Menakar Postur Kabinet Baru 2019-2024

Senin, 13 Mei 2019 - 06:39 WIB
Menakar Postur Kabinet Baru 2019-2024
Menakar Postur Kabinet Baru 2019-2024
A A A
Martani Huseini Guru Besar FIA-UI dan Chairman Center for Innovative Governance (CIGO)

SIAPAPUN yang nanti dinyatakan memenangi kontestasi Pemilihan Presiden (Pilpres) 2019, masyarakat masih menduga-duga dan berharap cemas, akankah postur kabinet mendatang gemuk dan lamban, atau ramping dan gesit?

Janji Politik vs Pragmatisme Lapangan

Menengok pada janji politik para kontestan, baik pasangan calon presiden dan calon wakil presiden (capres dan cawapres) 01 maupun 02, kesemuanya menyatakan akan membawa terbang NKRI menjadi negara yang adidaya di era peradaban baru Industri 4.0, disegani dunia internasional, berdaya saing tinggi, mandiri (berswadaya dalam pangan terutama), mendorong generasi milenial untuk berkiprah di bidang ekonomi kreatif (start-up business, unicorn ), dan masih banyak lagi lainnya.

Pertanyaannya, akankah semudah itu mewujudkan janji yang telah ditebar selama periode kampanye pilpres lalu? Jawabannya tentulah tidak mudah. Ini semua sangat bergantung pada postur dan rencana tata kelola, termasuk platform dan ekosistem yang hendak dibangun disertai dengan human capital yang direkrut dan fondasi budaya organisasi yang akan direncanakan.

Tata kelola organisasi kabinet baru nanti supaya bisa mewujudkan janji dan mimpi NKRI ke depan idealnya berstruktur lean and mean, tidak saja berorientasi pada good corporate governance (GCG), namun juga harus berspirit dynamic & collaborative governance. Kalau menerawang kondisi faktual lapangan, pragmatisme yang bermunculan sudah terjadi transactional arrangement yang menjurus pada positional blocking.

Posisi kementerian tertentu nantinya disiapkan buat kelompok pengusung/relawan tertentu dan jumlah jatahnya pun sudah terindikasi terkapling-kapling. Dengan begitu, orientasi pada model ideal "Zaken Cabinet" (berbasis profesional) agak berat diwujudkan. Terlebih jika presiden terpilih tidak memiliki kecerdasan manajerial dalam berpolitik dan nyali dalam menata ulang kabinetnya.

Memetik Pelajaran Negara Tetangga

Memperbandingkan capaian kinerja daya saing NKRI dengan negara tetangga terdekat, Singapura dan Malaysia, apakah mungkin? Mengingat besaran jumlah penduduk, luas wilayah, dan kompleksitas masalah tentu tidak sebanding walaupun dari segi kesejarahan bernasib serupa pernah dijajah dan tahun kemerdekaannya pun hampir serupa. Namun, mengapa dua negara tetangga kita, Singapura dan Malaysia, peringkat daya saingnya menurut indeks daya saing versi World Economic Forum (WEF) dari periode 2015 hingga 2018 selalu bertengger di peringkat atas Indonesia.

Potret daya saing Indonesia pada 2018 tercermin dari indeks daya saing global, di mana Indonesia mengalami kenaikan dari peringkat ke-47 pada 2017 menjadi peringkat ke-45 pada 2018. Di lingkup Asia Timur dan Pasifik, Indonesia unggul dalam beberapa pilar, di antaranya stabilitas makroekonomi, ukuran pasar, dan dinamika berbisnis.

Meski demikian, Indonesia masih memiliki pekerjaan rumah karena banyak pilar daya saing yang berada di bawah angka rata-rata Asia Timur dan Pasifik. Kesiapan teknologi dan infrastruktur menjadi catatan untuk mengejar ketertinggalan dari negara-negara di kawasan tersebut. Selain itu, angka indikator inovasi menjadi yang terendah (37,1) dibandingkan dengan indikator-indikator lainnya.

Data tersebut diperkuat oleh peringkat Global Innovation Index pada 2018 yang dirilis oleh Cornell University, INSEAD and the World Intellectual Property Organization (WIPO), di mana peringkat Indonesia masih berada di peringkat ke-85 pada 2018. Bila dibandingkan dengan negara-negara ASEAN, Indonesia juga masih jauh tertinggal, dan hanya berada di atas Kamboja di peringkat ke-7 dari delapan negara ASEAN yang dinilai.

Mengapa proses transformasi governansi dua negara tersebut dianggap "berhasil"? Ternyata, posturnya sangat ramping dan gesit (lean and mean) dengan platform kolaboratif dan dinamis. Agar supaya setiap kementerian dan lembaga penunjang pemerintahan selalu lentur dan adaptif terhadap gejolak lingkungan yang semakin kompleks dan tidak menentu arah perubahannya, maka syarat pertama yang harus dipersiapkan menurut pakar "dynamic governance" (Neo & Chen, 2004) adalah adanya perekrutan "able people" yang biasanya terdiri atas generasi muda sehingga bisa bekerja lebih agile.

Dengan awak kabinet yang relatif trengginas, terseleksi sesuai bidang profesinya, maka diharapkan kemampuan berkolaborasi lintas bidang dalam organisasi (tidak berpikir silo mentality) , dan berpikir jauh ke depan dan selalu beradaptasi pada platform dan ekosistem yang baru menjadi kunci sukses di era ekonomi digital dan era Industri 4.0. Indikator pemerintah yang agile dapat terukur melalui dashboard Sistem Akuntabilitas Kinerja Pemerintah (SAKIP) yang telah diterapkan oleh Kementerian PAN-RB.

Semua ekosistem yang baru ini harus memiliki fondasi budaya yang kuat sehingga pergerakan para pihak-pihak yang terkait dalam jajaran kementerian dan lembaga harus elok dipandang dan lincah sebagaimana sebuah tampilan orkestra. Dengan pemain-pemain yang andal dengan pengacu pada partiture yang sudah terencana secara matang, maka sang dirigen dalam hal ini adalah presiden terpilih akan beradaptasi dengan lingkungan yang kompleks. Selain itu, juga senantiasa mampu merespons dinamika lingkungan yang memiliki turbulensi tinggi.

Seonggok Pekerjaan Rumah Kabinet Baru

Implementasi Pembangunan Lima Tahunan (Pelita) demi Pelita telah dilaksanakan sejak era Orde Baru hingga sekarang. Namun, masalah kemandirian pangan mulai dari beras, jagung, gula, daging, hingga garam masih menjadi persoalan besar. Demikian juga komoditas pakan yang masih dibutuhkan banyak bagi pembudi daya ikan, udang, ternak, yang masih menggantungkan pasokan dari negara lain. Demikian pula untuk komoditas minyak dan gas, bahan baku besi, dan baja yang diperlukan untuk industri properti dan rumah tangga masih banyak mengalami kendala. Termasuk bahan baku sandang seperti kapas dan poliester untuk mendukung pengembangan industri sandang dalam memenuhi keperluan pasar dalam dan luar negeri yang saat ini masih sulit bersaing dengan produk-produk eks China.

Tumpuan Harapan di Masa Depan

Di sektor kelautan dan perikanan, Indonesia yang memiliki dua pertiga wilayah berbasis kelautan semestinya bisa menjadi penopang utama sektor ekonomi andalan, baik untuk pasar dalam maupun luar negeri. Komoditas perikanan, rumput laut, udang, dan jenis crustacea seperti kepiting, rajungan, lobster, dan masih banyak lainnya yang bisa menghasilkan devisa yang besar geliatnya masih belum tampak. Untuk mengapitalisasi sektor unggulan yang sangat potensial ini misalnya, maka platform tata kelola dinamis dan kolaboratif harus dibangun dengan cara merombak struktur, sistem, dan budaya organisasi yang lebih lentur dan trengginas karena strategi "hilirisasi" dalam industri perlu diwujudkan.

Proses perizinan mulai dari investasi hingga eksportasinya paling sedikit terdapat lima institusi terkait seperti BKPM, Kemenperin, Kemendag, Kemenhub, dan Bakamla. Belum lagi aspek kolaborasi seperti dengan pemprov, pemkot/pemkab yang terkadang menerbitkan perda yang bisa bertentangan satu dengan yang lain.

Bisa dibayangkan, seandainya sang dirigen dalam hal ini presiden baru nanti tidak merancang dari awal kabinet, mulai dari postur, platform, serta budaya organisasi dengan ekosistem yang kolaboratif agar organisasi bisa beradaptasi dengan peradaban baru yang kita sebut sebagai Industri 4.0 atau era ekonomi digital, maka janji-janji pada waktu kampanye agak sulit diwujudkan.
(kri)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.4833 seconds (0.1#10.140)