Risiko Defisit BPJS bagi Industri Kesehatan
A
A
A
M Nur Solikhin
Direktur Eksekutif Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK)
BPJS Kesehatan beroperasi sejak Januari 2014. Sebuah terobosan pemerintah untuk memberikan jaminan pelayanan kesehatan kepada masyarakat. Namun, dalam penerapannya program ini menemui banyak persoalan. Di satu sisi membuka akses bagi masyarakat sebagai penerima layanan kesehatan, tapi di sisi lain berdampak pada munculnya banyak permasalahan dari pemberi layanan.
Keluhan dari tenaga kesehatan dengan munculnya konsekuensi beban kerja yang tidak proporsional, pemberian tindakan kepada pasien tidak optimal karena dibatasi dengan plafon anggaran, baik untuk obat maupun tindakan medis, serta beban manajemen layanan rumah sakit dan relasi rumah sakit dengan pihak ketiga sebagai penyedia jasa, seperti farmasi dan alat kesehatan. Persoalan sistem pengelolaan ini melengkapi permasalahan keuangan yang menjadi kendala besar sejak penerapannya.
Permasalahan keuangan BPJS Kesehatan terjadi dari tahun ke tahun belum mampu menemukan solusi jitu. Setiap tahun selalu mengalami defisit dan semakin besar. Pada 2014 defisit sebesar Rp3,8 triliun. Pada 2015 naik menjadi Rp5,9 triliun. Kemudian pada 2016 membengkak menjadi Rp9 triliun. Pada 2017 kembali naik menjadi 9,75 triliun dan pada 2018 melonjak menjadi Rp16,5 triliun.
Banyak pihak menilai kondisi tersebut disebabkan tingginya klaim kesehatan peserta, sementara premi peserta tidak sebanding. Berbagai upaya untuk mengatasi situasi gawat darurat ini terus diupayakan. Pemerintah pun terpaksa harus memberikan suntikan dana untuk memastikan program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) berjalan terus. Namun, solusi emergency tersebut bersifat jangka pendek.
Kondisi defisit anggaran ini sudah sejak lama dirasakan, salah satunya oleh pihak rumah sakit sebagai penyedia layanan kesehatan. BPJS Kesehatan harus menunggak membayar tagihan ke rumah sakit akibat arus kas yang tidak sehat. Sementara layanan kesehatan harus terus diberikan oleh rumah sakit.
Berkompromi dengan mengurangi tindakan medis yang sudah sesuai dengan tata laksana penanganan tidak mungkin dilakukan. Menutup sebagian jenis layanan kesehatan yang ditanggung pun bukan pilihan tepat. Indonesia berada dalam posisi buruk pada Indeks Kesehatan Global 2017. Posisi Indonesia berada di peringkat 101 dari 149 negara.
Dampak bagi Industri Bidang Kesehatan
Tak hanya rumah sakit, pengaruh defisit anggaran BPJS Kesehatan juga mendera kalangan farmasi yang menjadi rekanan penyedia layanan kesehatan. Awal tahun ini Gabungan Pengusaha (GP) Farmasi mengeluhkan tunggakan BPJS Kesehatan ke perusahaan farmasi. Tak tanggung-tanggung, tunggakan yang sudah jatuh tempo mencapai Rp3,5 triliun.
Saat ini tagihan berjalan untuk farmasi sebesar Rp8 triliun. Keluhan itu disampaikan saat pertemuan GP Farmasi dengan Wakil Presiden Jusuf Kalla pada akhir Januari 2019. Tunggakan ini dikhawatirkan mengganggu pertumbuhan industri farmasi di Indonesia.
Defisit keuangan BPJS Kesehatan ini apabila terjadi terus menerus akan berdampak besar pada perkembangan pelayanan medik di Indonesia. Di antaranya turunnya kualitas layanan kesehatan, baik dari aspek tenaga kesehatan atau sumber daya manusia, sistem manajemen fasilitas kesehatan, dukungan peralatan kesehatan, maupun penyediaan obat-obatan atau farmasi.
Dampak buruknya adalah semakin turunnya kualitas kesehatan di Indonesia. Layanan BPJS Kesehatan melibatkan pihak pemberi layanan dan penerima layanan dalam jumlah sangat besar. Data sampai dengan Februari menunjukkan jumlah peserta mencapai 217.549.455 jiwa dengan dukungan 27.182 fasilitas kesehatan. Jumlah ini akan terus bertambah dan meningkatkan beban pengelolaan yang semakin kompleks.
Rumah sakit, tenaga medis, perusahaan farmasi, dan penyedia alat kesehatan merupakan pemegang peran penting yang terdampak dengan situasi keuangan BPJS Kesehatan. Rumah sakit yang harus menjaga relasi dengan berbagai pihak tersebut. Kewajibannya membayar jasa dokter dan tenaga medis lainnya, membayar kebutuhan obat-obatan atau farmasi, sampai dengan kebutuhan membayar penyediaan alat kesehatan.
Ketersendatan arus kas menuntut rumah sakit akan menentukan prioritas pembayaran pada pihak ketiga. Dalam situasi ini, pembayaran yang akan diprioritaskan tentu pada pos belanja internal, seperti gaji karyawan, jasa dokter, tenaga outsourcing kebersihan, dan katering. Sementara bagi pos pengeluaran yang melibatkan entitas bisnis seperti farmasi akan ditunda.
Tunggakan pembayaran tagihan dalam jumlah besar menjadi kendala bagi rumah sakit untuk memberikan pelayanan dengan baik, bahkan upaya pengembangan layanan atau inovasi juga bisa terkendala. Hal senada juga bisa terjadi pada institusi penyediaan obat-obatan atau farmasi. Arus kas yang tidak lancar tentu akan menjadi hambatan bagi institusi tersebut untuk mengembangkan industrinya.
Kondisi ini tidak sejalan dengan Inpres Nomor 6/2016 tentang Percepatan Pertumbuhan Industri Farmasi dan Alat Kesehatan. GP Farmasi menyatakan bahwa dalam beberapa tahun ini pertumbuhan industri farmasi malah tidak sesuai proyeksi. Pemakaian obat bertambah besar, tapi tidak sebanding dengan nilai jualnya.
Evaluasi dan Perbaikan Sistem
Implementasi JKN melalui BPJS Kesehatan sebagai amanat undang-undang memang tak terelakkan lagi. Ada dua undang-undang menjadi dasar program nasional ini, yaitu UU Nomor 40/2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional dan UU Nomor 24/2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial.
Tujuan utama dua undang-undang tersebut untuk memberikan jaminan kesejahteraan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Lebih mendasar lagi, implementasi program ini juga merupakan salah satu amanat dalam UUD 1945. Pasal 28H ayat (3) mengatur mengenai hak terhadap jaminan sosial. Dua instrumen hukum ini menunjukkan bahwa negara memiliki tanggung jawab untuk memberikan kesejahteraan sosial terutama terkait dengan kebutuhan dasar hidup secara layak.
Misi mulia negara tersebut belum berjalan sempurna. Jaminan sosial bidang kesehatan masih terseok-seok dengan arus keuangan BPJS Kesehatan yang selalu defisit. Sebagai amanat konstitusi dan undang-undang, tak ada langkah mundur bagi pemerintah menutup program. Langkah ini pun jelas tak populis.
Bahkan mengurangi manfaat fasilitas untuk menekan biaya pun mendapat kritik keras. Pemerintah tampaknya terus berjibaku untuk mengatasi defisit keuangan BPJS Kesehatan ini. Namun, dimensinya masih pendek dengan memberi suntikan dana untuk menutup tagihan yang membengkak.
Pilihannya melakukan evaluasi terhadap pengelolaan program JKN secara menyeluruh. Evaluasi penerapan kebijakan pengelolaan perlu segera dilakukan untuk menekan jumlah pihak terdampak akibat kondisi BPJS Kesehatan yang tak kunjung membaik.
Tahapan evaluasi ini yang sering kali luput dalam siklus implementasi kebijakan atau program. Gejala umum dalam siklus kebijakan di Indonesia. Bahkan dalam implementasi regulasi pun tidak dikenal tahapan evaluasi ini. Proses legislasi hanya berhenti saat peraturan perundang-undangan telah diundangkan.
Permasalahan ini sudah berulang selama bertahun-tahun semestinya peta sebab dan alternatif solusinya sudah di kantong pengambil kebijakan terkait. Di sini dibutuhkan juga komitmen politik untuk mendorong perbaikan kebijakan implementasi JKN. Jika tidak ada perubahan kebijakan, persoalan ini akan terus berlangsung. Sejumlah skema bisa dijalankan untuk menekan membengkaknya biaya yang ditanggung BPJS Kesehatan.
Menaikkan iuran bisa menjadi pilihan atau membuka kemungkinan menaikkan premi bagi peserta yang ingin mendapatkan layanan lebih. Alternatif lain membuka sistem co-provider, baik melalui asuransi lain atau tambahan dana pribadi untuk menanggung biaya kesehatan agar tindakan dan pengobatan lebih optimal. Fokus solusinya pada proporsionalitas antara beban layanan yang diberikan dengan iuran yang seimbang.
Pemerintah harus serius dan mengambil peran utama dalam melakukan evaluasi sistem pengelolaan JKN. Pemberian jaminan kesehatan bagi masyarakat tentunya harus diselaraskan dengan perlindungan pemerintah terhadap rumah sakit, tenaga medis, dan industri farmasi sebagai pelaku utama dalam menyukseskan program nasional ini.
Upaya menyeimbangkan pemenuhan hak pada pemberi dan penerima layanan harus diusahakan untuk melindungi kepentingan masing-masing pihak sehingga akan tercapai pelaksanaan layanan JKN bagi masyarakat dengan dukungan sistem pemberi layanan yang baik.
Direktur Eksekutif Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK)
BPJS Kesehatan beroperasi sejak Januari 2014. Sebuah terobosan pemerintah untuk memberikan jaminan pelayanan kesehatan kepada masyarakat. Namun, dalam penerapannya program ini menemui banyak persoalan. Di satu sisi membuka akses bagi masyarakat sebagai penerima layanan kesehatan, tapi di sisi lain berdampak pada munculnya banyak permasalahan dari pemberi layanan.
Keluhan dari tenaga kesehatan dengan munculnya konsekuensi beban kerja yang tidak proporsional, pemberian tindakan kepada pasien tidak optimal karena dibatasi dengan plafon anggaran, baik untuk obat maupun tindakan medis, serta beban manajemen layanan rumah sakit dan relasi rumah sakit dengan pihak ketiga sebagai penyedia jasa, seperti farmasi dan alat kesehatan. Persoalan sistem pengelolaan ini melengkapi permasalahan keuangan yang menjadi kendala besar sejak penerapannya.
Permasalahan keuangan BPJS Kesehatan terjadi dari tahun ke tahun belum mampu menemukan solusi jitu. Setiap tahun selalu mengalami defisit dan semakin besar. Pada 2014 defisit sebesar Rp3,8 triliun. Pada 2015 naik menjadi Rp5,9 triliun. Kemudian pada 2016 membengkak menjadi Rp9 triliun. Pada 2017 kembali naik menjadi 9,75 triliun dan pada 2018 melonjak menjadi Rp16,5 triliun.
Banyak pihak menilai kondisi tersebut disebabkan tingginya klaim kesehatan peserta, sementara premi peserta tidak sebanding. Berbagai upaya untuk mengatasi situasi gawat darurat ini terus diupayakan. Pemerintah pun terpaksa harus memberikan suntikan dana untuk memastikan program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) berjalan terus. Namun, solusi emergency tersebut bersifat jangka pendek.
Kondisi defisit anggaran ini sudah sejak lama dirasakan, salah satunya oleh pihak rumah sakit sebagai penyedia layanan kesehatan. BPJS Kesehatan harus menunggak membayar tagihan ke rumah sakit akibat arus kas yang tidak sehat. Sementara layanan kesehatan harus terus diberikan oleh rumah sakit.
Berkompromi dengan mengurangi tindakan medis yang sudah sesuai dengan tata laksana penanganan tidak mungkin dilakukan. Menutup sebagian jenis layanan kesehatan yang ditanggung pun bukan pilihan tepat. Indonesia berada dalam posisi buruk pada Indeks Kesehatan Global 2017. Posisi Indonesia berada di peringkat 101 dari 149 negara.
Dampak bagi Industri Bidang Kesehatan
Tak hanya rumah sakit, pengaruh defisit anggaran BPJS Kesehatan juga mendera kalangan farmasi yang menjadi rekanan penyedia layanan kesehatan. Awal tahun ini Gabungan Pengusaha (GP) Farmasi mengeluhkan tunggakan BPJS Kesehatan ke perusahaan farmasi. Tak tanggung-tanggung, tunggakan yang sudah jatuh tempo mencapai Rp3,5 triliun.
Saat ini tagihan berjalan untuk farmasi sebesar Rp8 triliun. Keluhan itu disampaikan saat pertemuan GP Farmasi dengan Wakil Presiden Jusuf Kalla pada akhir Januari 2019. Tunggakan ini dikhawatirkan mengganggu pertumbuhan industri farmasi di Indonesia.
Defisit keuangan BPJS Kesehatan ini apabila terjadi terus menerus akan berdampak besar pada perkembangan pelayanan medik di Indonesia. Di antaranya turunnya kualitas layanan kesehatan, baik dari aspek tenaga kesehatan atau sumber daya manusia, sistem manajemen fasilitas kesehatan, dukungan peralatan kesehatan, maupun penyediaan obat-obatan atau farmasi.
Dampak buruknya adalah semakin turunnya kualitas kesehatan di Indonesia. Layanan BPJS Kesehatan melibatkan pihak pemberi layanan dan penerima layanan dalam jumlah sangat besar. Data sampai dengan Februari menunjukkan jumlah peserta mencapai 217.549.455 jiwa dengan dukungan 27.182 fasilitas kesehatan. Jumlah ini akan terus bertambah dan meningkatkan beban pengelolaan yang semakin kompleks.
Rumah sakit, tenaga medis, perusahaan farmasi, dan penyedia alat kesehatan merupakan pemegang peran penting yang terdampak dengan situasi keuangan BPJS Kesehatan. Rumah sakit yang harus menjaga relasi dengan berbagai pihak tersebut. Kewajibannya membayar jasa dokter dan tenaga medis lainnya, membayar kebutuhan obat-obatan atau farmasi, sampai dengan kebutuhan membayar penyediaan alat kesehatan.
Ketersendatan arus kas menuntut rumah sakit akan menentukan prioritas pembayaran pada pihak ketiga. Dalam situasi ini, pembayaran yang akan diprioritaskan tentu pada pos belanja internal, seperti gaji karyawan, jasa dokter, tenaga outsourcing kebersihan, dan katering. Sementara bagi pos pengeluaran yang melibatkan entitas bisnis seperti farmasi akan ditunda.
Tunggakan pembayaran tagihan dalam jumlah besar menjadi kendala bagi rumah sakit untuk memberikan pelayanan dengan baik, bahkan upaya pengembangan layanan atau inovasi juga bisa terkendala. Hal senada juga bisa terjadi pada institusi penyediaan obat-obatan atau farmasi. Arus kas yang tidak lancar tentu akan menjadi hambatan bagi institusi tersebut untuk mengembangkan industrinya.
Kondisi ini tidak sejalan dengan Inpres Nomor 6/2016 tentang Percepatan Pertumbuhan Industri Farmasi dan Alat Kesehatan. GP Farmasi menyatakan bahwa dalam beberapa tahun ini pertumbuhan industri farmasi malah tidak sesuai proyeksi. Pemakaian obat bertambah besar, tapi tidak sebanding dengan nilai jualnya.
Evaluasi dan Perbaikan Sistem
Implementasi JKN melalui BPJS Kesehatan sebagai amanat undang-undang memang tak terelakkan lagi. Ada dua undang-undang menjadi dasar program nasional ini, yaitu UU Nomor 40/2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional dan UU Nomor 24/2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial.
Tujuan utama dua undang-undang tersebut untuk memberikan jaminan kesejahteraan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Lebih mendasar lagi, implementasi program ini juga merupakan salah satu amanat dalam UUD 1945. Pasal 28H ayat (3) mengatur mengenai hak terhadap jaminan sosial. Dua instrumen hukum ini menunjukkan bahwa negara memiliki tanggung jawab untuk memberikan kesejahteraan sosial terutama terkait dengan kebutuhan dasar hidup secara layak.
Misi mulia negara tersebut belum berjalan sempurna. Jaminan sosial bidang kesehatan masih terseok-seok dengan arus keuangan BPJS Kesehatan yang selalu defisit. Sebagai amanat konstitusi dan undang-undang, tak ada langkah mundur bagi pemerintah menutup program. Langkah ini pun jelas tak populis.
Bahkan mengurangi manfaat fasilitas untuk menekan biaya pun mendapat kritik keras. Pemerintah tampaknya terus berjibaku untuk mengatasi defisit keuangan BPJS Kesehatan ini. Namun, dimensinya masih pendek dengan memberi suntikan dana untuk menutup tagihan yang membengkak.
Pilihannya melakukan evaluasi terhadap pengelolaan program JKN secara menyeluruh. Evaluasi penerapan kebijakan pengelolaan perlu segera dilakukan untuk menekan jumlah pihak terdampak akibat kondisi BPJS Kesehatan yang tak kunjung membaik.
Tahapan evaluasi ini yang sering kali luput dalam siklus implementasi kebijakan atau program. Gejala umum dalam siklus kebijakan di Indonesia. Bahkan dalam implementasi regulasi pun tidak dikenal tahapan evaluasi ini. Proses legislasi hanya berhenti saat peraturan perundang-undangan telah diundangkan.
Permasalahan ini sudah berulang selama bertahun-tahun semestinya peta sebab dan alternatif solusinya sudah di kantong pengambil kebijakan terkait. Di sini dibutuhkan juga komitmen politik untuk mendorong perbaikan kebijakan implementasi JKN. Jika tidak ada perubahan kebijakan, persoalan ini akan terus berlangsung. Sejumlah skema bisa dijalankan untuk menekan membengkaknya biaya yang ditanggung BPJS Kesehatan.
Menaikkan iuran bisa menjadi pilihan atau membuka kemungkinan menaikkan premi bagi peserta yang ingin mendapatkan layanan lebih. Alternatif lain membuka sistem co-provider, baik melalui asuransi lain atau tambahan dana pribadi untuk menanggung biaya kesehatan agar tindakan dan pengobatan lebih optimal. Fokus solusinya pada proporsionalitas antara beban layanan yang diberikan dengan iuran yang seimbang.
Pemerintah harus serius dan mengambil peran utama dalam melakukan evaluasi sistem pengelolaan JKN. Pemberian jaminan kesehatan bagi masyarakat tentunya harus diselaraskan dengan perlindungan pemerintah terhadap rumah sakit, tenaga medis, dan industri farmasi sebagai pelaku utama dalam menyukseskan program nasional ini.
Upaya menyeimbangkan pemenuhan hak pada pemberi dan penerima layanan harus diusahakan untuk melindungi kepentingan masing-masing pihak sehingga akan tercapai pelaksanaan layanan JKN bagi masyarakat dengan dukungan sistem pemberi layanan yang baik.
(maf)