Semantika dan Semiotika Idul Adha

Sabtu, 10 Agustus 2019 - 06:33 WIB
Semantika dan Semiotika...
Semantika dan Semiotika Idul Adha
A A A
Muhbib Abdul Wahab

Dosen Pascasarjana FITK UIN Syarif Hidayatullah dan UMJ

IDUL Adha yang dirayakan setiap 10 Zulhijah bukanlah ritual-seremonial semata, melainkan merupakan ibadah yang sarat makna dan pelajaran substansial. Agar tidak terjebak dalam rutinitas ritual, Idul Adha menarik didekati dan dimaknai dalam perspektif semantik dan semiotik, karena Idul Adha bukan merupakan ibadah yang berdiri sendiri, melainkan terkait erat dengan ibadah lain, khususnya ibadah haji dan sejarah perjuangan kemanusiaan Nabi Ibrahim AS dan keluarganya. Dalam semiotika Charles Sander Peirce (1834-1914), banyak ground (latar, dasar) yang membingkai peristiwa, sehingga aneka tanda yang melatarinya memberi pesan dan makna yang kuat.

Idul Adha itu unik dan menarik, bukan saja karena dirayakan dengan salat sunah Idul Adha secara berjamaah di tanah lapang atau di masjid, tetapi juga dirangkai dan didahului dengan puasa sunah Arafah dan dilanjutkan dengan penyembelihan hewan kurban pada 10 Zulhijah dan tiga hari sesudahnya, hari-hari tasyrik. Prosesi Idul Adha ini mengisyaratkan adanya keterpaduan antara ketakwaan personal dan ketakwaan sosial, ibadah ritual dan ibadah sosial kultural.

Semantika Idul Adha

Secara semantik (ilmu tentang makna bahasa) Idul Adha itu berarti hari raya penyembelihan hewan kurban. Istilah Adha berasal dari kata udhiyah yang berarti binatang yang disembelih pada Idul Adha dan hari-hari tasyrik. Idul Adha disebut juga Idul Qurban yang secara semantik berarti hari raya pendekatan diri, baik kepada Allah SWT maupun kepada sesama manusia. Kata "qurban " merupakan derivasi dari qaruba-yaqrubu-qarabatan wa qurbanan yang mengandung arti: dekat, karib, kedekatan, dan pendekatan diri.

Idul Adha secara morfosemantik juga terkait dengan kata nahr yang berarti menyembelih, mengalirkan darah hewan kurban. Kata kerja perintah dari nahr digunakan Alquran paralel dengan perintah salat: " Maka laksanakanlah salat karena Tuhanmu, dan berkurbanlah (sebagai ibadah dan mendekatkan diri kepada Allah)." (QS al-Kautsar/108: 2). Jadi, semantika Idul Adha atau Idul Kurban menegaskan pentingnya aktualisasi tujuan pendekatan diri kepada Allah SWT sebagai ekspresi syukur nikmat kepada-Nya, sekaligus aktualisasi pendekatan kemanusiaan dengan berbagi dan mengasihi sesama.

Selain ketiga istilah tersebut, Alquran juga menggunakan kata "adzbahuka " (aku akan menyembelihmu). Meskipun perintah berkurban pertama kali diterima oleh Nabi Ibrahim AS melalui mimpi, ujian iman dan ketaatan beliau untuk "menyembelih" anak kandungnya sendiri tidak menyurutkan langkah. Penggunaan kata tersebut dalam "dialog kasih sayang" antara sang ayah dan anak menunjukkan keterbukaan dan keterusterangan Ibrahim untuk melaksanakan perintah Allah SWT.

Karena perintah shalat dan kurban diredaksikan dalam ayat tersebut secara paralel, Imam Abu Hanifah kemudian berpendapat bahwa hukum berkurban bagi yang memiliki kesanggupan pada Idul Adha itu wajib, paralel dengan kewajiban melaksanakan salat. Namun, pendapat ini menjadi terbantahkan dengan hadis Nabi SAW: "Ada tiga yang merupakan kewajiban bagiku, dan sunnah bagi kalian, yaitu: salat witir, berkurban, dan salat duha." (HR. Ahmad, al-Hakim, dan ad-Daruqutni). Sejarah juga mencatat bahwa Abu Bakar dan Umar ibn al-Khattab pernah tidak berkurban, karena khawatir orang-orang menilainya wajib.

Semiotika Kurban

Mengapa Idul Adha didahului dengan anjuran melaksanakan puasa sunah Arafah pada 9 Zulhijah? Mengapa pula penyembelihan hewan kurban itu dilakukan setelah salat Idul Adha dan diperluas waktu penyembelihannya hingga 13 Zulhijah?

Pembacaan tanda-tanda, latar, dan konteks Idul Adha dapat dilakukan dengan semiotika (ilmu tentang tanda dan pemaknaannya) karena sarat dengan denotatum berupa: ikon, indeks, dan lambang (simbol). Jika Idul Fitri didahului dengan puasa sebulan penuh dan penuaian zakat fitri, Idul Adha didahului dengan puasa sunah Arafah. Puasa ini sejatinya merupakan bentuk apresiasi spiritual terhadap jamaah haji yang sedang berwukuf di Arafah. Wukuf di Arafah merupakan puncak ritualitas dan spiritualitas ibadah haji.

Dengan demikian, dasar atau latar spiritual (ground )Idul Adha adalah kesucian hati, kearifan diri, dan kejernihan pikiran yang disimbolkan dengan berpuasa sunah Arafah. Menurut beberapa hadis, puasa Arafah itu sendiri merupakan bentuk spiritualisasi diri yang berfungsi sebagai penebus dan penghapus dosa setahun sebelum dan sesudahnya (HR Muslim).

Salat Idul Adha yang dilaksanakan berjamaah, dan sangat dianjurkan di tanah lapang dan terbuka, menandakan bahwa ibadah ritual itu harus membuahkan spirit kebersamaan, persaudaraan, persatuan, dan solidaritas sosial. Salat berjamaah adalah simbol kesamaan visi dan orientasi penghambaan kepada Allah, sehingga kiblat perjuangan dan pengorbanan hidupnya hanyalah mencari dan meraih rida-Nya. "Sesungguhnya salatku, ibadahku, hidupku, dan matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan seluruh alam." (QS al-An’am/6: 162).

Hewan kurban (kambing, domba, sapi, kerbau, dan unta) merupakan ikon kekayaan, simbol kemakmuran materi. Jika Nabi Ibrahim diuji iman dan ketaatannya dengan "menyembelih" kekayaan keluarga paling dicintainya, Ismail; maka sejatinya berkurban hewan merupakan lambang penyembelihan sifat dan karakter negatif binatang (mau menang sendiri, rakus, tamak, berinsting membunuh, dsb.). Di balik proses penyembelihan, ada latar spiritual yang idealnya menjadi komitmen semua pekurban: penyucian hati dan jiwa dengan ikhlas dan penuh cinta karena Allah SWT.

Kecintaan dan ketakwaan kepada Allah dalam berkurban merupakan kunci kepasrahan dan totalitas pengabdian kepada-Nya. Secara semiotik, jika berkurban dinarasikan dengan indeks tolok ukur maka indeks cinta dan takwa adalah yang tertinggi. Jika panjang suatu benda diukur dengan meter, panjang jarak ditandai dengan kilometer atau mil, berat ringannya barang diukur dengan timbangan (gram, ons, kilo, kuintal, ton, dst) atau ditakar dengan takaran tertentu, maka indeks dan standar utama yang dikehendaki Allah dari hamba-Nya dalam berkurban adalah ikhlas, cinta, dan takwa.

Oleh karena itu, semantika dan semiotika Idul Adha mengisyaratkan pentingnya spirit berbagi dan peduli terhada sesama, khususnya fakir miskin, melalui proses penyembelihan hewan kurban sesudah salat Idul Adha dan dilanjutkan hingga 13 Zulhijah. Perluasan waktu penyembelihan dan pembagian daging kurban ini menunjukkan bahwa kadar cinta dan takwa kepada Allah melalui ibadah sosial ini harus lebih ditingkatkan.

Semiotika kurban juga sarat dengan spirit pemerdekaan hamba dari segala hegemoni karakter kebinatangan. Karena itu, motivasi Rasulullah SAW kepada umatnya untuk berkurban sungguh luar biasa indah. "Tidak ada amalan anak Adam yang paling dicintai Allah pada hari Idul Adha kecuali berkurban, karena ia akan datang pada hari kiamat bersama tanduk, bulu, dan kukunya. Sedemikian cepatnya, pahala kurban sudah sampai kepada Allah sebelum darah hewan sembelihan jatuh ke tanah. Maka hiasilah diri kalian dengan berkurban (HR Ibnu Majah).

Semakna dengan spirit dan motivasi tersebut, semiotika kurban menyimbolkan banyaknya kebaikan yang diraih, diukur dengan banyak bulu hewan yang disembelih.

Dari Zaid bin Arqam, dia berkata: para sahabat bertanya: "Wahai Rasulullah, hewan kurban apa ini?" Beliau bersabda: "Ini adalah sunah bapak kalian, Ibrahim." Mereka berkata: "Lalu pada hewan tersebut, kami dapat apa wahai Rasulullah?" Beliau bersabda: "Pada setiap bulu ada satu kebaikan." Mereka berkata: "Bagaimana dengan shuf (bulu domba)?" Beliau bersabda: "Pada setiap bulu shuf ada satu kebaikan." (HR Ibn Majah). Jadi, berkurban itu sangat baik dan membawa kebaikan bagi semua: umat dan bangsa, di dunia dan akhirat.
(cip)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.0815 seconds (0.1#10.140)