Momentum Ramadhanomics

Senin, 06 Mei 2019 - 08:05 WIB
Momentum Ramadhanomics
Momentum Ramadhanomics
A A A
Jojo
Mahasiswa Doktoral Ilmu Ekonomi Pertanian IPB

BULAN suci Ramadhan telah tiba, antusiasme umat Islam khususnya kian terasa di bulan penuh berkah ini. Secara sosio-spiritual Ramadhan bukan semata bulan spiritualitas keislaman umat, tapi juga menjadi bagian integrasi sosio-ekonomi-kultural rakyat.

Sejak puasa Ramadhan tiba, sudah bertumbuh berbagai kegiatan ekonomi semisal berinfak, bersedekah, dan membayar zakat. Implikasinya adalah bertambahnya likuiditas di masyarakat. Uang yang awalnya diam menjadi bergerak menciptakan beragam aktivitas ekonomi. Ramadhan yang datang tidak hanya membawa berkah spiritual, tetapi juga membawa berkah ekonomi. Salah satu momen pendorong pertumbuhan ekonomi di Indonesia adalah momen Hari Raya Idul Fitri (termasuk Ramadhan di dalamnya).

Hal ini karena pada kedua momen tersebut konsumsi masyarakat kita meningkat drastis, terutama masyarakat muslim. Makanan, sandang, dan jasa (transportasi dan pembayaran) adalah komoditas dan sektor paling banyak disasar. Ramadhanomics merujuk pada geliat ekonomi bulan Ramadhan. Hal ini terekam oleh semua mesin ekonomi makro (perusahaan) dan mikro (rumah tangga) yang akan merasakan peningkatan gairah denyut ekonomi di balik kekhidmatan melaksanakan ibadah ritual.

Momen yang sama-sama memunculkan ekonomi produksi dan konsumsi bisa dimaknai positif (produktif) dan implikasi negatif (konsumtif). Suatu hal yang lumrah terjadi peningkatan aktivitas ekonomi perusahaan dan rumah tangga pada momen Ramadhan. Ramadhan bulan sangat kondusif dan padat dengan aktivitas ekonomi. Kita bisa perhatikan, pebisnis katering sibuk menyiapkan paket-paket menu sahur dan berbuka. Acara buka bersama seolah jadi rutinias "wajib" di bulan Ramadhan.

Para pedagang kagetan juga bermunculan di mana-mana. Pedagang di pasar dan pemilik toko pun sudah menambah stok barang. Industri makanan dan minuman saat puasa dan Lebaran pun mekar. Ditaksir kenaikan produksi makanan dan minuman hingga 30% dibandingkan bulan-bulan lain. Sebagian analis optimistis bahwa penjualan makanan dan minuman tahun ini tumbuh 8% atau setara Rp1.400 triliun.

Berkaca pada statistik tahun lalu, konsumsi BBM meningkat selama Ramadhan 2018 sebesar 15%. Terjadi kenaikan konsumsi dari 2017 sebesar 9% untuk konsumsi premium dan 12% untuk solar. Kegiatan ekonomi di pasar tradisional dan modern juga meningkat. Termasuk lonjakan penjualan daging dan sembako hingga berlipat-lipat sepanjang bulan Puasa dan Lebaran. Permintaan uang tunai juga meningkat selama Ramadhan dan Lebaran.

Bank Indonesia (BI) menyiapkan uang tunai (outflow) untuk Puasa dan Lebaran 2018 lalu hingga Rp188,2 triliun. Jumlah itu meningkat 15,3% bila dibandingkan dengan 2017 sebesar Rp163,2 triliun. Kebutuhan uang tunai Ramadhan tahun ini diprediksi naik dua kali lipat dari bulan biasanya. Dengan keberkahan di dalamnya, Ramadhan digadang-gadang sebagai stimulus ekonomi pemberian Tuhan. Setidaknya ada dua hal yang mendasarinya. Dua hal tersebut unik, khas, dan tak didapati di bulan-bulan lainnya: peningkatan konsumsi dan tradisi mudik ke kampung halaman.

Peningkatan Konsumsi
Ajaran Islam yang membatasi konsumsi di siang hari pada bulan Ramadhan dibalas dengan indah di malam hari. Dengan demikian terjadi peningkatan konsumsi, baik bahan pangan maupun berbagai kebutuhan rumah tangga. Biasanya menu makanan dihidangkan lebih bervariasi di saat buka atau makan sahur daripada bulan biasanya.

Saat ini konsumsi Indonesia menjadi penopang pertumbuhan ekonomi nasional. Konsumsi di Indonesia memiliki kontribusi terbesar dalam pembentukan PDB. Pada 2018 konsumsi rumah tangga di Indonesia menyumbang pembentukan PDB 55,7%. Data BPS menunjukkan bahwa PDB pada 2018 tumbuh 5,17%, meningkat bila dibandingkan 2017 (5,07%). Pertumbuhan ekonomi Indonesia yang semakin besar pada 2018 banyak ditopang pertumbuhan pengeluaran konsumsi rumah tangga dengan andil sebesar 2,74%. Tercatat konsumsi rumah tangga sepanjang 2018 tumbuh sebesar 5,05%, meningkat dari 2017 yang hanya sebesar 4,95%.

Data empiris menyebutkan, memasuki momen Lebaran (pertengahan puasa menjelang hari H Lebaran), pertumbuhan konsumsi rumah tangga menjadi yang tertinggi di tengah perlambatan ekonomi. Data BPS menunjukkan, pada kuartal kedua 2015 di mana terdapat momen puasa dan momen menjelang Lebaran 2015, pertumbuhan konsumsi rumah tangga 5,12%. Pertumbuhan itu merupakan pertumbuhan tertinggi di antara tiga kuartal lain pada tahun tersebut. Selain itu, pada kuartal kedua 2015, konsumsi rumah tangga menjadi komponen pengeluaran dengan pertumbuhan tertinggi bila dibandingkan dengan komponen lain semisal investasi 94,07% dan konsumsi pemerintah 2,15%. Hal yang tidak jauh berbeda terjadi pada 2016.

Konsumsi rumah tangga kuartal kedua 2016 menjadi pertumbuhan konsumsi tertinggi sepanjang 2016 (5,07%). Kemudian konsumsi rumah tangga tumbuh 4,97% (kuartal pertama 2016), 5,01% (kuartal ketiga 2016), dan 4,99% (kuartal keempat 2016). Bedanya dengan 2015, pada kuartal kedua 2016, pertumbuhan konsumsi rumah tangga kalah dari pertumbuhan konsumsi pemerintah (6,23%) serta konsumsi lembaga non-pemerintah dan rumah tangga (6,71%).

Transaksi ekonomi rumah tangga juga cenderung meningkat selama Ramadhan. Data ShopBack, platform belanja gaya hidup mencatat peningkatan transaksi hampir tiga kali lipat sepanjang Ramadhan 2018 dengan rata-rata belanja hingga Rp1,2 juta rupiah per orang. Pada Ramadhan tahun lalu, rata-rata orang Indonesia menghabiskan Rp678.726 untuk berbelanja daring. Sementara data Aprindo 2018 menyebutkan permintaan terhadap kebutuhan makanan dan minuman serta kebutuhan lain saat Ramadhan seperti fashion dapat meningkat 25% hingga 30% bila dibandingkan dengan bulan biasa.

Ritual Mudik
Kebiasaan pulang kampung (mudik) sudah jadi bagian dari masyarakat urban perkotaan dan menjadi stimulus ekonomi berikutnya. Tradisi mudik saat ini tampak lebih identik dengan gaya hidup konsumtif. Di lain pihak ada poin aliran dana selama mudik lebih dari Rp90 triliun yang bisa dialokasikan pada hal produktif.

Tradisi mudik sekarang ini tidak sekadar kental muatan religius, tetapi sudah bercampur dengan nilai sosial, budaya, ekonomi, dan politis. Mudik sekarang ada yang menyebutnya sebagai "mudiknomics" Indonesia. Maksudnya ekonomi di daerah menggeliat dengan mengalirnya uang ke daerah-daerah di Tanah Air lewat aktivitas mudik. Menjadi kebahagiaan tersendiri bagi para pemudik ketika bisa menikmati hasil jerih payah bekerja selama satu tahun di rantau bersama keluarga dan sanak kerabat di kampung halaman.

Sayangnya fenomena ekonomi tahunan terjadi hanya bersifat musiman dan jangka pendek. Kebanyakan pemudik menghabiskan dananya untuk hal-hal yang bersifat konsumtif: transportasi, rekreasi, makan dan belanja bersama keluarga, nyangoni keponakan, dan lainnya. Tidak kalah penting, di samping berinfak, sebagian dana juga bisa dialokasikan untuk berinvestasi di kampung halaman.

Sudah saatnya pemerintah dan masyarakat mencari pola pemberdayaan yang lebih produktif dan berdaya guna untuk kepentingan jangka panjang. Salah satu yang berpotensi adalah dana zakat para pemudik yang jumlahnya diperkirakan mencapai Rp14 triliun lebih. Semua pihak, termasuk pemerintah, harus sekuat tenaga menjaga momentum Ramadhanomics, hari raya serta libur panjang untuk menstimulus pertumbuhan ekonomi. Menjaga pasokan barang lancar dan infrastruktur transportasi lancar selama Ramadhan dan Idul Fitri sebuah keniscayaan.
(thm)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.1197 seconds (0.1#10.140)