Perizinan dan Korupsi

Jum'at, 12 Juli 2019 - 08:15 WIB
Perizinan dan Korupsi
Perizinan dan Korupsi
A A A
Rio Christiawan
Kriminolog dan Dosen Hukum Universitas Prasetiya Mulya

KOMISI Pemberantasan Korupsi (KPK) kembali melakukan operasi tangkap tangan (OTT) terhadap Gubernur Kepulauan Riau (Kepri) dan beberapa stafnya serta pihak swasta terkait pengurusan izin reklamasi.

Saat ini tidak dapat dimungkiri perizinan dan korupsi bagai dua sisi mata uang. Rencana Presiden Joko Widodo untuk menyederhanakan perizinan berusaha melalui program Online Single Submission (OSS) masih belum efektif dalam membendung korupsi di sektor perizinan berusaha.

Celah korupsi di sektor perizinan masih terjadi, lantaran izin teknis belum dapat dijangkau melalui OSS, misalnya analisis mengenai dampak lingkungan (amdal), perizinan terkait tata ruang dan tata guna lahan. Contoh, izin reklamasi, investor masih harus berhadapan dengan panjangnya birokrasi dalam pengurusan perizinan teknis. Persoalan perizinan masih menjadi keprihatinan tersendiri sebagaimana disampaikan Presiden Jokowi pada sidang kabinet paripurna 8 Juli 2019.

Pertanyaan berikutnya, mengapa perizinan teknis didesain dengan birokrasi yang panjang melalui pertimbangan teknis dan rekomendasi berbagai instansi? Jawabannya adalah menyangkut wewenang masing-masing instansi. Secara politis, untuk mendapatkan wewenang tersebut perlu biaya, seperti yang sering tervisualisasikan dalam OTT KPK terkait penerimaan gratifikasi guna kepentingan promosi dan mutasi antar-satuan kerja perangkat daerah (SKPD).

JP Coen (1997) mengatakan tipologi pemerintahan di negara berkembang memang sarat akan korupsi terkait jabatan. Semakin strategis peran dan wewenang yang akan diperoleh, biaya politiknya juga semakin tinggi.

Pengurusan perizinan teknis yang panjang dan birokratis menyebabkan investor kerap menempuh jalan pintas melalui pemberian suap dan gratifikasi. Logikanya, jika pengurusan perizinan mudah dan tidak birokratis maka investor tentu tidak akan melakukan suap guna mempercepat pengurusan perizinan teknis. Apalagi biaya suap dan gratifikasi sesungguhnya juga merupakan cost bagi investor. Di satu sisi, tentu investor menginginkan profil investasi yang sehat yakni menekan cost (biaya) dan menambah profit (keuntungan).

By Design

Bergeens (1956), dalam History of Briberrys in Indonesia menjelaskan bahwa suap terhadap pejabat merupakan budaya yang dibentuk oleh Kolonial Belanda. Umumnya target para pejabat tersebut adalah tuan-tuan tanah dan pemilik pabrik dan industri. Suap diberikan agar para tuan tanah dan pemilik industri memiliki hubungan yang baik dengan penguasa. Setelah Indonesia merdeka budaya suap dan gratifikasi tersebut tetap berlanjut.

Perizinan teknis memang didesain untuk sulit didapatkan dan untuk mendapatkan perlu melewati birokrasi panjang. Akibatnya, dalam mengurusnya perlu “kedekatan” dengan penguasa yang memiliki wewenang. Perlu pula waktu bertahun-tahun antara diperolehnya izin usaha pertama kali hingga investor dapat memulai operasi usahanya.

Bahkan perundang-undangan juga tidak pernah memberi batas waktu pengurusan sebuah perizinan teknis, bahkan persyaratannya cenderung diperpanjang dengan kewajiban mendapat pertimbangan teknis, rekomendasi, maupun melaksanakan rapat koordinasi dengan instansi lain.

Di sisi lain, ongkos politik yang tinggi di Indonesia menyebabkan para oknum petahana harus mengumpulkan biaya, bahkan tak jarang mereka memberi “target” kepada para kepala dinas yang berwenang menerbitkan perizinan. Perizinan teknis merupakan area yang paling “basah” untuk memenuhi target tersebut, khususnya setelah era otonomi daerah di mana peraturan perundangan memberi kewenangan kepada pejabat daerah, namun tidak memberi batasan secara detail mengenai penerbitan perizinan teknis. Akibatnya, dengan diskresinya para pejabat dapat menambah panjang syarat dan memperumit birokrasi.

Sudut pandang zaman kolonial masih banyak dipakai para pejabat korup. Ketika melihat investor mereka mempersepsikannya sebagai pihak yang banyak uang dan harus diperas melalui sulitnya dan panjangnya birokrasi pengurusan izin teknis. Bagir Manan (2008) mendefinisikan izin sebagai suatu persetujuan dari pemerintah selaku penguasa berdasarkan peraturan perundang-undangan untuk memperbolehkan suatu tindakan atau perbuatan tertentu yang dilarang.Para pejabat korup tersebut tahu pasti bahwa investor secara komersial perlu waktu yang cepat dan kepastian untuk memulai usaha sehingga dengan demikian dimungkinkan barter kewenangan yang dimiliki oleh pejabat dan uang yang dimiliki oleh investor.
Solusi

Banyak pihak berpendapat, jika para investor tidak masuk dalam siklus korupsi perizinan tersebut, praktik tersebut akan punah dengan sendirinya. Pendapat ini tidak sepenuhnya benar, meskipun tidak sepenuhnya salah. Tidak sepenuhnya benar karena dalam sistem pemerintahan di Indonesia pejabat selain memiliki fungsi menerbitkan perizinan juga memiliki fungsi pengawasan.Persoalannya, instansi penerbit izin teknis dan pengawas adalah instansi yang sama. Situasinya adalah investor sering diposisikan dalam situasi “mau tidak mau” karena dengan terbitnya izin usaha maka investor telah mengeluarkan modal dan biaya dengan harapan dapat segera melakukan kegiatan usaha.
Di lain sisi, jika izin teknis tidak didapatkan maka pemerintah menjalankan fungsi pengawasannya dan menjatuhkan sanksi baik pencabutan izin usaha maupun menjatuhkan sanksi lain. Hal yang paling dihindari dalam investasi adalah business interruption (terhentinya kegiatan bisnis). Nah, dalam situasi inilah perizinan dan korupsi menjadi dua sisi mata uang yang tidak dapat dipisahkan.

Situasi ini jauh dari amanat konstitusi khususnya Pasal 33 UUD 1945. Dengan fakta masih rumitnya pengurusan perizinan teknis di Indonesia tentu akan berpengaruh pada minat investor untuk berinvestasi sehingga pada akhirnya tentu akan berpengaruh terhadap pertumbuhan perekonomian.Perekonomian Indonesia membutuhkan investasi besar untuk dapat menunjang pemasukan negara dan GDP. Rumit serta korupnya pengurusan perizinan teknis akan menjadi faktor penghambat serius bagi investasi dan pertumbuhan ekonomi.
Tindakan menerima maupun memberi suap dengan alasan apa pun memang tidak dapat dibenarkan sehingga persepsi yang harus dibangun adalah perizinan diberikan guna menunjang semangat pemerataan dan pertumbuhan ekonomi demi kepentingan seluruh bangsa. Mengubah situasi ini harus dari pemerintah dan korporasi.Korporasi harus menerapkan GCG dalam menjalankan praktik bisnisnya dan sebelum pemerintah memberikan izin usaha maka investor wajib menerapkan ISO 37001 terkait management anti bribberys. Alhasil, adanya kewajiban menerapkan ISO 37001 maka praktik suap dapat dihindarkan.
Terkait pemerintah, hal pertama yang perlu dilakukan adalah melakukan debirokrasi aturan teknis sehingga mudah dan murah diakses serta membuat sistem yang transparan, memiliki standar dan batas waktu pengurusan, serta memperluas jangkauan OSS pada perizinan teknis.

Selain itu, pemerintah juga perlu membuat sistem pengawasan yang mampu mengawasi penaatan perizinan dari investor sekaligus mengawasi penerbit izin. Road map tim nasional pencegahan korupsi yang dibentuk presiden harus dapat mengakomodasi upaya tersebut sehingga dapat diimplementasikan secara nyata.
(whb)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.0779 seconds (0.1#10.140)