 20-21 Agustus 2019 Pemerintah Indonesia menyelenggarakan Indonesia-Africa Infrastructure Dialogue (IAID) di Bali. Dialog tersebut sebagai tindak lanjut dan upaya memelihara momentum Indonesia Africa-Forum (IAF) pada 10-11 April 2018 yang juga diadakan di Bali. Kedua pertemuan merupakan wadah strategis dan potensial bagi peningkatan hubungan dan kerja sama ekonomi Indonesia dengan Afrika.

IAF, forum pertama dalam sejarah hubungan Indonesia-Afrika, menghasilkan kesepakatan bisnis USD586,56 juta dan business announcement USD1,3 juta di bidang industri strategis, infrastruktur, financing, pertambangan, tekstil, perawatan pesawat terbang, dan perdagangan komoditas. Adapun IAID yang akan dihadiri sekitar 700 peserta dari 53 negara Afrika dan Indonesia diharapkan menghasilkan kesepakatan bisnis yang lebih besar, terutama di sektor infrastruktur, farmasi, serta minyak dan gas. Puluhan menteri dari berbagai negara dan banyak perusahaan dari Afrika akan menghadiri IAID.

Indonesia dan Afrika mempunyai ikatan hubungan dan sejarah sangat penting dan panjang. Bermula dari Asian-African Conference 1955 dilanjutkan antara lain Asian-African Summit 2005, Asian-African Conference 2015, Indonesia-Africa Forum 2018 dan Indonesia-Africa Infrastructure Dialogue 2019. Seluruhnya diselenggarakan di Indonesia, Bandung, dan Jakarta. Semua itu menunjukkan bahwa kemitraan Indonesia dengan negara-negara Afrika semakin erat, kuat, dan bermanfaat untuk semua. Saling kunjung bilateral kepala negara dan pemerintahan, pejabat tinggi, dan komunitas inti ekonomi juga berlangsung dinamis dan berguna nyata bagi kemajuan pembangunan bangsa bersama.

Maju Sejahtera Bersama

Afrika adalah salah satu kawasan prioritas dan semakin penting bagi diplomasi Indonesia. Menteri Luar Negeri Retno LP Marsudi mengatakan, sesuai mandat Presiden Joko Widodo, kini kehadiran diplomasi Indonesia di Afrika semakin nyata dan dirasa, termasuk di bidang ekonomi. "Komitmen Indonesia dan negara-negara Afrika adalah maju dan sejahtera bersama. Indonesia ingin menjadi bagian dari pembangunan di Afrika dan sebaliknya, Indonesia ingin Afrika menjadi bagian dari pembangunan di Indonesia," kata Menteri Retno. Pemerintah juga berkeinginan memperkuat sekaligus mempercepat kerja sama dengan Afrika, khususnya di bidang ekonomi.

Menurut Menlu, strategi untuk meningkatkan hubungan dan kerja sama ekonomi dengan Afrika, pertama, memperbarui infrastruktur perdagangan guna menurunkan tarif melalui preferential trade agreement (PTA) dengan sejumlah negara Afrika. Kedua, meningkatkan diplomasi melalui kerja sama infrastruktur. Ketiga, meningkatkan kegiatan bisnis, di antaranya penandatanganan perjanjian, panel diskusi termasuk PTA, dan pameran sebagaimana juga akan terjadi pada IAID mendatang.

Kerja sama ekonomi Indonesia dengan negara-negara Afrika terus mengalami kemajuan dan perkembangan secara signifikan. Pada 2017 nilai perdagangan Indonesia-Afrika USD8,84 miliar, meningkat 15,25% dari tahun sebelumnya. Investasi Indonesia di Afrika juga terus bertumbuh-kembang. Saat ini terdapat sekitar 30 perusahaan Indonesia berinvestasi di Afrika, di antaranya 16 di Nigeria dan 5 di Ethiopia. Perkembangan terkini menunjukkan pula kian banyaknya perusahaan Indonesia yang melirik dan ingin peningkatan kerja sama ekonomi dengan Afrika. Adalah tugas diplomasi Indonesia, terutama perwakilan RI di Afrika, untuk terus mendorong pihak-pihak terkait Indonesia dan negara-negara Afrika mencari lebih banyak peluang dan terobosan baru guna meningkatkan kerja sama ekonomi.

Kenapa Afrika?

Afrika kaya sumber daya alam. Benua berpenduduk 1,2 miliar ini memiliki 30% dari total cadangan mineral dunia seperti kobalt, uranimun, permata, emas, minyak, dan gas. Namun, Afrika tetap saja menjadi salah satu kawasan berkategori miskin di dunia. Setengah penduduknya memiliki penghasilan kurang dari USD1,25 sehari. Negara kaya, tetapi banyak penduduk miskin. Itulah yang terjadi di Afrika.

Terkait dengan kemiskinan itu, apabila berbicara hampir setiap isu di Afrika selalu bermula dari minimnya infrastruktur. Infrastruktur menjadi persoalan utama dan menjadi pangkal hampir semua masalah. Kualitas infrastruktur yang rendah dan biaya tinggi pelayanan infrastruktur mengakibatkan produktivitas Afrika berkurang 40% dan GDP turun 2% setahun. The Infrastructure Consortium for Africa (ICA) mencatat bahwa minimnya sarana transportasi jalan, rel kereta, dan pelabuhan di Afrika mengakibatkan harga barang naik 30-40%. Sekitar 50% jalan-jalan di Afrika belum beraspal. Setiap tahun terjadi infrastructure gap sebesar USD170 miliar, yaitu perbedaan antara situasi sekarang dengan apa yang ideal atau yang dibutuhkan. Jumlah penduduk Afrika besar, yaitu 12% dari total penduduk dunia, namun Afrika hanya 1% GDP global dan 2% perdagangan dunia.

Terkait infrastruktur di Afrika, ada tiga persoalan utama yang menjadi perhatian, yaitu rendahnya sarana dan pelayanan transportasi; kurangnya pasokan energi; dan terbatasnya persediaan sumber air. Persoalan tersebut ditambah pula oleh kurangnya sumber dana pembangunan dan keterbatasan technical expertises.

Guna membantu mengatasi berbagai persoalan ekonomi dan pembangunan infrastruktur yang dihadapi negara-negara Afrika, maka lembaga keuangan, organisasi regional dan internasional seperti World Bank, African Development Bank, dan African Union bersama-sama ikut membangun Afrika. Lembaga keuangan Indonesia juga sudah saatnya berpartisipasi mengingat Indonesia sebagai salah satu negara G-20.

Tingkatkan Kehadiran

Secara keseluruhan, dan ini penting diketahui terutama oleh pengusaha Indonesia yang berminat hadir dalam konteks dan dinamika pembangunan di Afrika, bahwa Afrika saat ini memerlukan pembangunan massal infrastruktur seperti jalan, rel kereta api, lapangan terbang, pelabuhan laut, listrik, air dan sarana telekomunikasi. Bersamaan dengan itu, sebagaimana kita ketahui, saat ini Indonesia juga gencar membangun berbagai infrastruktur sebagai program prioritas pemerintah. Indonesia dan Afrika mempunyai semangat dan perhatian yang sama terhadap sektor pembangunan serupa. Kondisi riil infrastruktur Afrika merupakan peluang besar bagi pelaku ekonomi Indonesia untuk segera meningkatkan kehadiran dengan memanfaatkan momentum di kawasan tersebut.

Memang, hadir di Afrika bukan tanpa tantangan. Negara-negara seperti China, India, Jepang, Korea, serta negara-negara di Eropa dan Amerika juga memiliki pandangan, penilaian, dan keinginan hampir sama dengan Indonesia terhadap Afrika sehingga persaingan tentu tak terelakkan. African Continent Free Trade Agreement (AfCTA) yang telah disepakati dan segera berlaku juga menjadi tantangan tersendiri sekaligus peluang bagi kehadiran Indonesia di kawasan Afrika. Perlu terus diikuti bagaimana bentuk akhir dari AfCTA yang diharapkan tidak menjadi suatu perjanjian yang menghambat pengurangan hambatan tarif antara Afrika dan negara dari kawasan lain.

Membangun bersama proyek-proyek infrastruktur di Afrika perlu memperhatikan tiga hal penting. Pertama, perusahaan asing di Afrika agar mempekerjakan tenaga lokal dalam jumlah yang reasonable, seiring dengan pertumbuhan tenaga kerja produktif di Afrika. Angkatan kerja Afrika tumbuh 12 juta setiap tahun. Pada 2034 jumlah usia kerja Afrika akan melebihi China dan India. Kedua, transfer teknologi kepada pekerja Afrika menjadi faktor penting seiring dengan meningkatnya skilled and well-educated workers tidak saja lulusan sekolah dan perguruan tinggi setempat, tetapi juga tamatan berbagai perguruan tinggi terkemuka di luar negeri seperti Eropa dan Amerika. Ketiga, proyek-proyek infrastruktur yang dibangun hendaknya betul-betul sesuai kepentingan dan kebutuhan penduduk negara setempat serta sama-sama menguntungkan dalam jangka panjang.

Meski ada tantangan, dan di negara mana pun pasti ada tantangan, Afrika kian menarik bagi perusahaan dan lembaga keuangan regional dan internasional bagi kerja sama ekonomi, khususnya di bidang infrastruktur. Apalagi IMF memproyeksikan pada 2020 Afrika menjadi kawasan dengan pertumbuhan tercepat kedua di dunia. Pada 2019, sama seperti 2018, sejumlah negara subsahara Afrika mencatat pertumbuhan ekonomi paling cepat di dunia. Negara-negara tersebut adalah Ethiopia (8,5%), Rwanda (7,8%), Ghana (7,6%), Cote d’Ivoire (7%), Senegal (6,7%), Benin (6,3%), Kenya (6,1%), Uganda (6,1%) dan Burkina Faso (6%).

Perhatian Indonesia terhadap Afrika sangat besar dan terus meningkat, terutama melalui berbagai kerja sama ekonomi, baik perdagangan maupun investasi. IAID 2019 adalah salah satu bukti dan wujud nyata komitmen Pemerintah Indonesia dan para stakeholders, baik di Indonesia maupun di Afrika, menuju Indonesia dan Afrika maju bersama. IAID 2019 secara pasti akan membuka peluang lebih besar lagi bagi berbagai perusahaan Indonesia untuk hadir dan melangkah lebih cepat di dan bersama Afrika.
(kri)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.4920 seconds (0.1#10.140)