Dimensi Ritual dan Historikal Ibadah Haji

Senin, 22 Juli 2019 - 09:01 WIB
Dimensi Ritual dan Historikal Ibadah Haji
Dimensi Ritual dan Historikal Ibadah Haji
A A A
Faisal Ismail
Guru Besar Pascasarjana FIAI Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta

BAGI muslim dan muslimah, ritual haji merupakan ibadah utama yang menempati pilar kelima dalam struktur rukun Islam. Ibadah haji diwajibkan hanya sekali seumur hidup bagi muslim dan muslimah yang sudah akil balig dan kewajiban ini berlaku bagi umat Islam yang mempunyai kemampuan untuk berhaji.

Hal ini secara jelas difirmankan Allah dalam Alquran: "Sesungguhnya rumah yang mula-mula dibangun untuk (tempat beribadat bagi) manusia adalah Baitullah yang ada di Bakkah (Mekkah), yang diberkati dan menjadi petunjuk bagi semua manusia. Di dalamnya ada tanda-tanda yang nyata tentang kebesaran Allah, (di antaranya) makam Nabi Ibrahim. Barangsiapa yang masuk ke dalamnya, ia merasa tenteram; mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah, yaitu bagi orang-orang yang mampu melakukan perjalanan ke Baitullah." (QS Ali Imran/3: 96-97).

Mekkah sebagai Tanah Suci tidak dapat dipisahkan dari keberadaan Kakbah (Baitullah). Kakbah dibangun oleh Nabi Ibrahim dan putranya, Ismail. Selain berfungsi sebagai tempat melaksanakan ibadah haji dan umrah, Kakbah dijadikan pusat kiblat salat bagi umat muslim seluruh dunia. Sebagaimana disebutkan di atas, kewajiban ibadah haji bagi muslim dan muslimah hanya sekali seumur hidup.

Haji kedua dan seterusnya dinilai sebagai ibadah sunat. Ibadah haji diwajibkan kepada muslim dan muslimah yang mampu, sedangkan yang tidak mampu tidak dikenai kewajiban. Kemampuan di sini minimal mencakup dua hal, yaitu kemampuan fisikal (sehat rohani dan jasmani) dan kemampuan finansial (keuangan). Dua faktor ini biasanya dikaitkan dengan faktor keamanan dalam arti perjalanan ke Tanah Suci, Mekkah dipastikan dalam keadaan aman (misalnya tidak terjadi peperangan atau kekacauan yang dapat membahayakan jiwa para jamaah).

Dimensi Ritual
Dua setengah-tiga juta jamaah haji dari seluruh dunia melaksanakan ibadah haji di Tanah Suci, Mekkah. Para jamaah haji datang dari berbagai belahan dunia dengan menggunakan mobil, pesawat udara, atau kapal laut. Berbagai kendala dan kesulitan (sejak dari kampung halaman, di tengah perjalanan, dan sesampainya di tempat tujuan) mereka hadapi dengan penuh sabar, ikhlas, dan tawakal demi ingin beribadat kepada Allah di Tanah Suci, Mekkah dan demi memperoleh pahala-Nya.

Ada jamaah haji yang meninggal dunia di Tanah Air atau masih di perjalanan sebelum sempat menunaikan ibadah haji di Tanah Suci. Sebagian jamaah haji datang bersama istri, anak, atau keluarga mereka, sedangkan sebagian lain datang dengan meninggalkan istri, anak, dan keluarga mereka di kampung halaman yang jauh. Sebagai tamu-tamu Allah (dhuyufullah) di Tanah Suci, Mekkah, mereka tentunya mendambakan haji mabrur, yakni haji yang diterima dan diridai Allah.

Dua ciri penting ibadah haji adalah ritualisme dan egalitarianisme. Semua jamaah haji sepenuhnya secara bulat mencurahkan niat beribadat karena Allah. Segala rangkaian ritual seperti ihram, tawaf, sai, tahalul, bermalam di Muzdalifah, wuquf di Arafah, melempar jumrah, dan tawaf wada hanya dipersembahkan kepada-Nya dengan harapan memperoleh predikat haji mabrur.

Ciri-ciri fisik seperti warna kulit, ras, kebangsaan, kultur, tradisi, dan bahasa menjadi tidak berarti ketika para jamaah haji memakai pakaian yang sama berwarna serbaputih. Jutaan manusia memakai pakaian putih-putih menyatu dalam bingkai kesatuan iman seraya dengan gemuruh mengumandangkan kalimat talbiah: "Labbaik, Allahumma labbaik, la syarika laka labbaik" (Aku datang menunjukkan ketaatan kepada-Mu, ya Allah. Tidak ada sesuatu yang menyamai Kekuasaan dan Keagungan-Mu).

Dimensi Historikal
Ibadah haji juga menguak sisi dan dimensi historikal. Semua ritual haji merupakan rangkaian pengalaman kerohanian yang mengungkap tapak tilas historisitas, spiritualitas, dan religiusitas ketakwaan Nabi Ibrahim dan putranya, Nabi Ismail, sebagai pembangun Kakbah dan peletak dasar ibadah haji. Ibadah haji yang telah diajarkan oleh Nabi Ibrahim dan Nabi Ismail ini diteruskan dan dilestarikan sebagai syariat dan ajaran Nabi Muhammad. Sejarah haji menguakkan pula sejarah Muhammad.

Horison sejarah kenabian dan kerasulan Muhammad, dari Mekkah ke Madinah, terkuak dan terbentang di hadapan jutaan jamaah haji. Dari sinilah lahir agama besar dunia, Islam, yang pada saat kelahirannya pengikutnya dapat dihitung dengan jari, tetapi kini pemeluknya di seluruh dunia telah berjumlah lebih dari satu miliar. Kakbah diyakini sebagai sentrum universe , dan di situlah jutaan jamaah haji dan seluruh umat Islam menghadapkan kiblat salat dan tunduk bersujud ke hadapan-Nya.

Makam Nabi Muhammad di Masjid Nabawi, Madinah, menjadi saksi dan bukti nyata bahwa Nabi bukan tokoh yang hidup dalam dongeng-dongeng yang kuburannya tidak diketahui, tetapi merupakan realitas historis yang secara jelas dan terang benderang dapat dilihat dengan mata kepala. Kepercayaan muslim akan kenabian dan kerasulan Muhammad serta agama Islam yang dibawanya lebih diperkuat dengan rekaman fakta-fakta historis itu.

Dalam bukunya, Seratus Tokoh Paling Berpengaruh dalam Sejarah (The 100: A Ranking of the Most Influential Persons in History) , Michael Hart (penulis nonmuslim) tanpa keraguan sedikit pun memilih dan menempatkan Nabi Muhammad di peringkat teratas (nomor wahid) tokoh-tokoh yang paling berpengaruh dalam lintasan sejarah dunia.

Dalam pandangan Hart, Nabi Muhammad adalah tokoh besar yang benar-benar hidup (bukan hidup dalam dongeng-dongeng), mempunyai signifikansi pengaruh yang sangat besar dan luas di bidang ukhrawi dan duniawi sekaligus, karyanya mempunyai bobot pengaruh terhadap masa depan, dan karyanya mempunyai dampak positif yang dapat mengubah perjalanan sejarah manusia dan kemanusiaan.

Selain diresapi dan diinternalisasi dengan berbagai aktivitas ibadah yang memiliki dimensi spiritual dan historikal, ibadah haji juga dimaknai sebagai simbolisasi perlawanan terhadap setan dan setanisme. Para jamaah haji melempar Jamarat sebagai simbolisasi perlawanan terhadap setan yang menjadi musuh bebuyutan manusia di setiap lini kehidupan. Setan selalu berupaya menjerumuskan manusia ke jurang kemungkaran. Tak ada kompromi dengan setan dan setanisme. Setan dan setanisme harus dilawan dan dikalahkan.
(wib)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.3231 seconds (0.1#10.140)