Debat Capres di Era Post-Truth

Kamis, 04 April 2019 - 05:32 WIB
Debat Capres di Era Post-Truth
Debat Capres di Era Post-Truth
A A A
Ahmad Zainul Hamdi

Dosen UIN Sunan Ampel Surabaya

SALAH satu fenomena mengagumkan dari ruang publik Indonesia saat ini adalah tingginya keterlibatan publik dalam mengikuti debat capres-cawapres. Jika tak mungkin mengintip ke setiap rumah, setidaknya, datanglah ke warung-warung kopi atau ikutilah media sosial (medsos) pada saat dan setelah acara debat, Anda pasti akan menemukan riuh dan hangatnya perbincangan politik oleh masyarakat, bahkan oleh mereka yang sehari-harinya nyaris tidak pernah bersinggungan dengan isu-isu politik.

Banyak kalangan yang berpendapat bahwa debat capres-cawapres sesungguhnya baru mulai saat kedua pasangan capres bersalaman pada akhir acara. Pendapat ini mungkin diungkapkan sebagai sebuah kelakar satire, namun itulah sesungguhnya yang terjadi. Panggung mewah yang disiapkan panitia dan materi-materi pertanyaan yang disusun para ahli, sesungguhnya hanya lampiran dari debat politik yang jauh lebih luas dan panas. Setiap kalimat dan gestur tubuh capres-cawapres di panggung debat memiliki makna yang jauh melampauinya dalam ajang "debat rakyat" ini.

Apakah ini indikasi kematangan demokrasi dan kedewasaan politik? Jawabannya tidak semudah yang kita bayangkan jika kita mempertimbangkan lahirnya era post-truth yang mengiringi kejadian-kejadian politik akhir-akhir ini. Bahkan, istilah post-truth sendiri lahir untuk menandai kedalaman dan keluasan emosi massa dalam dua peristiwa politik internasional: terpilihnya Donald Trump di Amerika Serikat dan kemenangan Brexit di Inggris.

Post-truth didefinisikan sebagai kondisi ketika fakta tidak lagi berpengaruh dalam membentuk opini publik dibanding emosi dan keyakinan personal. Era post-truth dikarakterisasi oleh situasi saat objektivitas dan rasionalitas beralih pada emosi. Publik cenderung mengikuti dorongan emosinya dan preferensi keyakinannya sendiri bahkan saat fakta menunjukkan sebaliknya (Lilorente 2017)

Menurut Breckemeyer (2017), saat ini kita hidup di sebuah planet yang dipenuhi dengan kata-kata. Ruang publik dipenuhi informasi yang hanya mengaduk-aduk emosi. Sebohong apa pun sebuah informasi, jika dikemas secara memikat dan sanggup memenuhi aspirasi emosi massa, dia akan diterima dan distempel sebagai kebenaran, bagaimanapun caranya. Sebaliknya, seobjektif apa pun sebuah informasi, jika ia berlawanan dengan emosi dan keyakinan personal penerimanya, dia akan ditolak dan disingkirkan.

Kondisi post-truth memuncak dalam momen politik yang digerakkan oleh sentimen emosi. Kata-kata di ruang publik memang bisa memengaruhi kesadaran publik, namun pada saat yang sama juga merupakan refleksi dari kesadaran publik itu sendiri. Sentimen politik yang sangat emosional menjelang pilpres saat ini mencerminkan masyarakat kita tengah berada di era post-truth ini.

Marilah kita cermati hiruk-pikuk "debat rakyat" pascadebat resmi capres-cawapres. Apakah mereka sedang memperdebatkan data-data dan fakta-fakta, yang kebenaran akhirnya akan menuntunnya untuk membuat keputusan dan pilihan politik? Yang terjadi adalah lebih pada hasrat pemuasan emosi dan keyakinan sendiri. Debat capres-cawapres hanya akan diposisikan sebagai alat untuk memenuhi emosi dan keyakinan personal ini.

Misalnya data tentang luas sebuah provinsi dan wilayah Indonesia yang seharusnya bisa dicek dengan pasti untuk menentukan kebenarannya, tiba-tiba menjadi sebegitu kabur dalam "debat rakyat" ini. Hal ini bukan tentang apakah wilayah Indonesia saat ini secara objektif meluas atau menyempit. Persoalannya adalah ketika luas sebuah provinsi atau wilayah Indonesia dinyatakan dan diperbandingkan dengan wilayah lain, apakah informasi itu memuasi emosi dan memenuhi keyakinan seseorang atau tidak.

Ilmu psikologi sanggup menjelaskan secara ilmiah beda antara ketegasan dan kemarahan atau antara kekaleman dan kelemahan, namun penjelasan ilmiah ini akan runtuh seketika jika penjelasan itu tidak mampu memenuhi preferensi keyakinan seseorang. Alih-alih mempertimbangkan ilmu pengetahuan, mereka akan memilih penjelasan-penjelasan yang bisa menjadi senjata untuk meletupkan gejolak emosinya atau menenteramkan hatinya berdasarkan preferensi keyakinan personalnya, sebanyak dan segombal apa pun penjelasan itu.

Di era post-truth , seobjektif apa pun sebuah informasi, jika ia tidak memenuhi harapan emosional massa maka dia akan disingkirkan. Itulah mengapa informasi-informasi hoax yang sangat emosional dan bombastis justru memiliki pengaruh yang jauh lebih besar ketimbang fakta yang sebenarnya. Berbagai informasi media-media mainstream yang lebih bisa diandalkan karena memiliki mekanisme kontrol yang jelas, justru dianggap sebagai agen penyebar kebohongan dibanding informasi-informasi hoax yang tersirkulasi melalui media sosial.

Inilah era di mana kita sekarang berada. Dalam konteks sejarah filsafat politik, situasi ini sesungguhnya bukan hal baru. Kaum sofis di Yunani Kuno telah mempraktikkan ini semua. Kaum sofis dikenal karena ketidakpercayaannya pada kebenaran dan objektivitas. Kalau kebenaran dan objektivitas tidak ada, yang tersisa hanyalah kata-kata yang tersusun menjadi kalimat. Jika kalimat sudah dilucuti dari status objektifnya, yang tersisa hanyalah kecanggihan dalam bersilat lidah untuk memengaruhi audiensi dan mengalahkan lawan bicara.

Itulah mengapa Zalzalejos (2017) berpendapat bahwa post-truth adalah bagian dari relativitas kebenaran. Saat kebenaran direlativisasi dan pengejaran atasnya adalah kisah tanpa henti, maka kebenaran menjadi ranah kontestasi. Sebuah pandangan yang seakan menggemakan kembali ucapan-ucapan kaum sofis di Athena pada abad ke-5 sebelum Masehi.
(pur)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.5969 seconds (0.1#10.140)