Meng-kota-kan Desa
A
A
A
Marselinus Nirwan Luru Staf Pengajar Perencanaan Wilayah dan Kota Universitas Trisakti
UNGKAPAN Sosiolog Dieter Evers (2000) tentang "kota dibangun para pendatang" diafirmasi oleh kondisi Jakarta dan beberapa kota besar Indonesia beberapa hari terakhir. Saat libur Lebaran dan warga kota mudik atau pulang ke kampung halaman jalanan lengang dan aktivitas relatif sepi sepeninggal "motor" penggeraknya.
Bagi banyak perantau, kota serasa oase di tengah seretnya lapangan kerja dan fasilitas dasar di daerah asal. Sebaliknya, desa sekadar tempat berteduh dengan segala ekspresi diri kala momen Lebaran tiba.
Pada level ini, kota-desa seakan layak dikotomi atas dasar dalamnya jurang ketimpangan pembangunan. Kebahagiaan, pendapatan tinggi, hingar-bingar adalah sederet refleksi kehidupan kota. Kondisi sebaliknya disematkan pada desa.
Alhasil, sebagaimana biasa pendatang baru mendompleng arus balik Lebaran untuk mengadu nasib di kota-kota besar Indonesia. Padahal, kota-kota kita sedang mengidap involusi- sudah kepalang tak berdaya memenuhi kebutuhan dasar warganya. Lahan terbatas, pengangguran tinggi, dan kualitas lingkungan buruk.
Untungnya, pemerintah sigap melakukan reorientasi lokus pembangunan Jawa sentris menuju Indonesia sentris. Mengoyak monopoli kota menjadi keseimbangan desa-kota. Satu di antara banyak harapan yakni penduduk desa menahan diri untuk hijrah ke kota dan menikmati pembangunan di desanya.
Komitmen pemerintah terlihat dengan disahkannya Undang-Undang tentang Desa No 6 Tahun 2014. Anggaran dana desa diperkuat pula pada masa pemerintahan Jokowi-JK untuk mengejawantahkan gagasannya membangun dari pinggiran.
Pemerintah ingin menegaskan eksistensi desa bukanlah objek pembangunan kota semata. Pola pembangunan lama yang menempatkan kota sebagai pusat pertumbuhan terbukti hanya mengisap sumber daya daerah belakangnya. Dan, patut ditinggalkan. Kota dan desa sudah sewajarnya ditempatkan sama pada kacamata pembangunan nasional.
Dari segi jumlah, kucuran dana desa terus meningkat sejak UU disahkan. Berbagai laporan pun menunjukkan keberhasilan, terutama pembangunan infrastruktur keras yang juga mensinyalir menurunnya angka urbanisasi beberapa tahun terakhir ke Ibu Kota, Jakarta.
Namun, ada pekerjaan rumah selanjutnya untuk memperkokoh semangat mengelola urbanisasi dari desa, yakni mengestafet pembangunan infrastruktur menuju peningkatan ekonomi dan sosial desa.
Sebab, keberhasilan infrastruktur tidak selalu mengungkit pemerataan ekonomi masyarakat dan keajekan sosial desa.
Pemerintah melalui pemerintah daerah perlu melakukan pemetaan produk unggulan dan kompetitif masing-masing desa untuk dipasarkan keluar daerah. Untuk mencapai itu, sebuah keharusan fasilitas produksi atau industri masuk desa demi produk unggulan yang bernilai ekonomi tinggi, di samping menciptakan lapangan kerja bagi masyarakat desa.
Perlu penguatan badan usaha milik desa (BUMDes) yang saat ini sudah terbentuk 42.000 unit dari 75.436 desa yang ada di Indonesia. Selain pemasaran produk desa, BUMDes juga bisa saja diproyeksi sebagai pengelola industri pertanian.
Tentunya pembangunan sektor ekonomi akan sempurna bila diiringi pemantapan sosial. Membangun desa, membangun manusianya melalui penyediaan dan perbaikan infrastruktur dasar kesehatan, pendidikan, jalan, jaringan listrik dan air bersih yang masih sangat terbatas di beberapa desa pelosok.
Jika saja desa dengan basis pertaniannya dilengkapi fasilitas ala perkotaan, sebaliknya kota mengedepankan nuansa megabisnis, perdagangan, dan jasa layaknya sekarang, bukan mustahil keberhasilan membangun dari pinggiran nantinya menciptakan keseimbangan desa-kota. Dan, di saat itu pula sudut pandang urbanisasi bergeser. Bukan lagi penduduk desa pindah ke kota, melainkan penduduk desa tetap bertahan dan meng-urban-kan desanya.
UNGKAPAN Sosiolog Dieter Evers (2000) tentang "kota dibangun para pendatang" diafirmasi oleh kondisi Jakarta dan beberapa kota besar Indonesia beberapa hari terakhir. Saat libur Lebaran dan warga kota mudik atau pulang ke kampung halaman jalanan lengang dan aktivitas relatif sepi sepeninggal "motor" penggeraknya.
Bagi banyak perantau, kota serasa oase di tengah seretnya lapangan kerja dan fasilitas dasar di daerah asal. Sebaliknya, desa sekadar tempat berteduh dengan segala ekspresi diri kala momen Lebaran tiba.
Pada level ini, kota-desa seakan layak dikotomi atas dasar dalamnya jurang ketimpangan pembangunan. Kebahagiaan, pendapatan tinggi, hingar-bingar adalah sederet refleksi kehidupan kota. Kondisi sebaliknya disematkan pada desa.
Alhasil, sebagaimana biasa pendatang baru mendompleng arus balik Lebaran untuk mengadu nasib di kota-kota besar Indonesia. Padahal, kota-kota kita sedang mengidap involusi- sudah kepalang tak berdaya memenuhi kebutuhan dasar warganya. Lahan terbatas, pengangguran tinggi, dan kualitas lingkungan buruk.
Untungnya, pemerintah sigap melakukan reorientasi lokus pembangunan Jawa sentris menuju Indonesia sentris. Mengoyak monopoli kota menjadi keseimbangan desa-kota. Satu di antara banyak harapan yakni penduduk desa menahan diri untuk hijrah ke kota dan menikmati pembangunan di desanya.
Komitmen pemerintah terlihat dengan disahkannya Undang-Undang tentang Desa No 6 Tahun 2014. Anggaran dana desa diperkuat pula pada masa pemerintahan Jokowi-JK untuk mengejawantahkan gagasannya membangun dari pinggiran.
Pemerintah ingin menegaskan eksistensi desa bukanlah objek pembangunan kota semata. Pola pembangunan lama yang menempatkan kota sebagai pusat pertumbuhan terbukti hanya mengisap sumber daya daerah belakangnya. Dan, patut ditinggalkan. Kota dan desa sudah sewajarnya ditempatkan sama pada kacamata pembangunan nasional.
Dari segi jumlah, kucuran dana desa terus meningkat sejak UU disahkan. Berbagai laporan pun menunjukkan keberhasilan, terutama pembangunan infrastruktur keras yang juga mensinyalir menurunnya angka urbanisasi beberapa tahun terakhir ke Ibu Kota, Jakarta.
Namun, ada pekerjaan rumah selanjutnya untuk memperkokoh semangat mengelola urbanisasi dari desa, yakni mengestafet pembangunan infrastruktur menuju peningkatan ekonomi dan sosial desa.
Sebab, keberhasilan infrastruktur tidak selalu mengungkit pemerataan ekonomi masyarakat dan keajekan sosial desa.
Pemerintah melalui pemerintah daerah perlu melakukan pemetaan produk unggulan dan kompetitif masing-masing desa untuk dipasarkan keluar daerah. Untuk mencapai itu, sebuah keharusan fasilitas produksi atau industri masuk desa demi produk unggulan yang bernilai ekonomi tinggi, di samping menciptakan lapangan kerja bagi masyarakat desa.
Perlu penguatan badan usaha milik desa (BUMDes) yang saat ini sudah terbentuk 42.000 unit dari 75.436 desa yang ada di Indonesia. Selain pemasaran produk desa, BUMDes juga bisa saja diproyeksi sebagai pengelola industri pertanian.
Tentunya pembangunan sektor ekonomi akan sempurna bila diiringi pemantapan sosial. Membangun desa, membangun manusianya melalui penyediaan dan perbaikan infrastruktur dasar kesehatan, pendidikan, jalan, jaringan listrik dan air bersih yang masih sangat terbatas di beberapa desa pelosok.
Jika saja desa dengan basis pertaniannya dilengkapi fasilitas ala perkotaan, sebaliknya kota mengedepankan nuansa megabisnis, perdagangan, dan jasa layaknya sekarang, bukan mustahil keberhasilan membangun dari pinggiran nantinya menciptakan keseimbangan desa-kota. Dan, di saat itu pula sudut pandang urbanisasi bergeser. Bukan lagi penduduk desa pindah ke kota, melainkan penduduk desa tetap bertahan dan meng-urban-kan desanya.
(kri)