Pendidikan Moral Zaman Now

Kamis, 02 Mei 2019 - 07:36 WIB
Pendidikan Moral Zaman Now
Pendidikan Moral Zaman Now
A A A
Adjat Wiratma
Jurnalis Praktisi Pendidikan

JIKA kita cari jejak digital dalam satu tahun ini saja, banyak video viral di media sosial yang mempertontonkan perilaku murid yang tidak pantas ditujukan saat berhadapan dengan gurunya. Ada murid yang melawan guru di depan kelas, berkata kasar, bahkan melakukan tindakan kekerasan. Video tersebut direkam murid lain, dan seketika meluas.

Dalam kasus yang lain, pemberitaan tentang kekerasan yang dilakukan oknum guru terhadap murid juga banyak dimuat media, guru dilaporkan orang tua karena memukul atau tindakan kekerasan lain. Masalah pendidikan memang kompleks, semua diurai berdasarkan duduk masalah. Ada yang selesai dengan jalan musyawarah di sekolah, harus berujung di kantor polisi, ada juga yang berlalu begitu saja. Apa yang tampak di media tentang hubungan guru dan murid itu, rasanya hanya sedikit dari banyak kasus serupa. Zaman now, memuat apa yang terjadi di ruang kelas, dengan cepat menyebar dan membuka buruknya praktik pendidikan hari ini.

Berbicara tentang hubungan guru dan murid, tidak lepas dari kompetensi guru di satu sisi, dan karakter murid di sisi yang lain. Lalu dari mana kita mulai menyoroti masalah ini, agar dunia pendidikan tidak dihadapkan pada masalah itu-itu terus. Tentu sangat ironis, guru yang bagi masyarakat Jawa adalah "digugu lan ditiru" (Jawa: dianut dan jadikan contoh), atau yang menurut kamus Oxford, kata guru dalam Sanskerta memiliki arti "berbobot, serius", wibawanya rontok seketika, karena tidak dapat mengendalikan siswanya saat berada di kelas, padahal itu menjadi lingkup tugasnya.

Kompetensi guru dalam hal ini dipertanyakan, sebagai pribadi yang dituakan atau seorang pendidik, guru harus dapat mengendalikan emosinya, dan di saat yang sama menjadi contoh yang baik bagi muridnya. Dari sejumlah masalah tentang pendidikan hari ini, sorotan terhadap guru dipandang sangat penting, karena guru adalah ujung tombak pembangunan pendidikan.

Pendidikan Moral

Revolusi mental, kata yang menggema sejak lima tahun lalu, dan menjadi alas semangat pembangunan sumber daya manusia (SDM) di era kepemimpinan Joko Widodo-Jusuf Kalla. Rencana pembangunan SDM secara besar-besaran juga digaungkan kembali dan akan menjadi prioritas untuk lima tahun ke depan. Bicara pembangunan SDM, tentu bicara tentang pembangunan pendidikan. Apa sebetulnya tujuan utama pendidikan? Tak lain adalah membentuk manusia cerdas dan manusia berprilaku baik.

Pencapaian dari tujuan ini bertumpu pada pendidikan moral, yang kita tahu topik tentang pendidikan moral bukanlah hal baru. Bicara tentang pendidikan karakter, umurnya sama dengan umur pendidikan itu sendiri. Sejak zaman Plato dulu, telah dibuat kebijakan mengenai pendidikan moral sebagai bagian utama dari pendidikan sekolah. Namun, sejalan dengan berjalannya waktu, munculnya ragam pandangan, membuat terjadinya pergeseran nilai.

Para pendukung Teori Darwin mengatakan bahwa kehidupan biologis yang muncul saat ini adalah hasil dari produk evolusi. Pandangan itu mengantarkan masyarakat untuk melihat hal lain yang berbeda, termasuk sikap moral yang lebih bersifat berkembang, tidak hanya soal benar atau salah. Sementara Teori Einstein tentang relativitas, meskipun lebih ditujukan untuk menjelaskan beberapa konsep fisika, ternyata juga memengaruhi pemikiran tentang pendidikan moral.

Ketika satu masalah muncul dengan jawaban benar atau salah, banyak orang kemudian berpikir "semua itu relatif, tergantung bagaimana memandang masalah tersebut," hingga muncul pendapat "nilai yang berlaku pada saya tidak sama dengan nilai yang berlaku pada Anda". Bisa saja kita menganggap itu keliru, tapi orang lain belum tentu berpendapat sama. Pandangan itu memengaruhi cara berpikir orang, tentang tugas sekolah lebih berfokus pada bidang akademik. Pertanyaannya, apakah itu juga yang terjadi saat ini? Ketika sekolah bersikap netral terhadap nilai-nilai yang dianggap berbeda pada setiap individu, tentu hal tersebut adalah tanda yang menunjukkan penurunan moral.

Sebagai institusi sosial, sekolah harus memberlakukan suatu sikap moral, misalnya sekolah meminta para siswanya untuk patuh pada guru, melarang bertengkar, memberikan hukuman pada siswa yang menyontek saat ujian. Sekolah juga harus dapat memberikan contoh sikap yang dapat siswanya liat dari guru-guru mereka, misalnya tentang sikap adil, menghargai, dan peduli.

Tren Perilaku Anak

Tentu tidak semua anak melakukan tindak menyimpang atau nakal, banyak anak yang menunjukkan prestasi dan kesadaran akan moral, berperilaku sopan, menghormati sesama, dan peduli pada lingkungan.

Namun secara umum, muncul gambaran muram tentang perilaku anak-anak, beberapa indikasi itu adalah angka tindakan kriminal yang dilakukan anak di bawah umur, tawuran antarsekolah, penggunaan bahasa yang tidak baik, lalu terkait kematangan seksual terlalu dini dan penyimpangannya. Perilaku anak tersebut, sesuai teori perkembangan, bisa jadi adalah pengaruh lingkungan dan karena kurangnya pendidikan moral baik di rumah, juga di sekolah.

Guru yang Kompeten

Kompetensi guru ditunjukkan dengan penguasaan pengetahuan dan profesional dalam menjalankan fungsi guru. Salah satunya adalah pemahaman tentang pengelolaan kelas atau manajemen kelas sebagai salah satu kemampuan pedagogis. Hingga kini banyak guru yang hanya melakukan dua pendekatan dalam mengatasi masalah di kelas, yakni pendekatan hukuman dan penghargaan.

Guru tidak segan memaki atau memarahi murid di hadapan murid lain, atau menjatuhkan hukuman lain, saat murid melakukan kesalahan. Atau sebaliknya, karena dasar suka, guru sangat mudah memberikan pujian kepada seorang murid, tanpa mendalami perasaan murid yang lain.

Peran Keluarga

Dalam ajaran Tri Pusat Pendidikan menurut Ki Hadjar Dewatara, pendidikan adalah juga merupakan tanggung jawab keluarga. Keluarga adalah sumber pendidikan moral paling utama bagi anak. Orang tua adalah guru pertama bagi anak, mereka juga yang paling banyak dan lama memberikan pengaruh pada perkembangan anak. Jika di sekolah, guru akan berganti setiap tahun, tapi di luar sekolah anak memiliki orang tua yang memberikan bimbingan dan membesarkan mereka selama bertahun-tahun.

Hubungan anak dan orang tua dibangun atas dasar emosi yang dalam, sehingga anak merasa dihargai dan dicintai atau mereka sebaliknya. Pada akhirnya, orang tua harus berada pada posisi mengajarkan nilai, pandangan tentang hidup untuk bekal kehidupan anak yang bermoral. Celakanya, ketika anak tidak memiliki hubungan yang baik dengan orang tuanya, mereka tidak mengenal nilai yang berlaku di keluarga, mereka akan menjadi pribadi yang lemah menghadapi tekanan, dan tidak mampu menujukan sikap yang baik di hadapan teman dan gurunya.

Sekolah dan Orang Tua Pendamping Utama

Bicara soal pendidikan moral, timbul pertanyaan, nilai moral apa yang harus diajarkan orang tua dan sekolah? Nilai moral yang utama itu adalah sikap hormat dan bertanggung jawab. Ini diperlukan untuk pengembangan jiwa yang sehat, peduli akan hubungan interpersonal, anak siap menjadi bagian masyarakat yang humanis, dan untuk kedamaian dunia. Lalu apa yang lainnya? Adalah tentang kejujuran, toleransi, tolong menolong, dan nilai-nilai demokratis.

Memang tidak mudah untuk menerapkannya, terlebih saat ini dunia pendidikan dihadapkan pada masalah akut yang melumpuhkan bidang moral, karena semua cenderung berfokus pada masalah capaian akademik atau sebatas nilai hasil ujian. Pendidikan moral sangatlah mendesak, sekolah harus memberikan arahan yang jelas dan menyeluruh tentang komitmen pendidikan moral dan pengembangan karakter.

Kesimpulannya, tidak ada satu hal apapun dapat dianggap sebagai pendidikan tanpa nilai moral. Apa pun yang dilakukan sekolah, melalui para gurunya, tentunya harus menyisipkan makna nilai di dalamnya. Termasuk bagaimana guru memperlakukan murid, bagaimana kepala sekolah bersikap terhadap guru, bagaimana sekolah menempatkan orang tua.

Pendidikan moral adalah sebuah pekerjaan yang sangat mungkin untuk dilaksanakan, meskipun mengembangkan karakter anak di zaman now yang semakin kompleks, dan kian berubah bukan tugas yang sederhana. Ini adalah waktunya bagi para stakeholder untuk menghadapi tantangan. Usaha nyata bersama membangun karakter anak sebagai generasi ini pada ujungnya akan berimbas pada keberhasilan suatu negara.
(maf)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.9547 seconds (0.1#10.140)