Ahlan Wa Sahlan Umrah Digital
A
A
A
Faozan Amar
Dosen FEB UHAMKA dan Sekretaris LDK PP Muhammadiyah
SEBAGAIMANA kita pahami, di samping aspek akidah dan akhlak, dalam ajaran Islam juga terdapat aspek ibadah dan muamalah duniawiyah. Dalam hal ibadah, secara umum prinsipnya adalah semuanya dilarang kecuali ada dalil yang membolehkannya (al ashlu fil ibadati tahrimu wal batlu illa ma ja’a bihiddalilu ala awamarihi). Sedangkan dalam hal muamalah, semuanya diperbolehkan kecuali ada dalil yang melarangnya (al ashlu fil asyyai illa ibahati hatta yadulladdalilu alattahrimi).
Sebagai haji kecil, umrah tak hanya menyangkut aspek ibadah yang mengatur hubungan manusia dengan Allah SWT, tetapi juga berkaitan dengan aspek muamalah duniawiyah yang mengatur hubungan manusia dengan sesama manusia. Karena itu, agar dapat menjalankan ibadah umrah dengan sempurna, kedua aspek tersebut harus dapat dipahami dan dilaksanakan dengan baik dan benar, sesuai dengan ketentuan yang telah ditetapkan.
Dalam aspek ibadah, maka syarat, rukun, dan wajib umrah harus dipenuhi, seperti; muslim, balig, berakal, merdeka, memiliki kemampuan, adanya bekal, kendaraan, dan anggaran serta mahram khusus bagi wanita. Sedangkan rukun umrah terdiri dari ihram, thawaf, sai, tahallul,dan tertib. Kesemuanya itu harus dimiliki dan dilakukan oleh jamaah dan tak bisa diwakilkan. Apalagi dilakukan dengan secara digital.
Syarat dan rukun tersebut dimaksudkan agar ibadah dilakukan dengan baik dan benar sesuai dengan tuntunan Alquran dan Sunah, sedangkan dalam aspek muamalah adalah adanya kemudahan yang menunjang pelaksanaan ibadah umrah, seperti biaya, perjalanan, akomodasi, transportasi, komunikasi, bimbingan, visa.
Karena itu, ketika dibuat nota kesepahaman (MoU) antara pemerintah Indonesia dan Arab Saudi tentang ekonomi digital pelayanan umrah yang diwakili oleh menteri komunikasi dan informatika, timbul pro dan kontra di kalangan masyarakat, terutama pada aspek ibadah. Sedangkan pada aspek muamalah, biro perjalanan umrah dan haji konvensial merasa terancam ladang bisnisnya.
Pangsa pasar umrah merupakan captive market potensial bagi Arab Saudi dan Indonesia. Indonesia dinilai berhasil dalam mengembangkan bisnis unicorn di dunia dan Arab Saudi sedang menggenjot devisa di luar sumber utama, yakni minyak dan gas. Sehingga ini seperti botol ketemu tutup, karena itu perlu digarap lebih serius dengan memanfaatkan teknologi dan layanan aplikasi bagi jamaah.
Layanan umrah digital, tentu yang dimaksudkan adalah digitalisasi yang menyangkut aspek muamalah yang mengatur hubungan manusia dengan sesama manusia. Dalam hal ini, antara jamaah dan biro perjalanan (tiket, transportasi, bimbingan), layanan di negara tujuan (visa, akomodasi, dan barang belanjaan), dan sebagainya. Jadi bukan pada aspek ibadahnya.
Jika benar akan direalisasikan, jamaah yang akan menjalankan ibadah umrah menjadi lebih mudah dan praktis. Di samping itu, biaya menjadi murah dan memiliki beragam pilihan sesuai dengan kemampuan kantong jamaah.
Tentu saja ini akan mudah dilakukan oleh jamaah yang paham dengan teknologi. Sedangkan yang masih gaptek, dapat menggunakan jasa penyelenggara perjalanan ibadah umrah (PPIU) konvensional sehingga keduanya saling berkolaborasi dan melengkapi.
Tantangan
Jika umrah digital jadi dilaksanakan oleh pemerintah, ada beberapa tantangan yang harus dihadapi dan diselesaikan. Pertama, masih adanya resistensi. Bisnis digital di era disrupsi memang sebuah keniscayaan, karena itu merupakan sunatullah.
Menolaknya tentu melawan sunatullah itu sendiri. Di masa awal ojek daring juga mengalami penolakan, terutama oleh ojek pangkalan. Namun seiring perjalanan waktu, pada akhirnya semuanya dapat berjalan sesuai dengan pangsa pasarnya masing-masing. Penolakan umrah digital antara lain dilakukan oleh para pengusaha biro perjalanan umrah dan haji karena eksistensi bisnisnya terancam. Karena itu, perlu ada win-win solution agar semuanya bisa berjalan lancar dan tidak ada yang dirugikan.
Kedua, regulasi. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2019 tentang Penyelenggara Perjalanan Ibadah Umrah (PPIU) yang baru disahkan beberapa bulan lalu, mengharuskan perjalanan umrah hanya “dapat” dilakukan secara perorangan atau berkelompok melalui PPUI (pasal 86; 1). Kemudian diperkuat pada pasal 87 di mana setiap orang yang akan menjalankan umrah selain beragama Islam, memiliki paspor, memiliki tiket pergi-pulang, keterangan sehat, juga harus memiliki visa serta tanda bukti akomodasi dan transportasi.
Karena itu, unicorn yang akan mengelola bisnis umrah harus memiliki izin sebagai PPIU dan terdaftar di Kementerian Agama. Dan, ini memerlukan aturan main yang ketat agar dapat memberikan layanan kepada jamaah dengan maksimal, sebab core bussiness-nya berbeda.
Ketiga, perizinan. Untuk menjadi PPIU, biro perjalanan wisata harus memenuhi persyaratan: a. dimiliki dan dikelola oleh warga negara Indonesia beragama Islam; b. terdaftar sebagai biro perjalanan wisata yang sah; c. memiliki kemampuan manajerial, teknis, kompetensi personalia, dan kemampuan finansial untuk menyelenggarakan umrah yang dibuktikan dengan jaminan bank; d. memiliki mitra biro penyelenggara umrah di Arab Saudi yang memperoleh izin resmi dari pemerintah Kerajaan Arab Saudi; e. memiliki rekam jejak sebagai biro perjalanan wisata yang berkualitas dengan memiliki pengalaman memberangkatkan dan melayani perjalanan ke luar negeri; dan memiliki komitmen untuk memenuhi pakta integritas menyelenggarakan perjalanan umrah sesuai dengan standar pelayanan minimum yang ditetapkan oleh menteri dan selalu meningkatkan kualitas penyelenggaraan umrah (pasal 89).
Artinya, jika startup umrah digital ingin menjadi PPIU maka harus memenuhi persyaratan sebagaimana diatur dalam undang-undang. Jika tidak maka terjadi pelanggaran hukum yang akan menimbulkan diskriminasi dan ketidakadilan. Apalagi kalau hanya dua startup umrah digital yang dilibatkan, tentu hal ini akan melahirkan monopoli dalam bisnis umrah digital yang bertentangan dengan prinsip ekonomi Islam. Karena itu, sinergisitas antara PPIU dan startup umrah digital perlu dilakukan agar menguntungkan kedua belah pihak.
Keempat, pajak. Sejauh ini belum ada kesepakatan global tentang norma dan standar atas penghasilan dari transaksi ekonomi digital. Apakah MoU yang telah ditandatangani juga mengatur masalah pajak atas layanan umrah digital? Jika ini tidak diselesaikan, negara akan rugi karena tidak dapat menghimpun dana pajak secara maksimal dari umrah digital.
Jika tantangan tersebut mampu dijawab dan diselesaikan oleh pemerintah dan seluruh stakeholder dengan baik dan komprehensif, Indonesia sebagai salah satu penyumbang jamaah umrah terbesar di dunia akan memasuki babak baru dalam penyelenggaraan ibadah umrah. Ahlan wa sahlan umrah digital. Wallahua’lam
Dosen FEB UHAMKA dan Sekretaris LDK PP Muhammadiyah
SEBAGAIMANA kita pahami, di samping aspek akidah dan akhlak, dalam ajaran Islam juga terdapat aspek ibadah dan muamalah duniawiyah. Dalam hal ibadah, secara umum prinsipnya adalah semuanya dilarang kecuali ada dalil yang membolehkannya (al ashlu fil ibadati tahrimu wal batlu illa ma ja’a bihiddalilu ala awamarihi). Sedangkan dalam hal muamalah, semuanya diperbolehkan kecuali ada dalil yang melarangnya (al ashlu fil asyyai illa ibahati hatta yadulladdalilu alattahrimi).
Sebagai haji kecil, umrah tak hanya menyangkut aspek ibadah yang mengatur hubungan manusia dengan Allah SWT, tetapi juga berkaitan dengan aspek muamalah duniawiyah yang mengatur hubungan manusia dengan sesama manusia. Karena itu, agar dapat menjalankan ibadah umrah dengan sempurna, kedua aspek tersebut harus dapat dipahami dan dilaksanakan dengan baik dan benar, sesuai dengan ketentuan yang telah ditetapkan.
Dalam aspek ibadah, maka syarat, rukun, dan wajib umrah harus dipenuhi, seperti; muslim, balig, berakal, merdeka, memiliki kemampuan, adanya bekal, kendaraan, dan anggaran serta mahram khusus bagi wanita. Sedangkan rukun umrah terdiri dari ihram, thawaf, sai, tahallul,dan tertib. Kesemuanya itu harus dimiliki dan dilakukan oleh jamaah dan tak bisa diwakilkan. Apalagi dilakukan dengan secara digital.
Syarat dan rukun tersebut dimaksudkan agar ibadah dilakukan dengan baik dan benar sesuai dengan tuntunan Alquran dan Sunah, sedangkan dalam aspek muamalah adalah adanya kemudahan yang menunjang pelaksanaan ibadah umrah, seperti biaya, perjalanan, akomodasi, transportasi, komunikasi, bimbingan, visa.
Karena itu, ketika dibuat nota kesepahaman (MoU) antara pemerintah Indonesia dan Arab Saudi tentang ekonomi digital pelayanan umrah yang diwakili oleh menteri komunikasi dan informatika, timbul pro dan kontra di kalangan masyarakat, terutama pada aspek ibadah. Sedangkan pada aspek muamalah, biro perjalanan umrah dan haji konvensial merasa terancam ladang bisnisnya.
Pangsa pasar umrah merupakan captive market potensial bagi Arab Saudi dan Indonesia. Indonesia dinilai berhasil dalam mengembangkan bisnis unicorn di dunia dan Arab Saudi sedang menggenjot devisa di luar sumber utama, yakni minyak dan gas. Sehingga ini seperti botol ketemu tutup, karena itu perlu digarap lebih serius dengan memanfaatkan teknologi dan layanan aplikasi bagi jamaah.
Layanan umrah digital, tentu yang dimaksudkan adalah digitalisasi yang menyangkut aspek muamalah yang mengatur hubungan manusia dengan sesama manusia. Dalam hal ini, antara jamaah dan biro perjalanan (tiket, transportasi, bimbingan), layanan di negara tujuan (visa, akomodasi, dan barang belanjaan), dan sebagainya. Jadi bukan pada aspek ibadahnya.
Jika benar akan direalisasikan, jamaah yang akan menjalankan ibadah umrah menjadi lebih mudah dan praktis. Di samping itu, biaya menjadi murah dan memiliki beragam pilihan sesuai dengan kemampuan kantong jamaah.
Tentu saja ini akan mudah dilakukan oleh jamaah yang paham dengan teknologi. Sedangkan yang masih gaptek, dapat menggunakan jasa penyelenggara perjalanan ibadah umrah (PPIU) konvensional sehingga keduanya saling berkolaborasi dan melengkapi.
Tantangan
Jika umrah digital jadi dilaksanakan oleh pemerintah, ada beberapa tantangan yang harus dihadapi dan diselesaikan. Pertama, masih adanya resistensi. Bisnis digital di era disrupsi memang sebuah keniscayaan, karena itu merupakan sunatullah.
Menolaknya tentu melawan sunatullah itu sendiri. Di masa awal ojek daring juga mengalami penolakan, terutama oleh ojek pangkalan. Namun seiring perjalanan waktu, pada akhirnya semuanya dapat berjalan sesuai dengan pangsa pasarnya masing-masing. Penolakan umrah digital antara lain dilakukan oleh para pengusaha biro perjalanan umrah dan haji karena eksistensi bisnisnya terancam. Karena itu, perlu ada win-win solution agar semuanya bisa berjalan lancar dan tidak ada yang dirugikan.
Kedua, regulasi. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2019 tentang Penyelenggara Perjalanan Ibadah Umrah (PPIU) yang baru disahkan beberapa bulan lalu, mengharuskan perjalanan umrah hanya “dapat” dilakukan secara perorangan atau berkelompok melalui PPUI (pasal 86; 1). Kemudian diperkuat pada pasal 87 di mana setiap orang yang akan menjalankan umrah selain beragama Islam, memiliki paspor, memiliki tiket pergi-pulang, keterangan sehat, juga harus memiliki visa serta tanda bukti akomodasi dan transportasi.
Karena itu, unicorn yang akan mengelola bisnis umrah harus memiliki izin sebagai PPIU dan terdaftar di Kementerian Agama. Dan, ini memerlukan aturan main yang ketat agar dapat memberikan layanan kepada jamaah dengan maksimal, sebab core bussiness-nya berbeda.
Ketiga, perizinan. Untuk menjadi PPIU, biro perjalanan wisata harus memenuhi persyaratan: a. dimiliki dan dikelola oleh warga negara Indonesia beragama Islam; b. terdaftar sebagai biro perjalanan wisata yang sah; c. memiliki kemampuan manajerial, teknis, kompetensi personalia, dan kemampuan finansial untuk menyelenggarakan umrah yang dibuktikan dengan jaminan bank; d. memiliki mitra biro penyelenggara umrah di Arab Saudi yang memperoleh izin resmi dari pemerintah Kerajaan Arab Saudi; e. memiliki rekam jejak sebagai biro perjalanan wisata yang berkualitas dengan memiliki pengalaman memberangkatkan dan melayani perjalanan ke luar negeri; dan memiliki komitmen untuk memenuhi pakta integritas menyelenggarakan perjalanan umrah sesuai dengan standar pelayanan minimum yang ditetapkan oleh menteri dan selalu meningkatkan kualitas penyelenggaraan umrah (pasal 89).
Artinya, jika startup umrah digital ingin menjadi PPIU maka harus memenuhi persyaratan sebagaimana diatur dalam undang-undang. Jika tidak maka terjadi pelanggaran hukum yang akan menimbulkan diskriminasi dan ketidakadilan. Apalagi kalau hanya dua startup umrah digital yang dilibatkan, tentu hal ini akan melahirkan monopoli dalam bisnis umrah digital yang bertentangan dengan prinsip ekonomi Islam. Karena itu, sinergisitas antara PPIU dan startup umrah digital perlu dilakukan agar menguntungkan kedua belah pihak.
Keempat, pajak. Sejauh ini belum ada kesepakatan global tentang norma dan standar atas penghasilan dari transaksi ekonomi digital. Apakah MoU yang telah ditandatangani juga mengatur masalah pajak atas layanan umrah digital? Jika ini tidak diselesaikan, negara akan rugi karena tidak dapat menghimpun dana pajak secara maksimal dari umrah digital.
Jika tantangan tersebut mampu dijawab dan diselesaikan oleh pemerintah dan seluruh stakeholder dengan baik dan komprehensif, Indonesia sebagai salah satu penyumbang jamaah umrah terbesar di dunia akan memasuki babak baru dalam penyelenggaraan ibadah umrah. Ahlan wa sahlan umrah digital. Wallahua’lam
(whb)