Menyoal LHKPN Legislatif
A
A
A
Rio Christiawan
Kriminolog dan Dosen Hukum Universitas Prasetiya Mulya
KOMISI Pemberantasan Korupsi (KPK) menyoal kepatuhan para penyelenggara negara, khususnya anggota legislatif dalam menyerahkan Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN). Hingga Minggu, 31 Maret 2019 yang menjadi batas akhir, penyerahan LHKPN oleh legislatif masih di bawah 50%.
Rendahnya ketaatan terhadap kewajiban melaporkan kekayaan oleh pejabat negara dan calon pejabat negara menjadi cerminan betapa budaya penyelenggaraan negara masih belum transparan. Sebagaimana dikutip di media massa nasional dan internasional banyak pejabat negara yang menyampaikan alasan "dangkal" sebagai pembenar untuk tidak melaporkan LHKPN, yakni dengan alasan gagap teknologi atau gaptek.
Hal ini tentu menjadi ironi tersendiri, mengingat Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme menempatkan penyelenggara negara sebagai garda terdepan dalam gerakan untuk menginisiasi transparansi.
Christ Worth (2001) menjelaskan bahwa pada awalnya konsep LHKPN dalam kriminologi adalah sebagai penjabaran dari metode moral "ADS", yakni Awasi dan Sampaikan. Dengan metode ini, para penyelenggara negara yang membuat LHKPN dapat mengetahui penambahan atau pengurangan hartanya sehingga ketika terjadi perubahan yang mencolok, publik dapat berpartisipasi untuk melakukan pengawasan. Ini juga bisa jadi pintu masuk bagi KPK dalam melakukan penyelidikan sehingga harapannya akan terwujud transparansi pada penyelenggara negara.
Secara logis sebenarnya tidak ada yang perlu dikhawatirkan dengan pelaporan LHKPN, justru LHKPN akan menjadi media dan bukti yang efektif bahwa aktivitas penyelenggara negara berlangsung secara transparan dan bersih adanya. Secara substansial LHKPN bahkan menjadi alat kampanye yang efektif dan mudah dibuktikan pada masyarakat ketimbang janji-janji lain.
Prinsipnya, sepanjang harta tersebut diperoleh secara wajar dan halal, maka tidak ada yang perlu dikhawatirkan. Justru pertanyaannya adalah mengapa LHKPN justru dijadikan "momok" yang dihindari. Alasan gaptek adalah alasan yang terlalu dangkal sebab pelaporan pajak juga menggunakan isian yang kurang lebih sama.
Asal-Usul Harta
LHKPN yang dibuat secara teratur sebenarnya dapat dikatakan sebagai upaya preventif penyelenggara negara dari tuduhan tindak pidana korupsi. Sebab, jika tuduhan tersebut muncul, maka akan sangat mudah dibuktikan histori dan asal usul perolehan kekayaan tersebut. Justru, jika kekayaan berasal dari asal usul dan sumber yang sah, maka penyelenggara negara akan rugi bila tidak dituangkan dalam LHKPN.
Sebab jika terjadi suatu perkara dengan tiadanya LHKPN tersebut, maka akan hilang jejak dan asal-usul perolehan harta. Biasanya dalam kasus tindak pidana korupsi dan tindak pidana pencucian uang (TPPU), jika terjadi keragu-raguan mengenai asal-usul dan sumber perolehan harta tersebut, maka hakim akan melakukan sita.
Dalam hal ini bagi penyelenggara negara yang bersih dapat memaknai LHKPN sebagai upaya preventif mengingat asal-usul perolehan hartanya dapat diverifikasi. Dalam penelitian Abbasali (2017) di Chulalonkorn University Thailand menyatakan bahwa tanpa ketentuan yang mengikat, rata-rata pejabat negara di ASEAN enggan melaporkan LHKPN terkait asal-usul perolehan harta. Hal tersebut menunjukkan bahwa asal-usul perolehan harta pejabat negara banyak yang tidak dapat diverifikasi dan hal ini mengindikasikan penyelenggaraan negara yang masih koruptif.
LHKPN merupakan pintu masuk yang strategis bagi penyelenggaraan negara yang bebas dari korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN). Sebaliknya, tanpa adanya LHKPN yang berkesinambungan, maka pemberantasan korupsi tidak akan optimal.
Simona (2016) menyatakan secara kriminologis LHKPN akan melahirkan output trace and truth , artinya seorang penyelenggara negara dikatakan bersih dan berintegritas jika harta kekayaannya dapat terverifikasi asal-usulnya. Teori tersebut berangkat dari logika kriminologi bahwa seorang penjahat tentu akan menyembunyikan dan menyamarkan perolehan harta hasil kejahatan sehingga dalam hal ini LHKPN juga berfungsi sebagai sarana kontrol dan pengawasan.
Secara kriminologis metode yang dipergunakan untuk pelaporan dan model analisis LHKPN adalah model falsifikasi. Artinya, jika tidak dapat dibuktikan asal-usul perolehan harta, maka artinya harta tersebut terindikasi diperoleh dengan cara yang tidak wajar dan melahirkan rekomendasi penyelidikan oleh KPK. Sehingga, dalam hal ini sudah barang tentu seorang penyelenggara negara yang jujur akan menyampaikan LHKPN secara valid dan teratur.
Daya Paksa
Rendahnya ketaatan penyelenggara negara untuk melaporkan LHKPN tidak terlepas dari daya paksa kewajiban untuk melaporkan LHKPN secara teratur. Dalam hal ini memang perlu dibuat payung hukum khusus untuk mengatur mekanisme pelaporan LHKPN dan konsekuensinya jika pejabat dan penyelenggara negara tidak melaporkan LHKPN secara teratur sesuai tenggat yang dipersyaratkan.
Contohnya, Singapura merupakan negara yang mewajibkan seluruh pejabat negara melaporkan LHKPN dan jika tidak memenuhi ketentuan tersebut, maka akan dapat dikenai sanksi hingga pemberhentian dengan tidak hormat maupun larangan menduduki jabatan publik.
Dalam payung hukum tersebut, selain mengatur pihak yang akan memverifikasi LHKPN, juga perlu dibuat mekanisme tindak lanjut jika ditemukan kekayaan penyelenggara negara yang tidak dapat dibuktikan asal-usulnya. Payung hukum tersebut mendesak untuk segera dibuat guna mengatasi kesenjangan (gap ) pelaksanaan kewajiban penyampaian LHKPN tersebut.
Selama payung hukum tersebut belum dibuat, paradigma para pejabat dan penyelenggara negara bahwa penyampaian LHKPN sifatnya opsional mengingat kesadaran secara moral untuk melaporkan LHKPN dalam hal ini masih rendah. Kini akibatnya banyak pejabat dan penyelenggara negara yang tidak melaporkan LHKPN mengingat hampir tiada daya paksa.
Pada prinsipnya hukum yang baik akan melahirkan masyarakat yang baik dan masyarakat yang baik akan melahirkan perbuatan yang baik. Dengan demikian, maka diharapkan regulasi hukum dapat menumbuhkan kesadaran moral dari para pejabat penyelenggara negara terkait kepedulian terhadap riwayat asal-usul perolehan harta kekayaannya dari sumber yang tidak ilegal.
Pada prinsipnya demokrasi yang baik dan membawa kesejahteraan selalu lahir dari penyelenggara negara yang bersih. Dan, penyelenggara negara yang bersih tentu memiliki harta kekayaan yang bersumber dari perolehan yang tidak melanggar hukum sehingga pelaporan LHKPN tentu sebuah kewajaran.
Pemerintah, para elite, masyarakat, dan seluruh komponen bangsa ini tentu harus bahu membahu membangun sistem pemberantasan dan pencegahan korupsi salah satunya dengan mengoptimalkan penyampaian LHKPN. Jika kewajiban penyampaian LHKPN gagal dioptimalkan, maka masyarakat akan mendapati makna LHKPN menjadi "laporan hasil korupsi penyelenggara negara". Berani jujur, hebat!
Kriminolog dan Dosen Hukum Universitas Prasetiya Mulya
KOMISI Pemberantasan Korupsi (KPK) menyoal kepatuhan para penyelenggara negara, khususnya anggota legislatif dalam menyerahkan Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN). Hingga Minggu, 31 Maret 2019 yang menjadi batas akhir, penyerahan LHKPN oleh legislatif masih di bawah 50%.
Rendahnya ketaatan terhadap kewajiban melaporkan kekayaan oleh pejabat negara dan calon pejabat negara menjadi cerminan betapa budaya penyelenggaraan negara masih belum transparan. Sebagaimana dikutip di media massa nasional dan internasional banyak pejabat negara yang menyampaikan alasan "dangkal" sebagai pembenar untuk tidak melaporkan LHKPN, yakni dengan alasan gagap teknologi atau gaptek.
Hal ini tentu menjadi ironi tersendiri, mengingat Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme menempatkan penyelenggara negara sebagai garda terdepan dalam gerakan untuk menginisiasi transparansi.
Christ Worth (2001) menjelaskan bahwa pada awalnya konsep LHKPN dalam kriminologi adalah sebagai penjabaran dari metode moral "ADS", yakni Awasi dan Sampaikan. Dengan metode ini, para penyelenggara negara yang membuat LHKPN dapat mengetahui penambahan atau pengurangan hartanya sehingga ketika terjadi perubahan yang mencolok, publik dapat berpartisipasi untuk melakukan pengawasan. Ini juga bisa jadi pintu masuk bagi KPK dalam melakukan penyelidikan sehingga harapannya akan terwujud transparansi pada penyelenggara negara.
Secara logis sebenarnya tidak ada yang perlu dikhawatirkan dengan pelaporan LHKPN, justru LHKPN akan menjadi media dan bukti yang efektif bahwa aktivitas penyelenggara negara berlangsung secara transparan dan bersih adanya. Secara substansial LHKPN bahkan menjadi alat kampanye yang efektif dan mudah dibuktikan pada masyarakat ketimbang janji-janji lain.
Prinsipnya, sepanjang harta tersebut diperoleh secara wajar dan halal, maka tidak ada yang perlu dikhawatirkan. Justru pertanyaannya adalah mengapa LHKPN justru dijadikan "momok" yang dihindari. Alasan gaptek adalah alasan yang terlalu dangkal sebab pelaporan pajak juga menggunakan isian yang kurang lebih sama.
Asal-Usul Harta
LHKPN yang dibuat secara teratur sebenarnya dapat dikatakan sebagai upaya preventif penyelenggara negara dari tuduhan tindak pidana korupsi. Sebab, jika tuduhan tersebut muncul, maka akan sangat mudah dibuktikan histori dan asal usul perolehan kekayaan tersebut. Justru, jika kekayaan berasal dari asal usul dan sumber yang sah, maka penyelenggara negara akan rugi bila tidak dituangkan dalam LHKPN.
Sebab jika terjadi suatu perkara dengan tiadanya LHKPN tersebut, maka akan hilang jejak dan asal-usul perolehan harta. Biasanya dalam kasus tindak pidana korupsi dan tindak pidana pencucian uang (TPPU), jika terjadi keragu-raguan mengenai asal-usul dan sumber perolehan harta tersebut, maka hakim akan melakukan sita.
Dalam hal ini bagi penyelenggara negara yang bersih dapat memaknai LHKPN sebagai upaya preventif mengingat asal-usul perolehan hartanya dapat diverifikasi. Dalam penelitian Abbasali (2017) di Chulalonkorn University Thailand menyatakan bahwa tanpa ketentuan yang mengikat, rata-rata pejabat negara di ASEAN enggan melaporkan LHKPN terkait asal-usul perolehan harta. Hal tersebut menunjukkan bahwa asal-usul perolehan harta pejabat negara banyak yang tidak dapat diverifikasi dan hal ini mengindikasikan penyelenggaraan negara yang masih koruptif.
LHKPN merupakan pintu masuk yang strategis bagi penyelenggaraan negara yang bebas dari korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN). Sebaliknya, tanpa adanya LHKPN yang berkesinambungan, maka pemberantasan korupsi tidak akan optimal.
Simona (2016) menyatakan secara kriminologis LHKPN akan melahirkan output trace and truth , artinya seorang penyelenggara negara dikatakan bersih dan berintegritas jika harta kekayaannya dapat terverifikasi asal-usulnya. Teori tersebut berangkat dari logika kriminologi bahwa seorang penjahat tentu akan menyembunyikan dan menyamarkan perolehan harta hasil kejahatan sehingga dalam hal ini LHKPN juga berfungsi sebagai sarana kontrol dan pengawasan.
Secara kriminologis metode yang dipergunakan untuk pelaporan dan model analisis LHKPN adalah model falsifikasi. Artinya, jika tidak dapat dibuktikan asal-usul perolehan harta, maka artinya harta tersebut terindikasi diperoleh dengan cara yang tidak wajar dan melahirkan rekomendasi penyelidikan oleh KPK. Sehingga, dalam hal ini sudah barang tentu seorang penyelenggara negara yang jujur akan menyampaikan LHKPN secara valid dan teratur.
Daya Paksa
Rendahnya ketaatan penyelenggara negara untuk melaporkan LHKPN tidak terlepas dari daya paksa kewajiban untuk melaporkan LHKPN secara teratur. Dalam hal ini memang perlu dibuat payung hukum khusus untuk mengatur mekanisme pelaporan LHKPN dan konsekuensinya jika pejabat dan penyelenggara negara tidak melaporkan LHKPN secara teratur sesuai tenggat yang dipersyaratkan.
Contohnya, Singapura merupakan negara yang mewajibkan seluruh pejabat negara melaporkan LHKPN dan jika tidak memenuhi ketentuan tersebut, maka akan dapat dikenai sanksi hingga pemberhentian dengan tidak hormat maupun larangan menduduki jabatan publik.
Dalam payung hukum tersebut, selain mengatur pihak yang akan memverifikasi LHKPN, juga perlu dibuat mekanisme tindak lanjut jika ditemukan kekayaan penyelenggara negara yang tidak dapat dibuktikan asal-usulnya. Payung hukum tersebut mendesak untuk segera dibuat guna mengatasi kesenjangan (gap ) pelaksanaan kewajiban penyampaian LHKPN tersebut.
Selama payung hukum tersebut belum dibuat, paradigma para pejabat dan penyelenggara negara bahwa penyampaian LHKPN sifatnya opsional mengingat kesadaran secara moral untuk melaporkan LHKPN dalam hal ini masih rendah. Kini akibatnya banyak pejabat dan penyelenggara negara yang tidak melaporkan LHKPN mengingat hampir tiada daya paksa.
Pada prinsipnya hukum yang baik akan melahirkan masyarakat yang baik dan masyarakat yang baik akan melahirkan perbuatan yang baik. Dengan demikian, maka diharapkan regulasi hukum dapat menumbuhkan kesadaran moral dari para pejabat penyelenggara negara terkait kepedulian terhadap riwayat asal-usul perolehan harta kekayaannya dari sumber yang tidak ilegal.
Pada prinsipnya demokrasi yang baik dan membawa kesejahteraan selalu lahir dari penyelenggara negara yang bersih. Dan, penyelenggara negara yang bersih tentu memiliki harta kekayaan yang bersumber dari perolehan yang tidak melanggar hukum sehingga pelaporan LHKPN tentu sebuah kewajaran.
Pemerintah, para elite, masyarakat, dan seluruh komponen bangsa ini tentu harus bahu membahu membangun sistem pemberantasan dan pencegahan korupsi salah satunya dengan mengoptimalkan penyampaian LHKPN. Jika kewajiban penyampaian LHKPN gagal dioptimalkan, maka masyarakat akan mendapati makna LHKPN menjadi "laporan hasil korupsi penyelenggara negara". Berani jujur, hebat!
(thm)