China dan KTT AS-Korut

Rabu, 27 Februari 2019 - 07:35 WIB
China dan KTT AS-Korut
China dan KTT AS-Korut
A A A
Dinna Wisnu, Ph.D
Pengamat Hubungan Internasional
@dinnawisnu

PEMIMPIN Amerika Serikat (AS) Donald Trump dan pemimpin Korea Utara Kim Jong-un akan bertemu untuk kedua kalinya di Vietnam mulai hari ini hingga besok. Saya mencatat beberapa minggu lalu bahwa agenda utama yang ditunggu dan ramai dibicarakan untuk segera diputuskan adalah siapa yang mau melakukan langkah terlebih dahulu untuk membangun perdamaian di Semenanjung Korea.

Apakah AS mau mundur dari keberadaannya di Korea Selatan atau Korea Utara yang memutuskan dengan serius akan melucuti nuklir yang dimilikinya (denuklirisasi)? Apakah mungkin dalam pertemuan kedua di Vietnam ini AS-Korea Utara mendeklarasikan berakhirnya Perang Korea yang secara formal masih berlangsung sejak tahun 1950.

Alasan Korea Utara untuk meminta AS mundur dari Semenanjung Korea bukan mengada-ada. Korea Utara mengetahui bahwa AS dan Korea Selatan memiliki niat dan rencana sangat detil untuk melakukan penyerangan ke Korea Utara dan bahkan rencana membunuh Kim Jong-un.

Pengetahuan itu berasal dari hasil operasi intelijen pasukan peretas dari Korea Utara yang berhasil membobol server Defence Integrated Data Centre milik Departemen Pertahanan Korea Selatan di bulan September 2016. Para peretas mengunduh 235 giga bita dokumen militernya.

Korea Utara menjadi lebih sering melakukan percobaan senjata dan roket mereka setelah mengetahui informasi tersebut. Korea Utara hanya melakukan satu kali percobaan antara tahun 2015-2016. Mereka menembakkan misil the Pukkuksong-1 yang diluncurkan dari kapal selam.

Angka percobaan itu meningkat menjadi 27 kali di tahun 2017. Korea Utara mencoba misil balistik Hwasong-10 dan Pukguksong-2 jangka menengah hingga misil balistik Hwasong-14 yang direncanakan dapat mencapai sisi terluar AS. Percobaan-percobaan itu, walaupun tidak semua berhasil, menunjukan rasa khawatir Korea Utara terhadap kekuatan AS dan Korea Selatan.

AS dan Korea Selatan mengecam percobaan-percobaan tersebut. Dunia juga mengkritik pendekatan yang diambil oleh Korea Utara untuk menyelesaikan masalah Semenanjung Korea itu.

Kritik paling panas dilancarkan terutama ketika Korea Utara melakukan percobaan yang ke-6 di bulan September. Dewan Keamanan PBB membuat Resolusi 2375 di tanggal 11 September 2017 yang inti isinya adalah mengurangi sekitar 30% minyak yang diberikan ke Korea Utara dengan memotong lebih dari 55% produk minyak olahan yang dikirim ke Korea Utara.

China mendukung Resolusi 2375 tersebut. China bahkan melangkah lebih lanjut dari yang ditulis oleh resolusi itu. China menghentikan semua impor-impor yang menjadi sumber pendapatan Korea Utara seperti biji besi, batubara, atau timah. Tidak hanya itu, China juga menghentikan semua kerja sama dengan Korea Utara di Beijing dan melarang ekspor bahan bakar minyak ke Korea Utara kecuali sejumlah kecil bahan bakar jet.

Ada dua hal yang mungkin terpikir oleh Korea Utara ketika China ikut menekan resolusi itu. Pertama adalah kesadaran di dalam diri rezim Korea Utara bahwa mereka tidak dapat lagi mengandalkan China.

Korea Utara selama ini memang tergantung 80% perekonomiannya dengan China. Mereka menyadari apabila terjadi sedikit krisis terjadi di China tentu akan berdampak pula kepada Korea Utara.

Hal ini terjadi pada hubungan antaran Uni Soviet dengan Kuba di masa lalu. Korut akhirnya menyadari bahwa hubungan dengan China tidak dapat berkelanjutan (sustainable) di masa depan dan tidak dapat diandalkan (reliable).

Alasan kedua adalah mengonfirmasi sikap China yang selama ini sebetulnya menjaga jarak dengan Korea Utara. Sikap ini terlihat terutama semenjak Xi Jingpin menjadi Presiden pada 2013.

Xi Jingping sejak menjadi Presiden tidak pernah mengunjungi Korea Utara, sementara Kim Jong-un sudah mengunjungi Beijing sebanyak 4 kali. Xi Jingping baru menyatakan siap mengunjungi setelah KTT AS-Korut hari ini di Vietnam. Tepatnya ia menyampaikan kemungkinan akan berkunjung pada bulan April tahun ini.

Sikap China yang dingin terhadap Korut tidak lepas dari keinginan China untuk membuat kawasan Asia khususnya Semenanjung Korea stabil. Keinginan ini awalnya disandarkan pada forum negosiasi Six-Party Talks yang terdiri dari China, Korea Utara, Korea Selatan, Rusia, AS dan Jepang.

Forum negosiasi ini dibentuk sebagai tanggapan atas pengunduran diri Korea Utara dari Nuclear Non-Proliferation Treaty (NPT) di tahun 2003. Forum ini melakukan enam kali putaran negosiasi sejak tahun 2003 hingga 2009.

Forum itu sebetulnya banyak memberikan keputusan yang membantu Korea Utara dalam soal ekonomi sebagai imbalan atau bujukan agar Korut tidak melanjutkan lagi pengayaan senjata nuklirnya. Forum ini sendiri kemudian gagal dan berhenti melakukan pembicaraan ketika Korea Utara melanjutkan peluncuran satelitnya, yang diduga sebetulnya percobaan roket jangka menengah panjang, di bulan April 2009.

Semenjak itu China mulai mengeras terhadap Korea Utara. China dalam kebijakan umumnya selalu menolak apabila ada sanksi ekonomi dijatuhkan negara mana pun termasuk kepada Korut. Sikap ini mulai berubah ketika Korea Utara menguji coba rudal konvensional di tahun 2006.

China membekukan aset yang terkait dengan Korea Utara di cabang Bank of China di Makau pada Agustus tahun itu. Langkah itu adalah pertama kalinya kebijakan sanksi ekonomi terhadap Korea Utara dijalankan oleh China dengan tujuan agar Korea Utara kembali lagi ke Six-Talks Party.

China juga menghentikan sementara ekspor minyak ke Korea Utara selama empat bulan, dan mendukung Resolusi Dewan Keamanan PBB 1874 setelah Korea Utara melakukan percobaan nuklir kedua di bulan Oktober 2009. Negara Tirai Bambu itu mengusulkan lagi dua resolusi Dewan Keamanan PBB setelah Korea Utara meluncurkan roket di bulan Desember 2012 dan Februari 2013.

China menyadari bahwa sanksi-sanksi itu memang tidak dapat serta merta mengubah rezim Korea Utara namun dalam konteks politik internasional China sudah menunjukkan usahanya untuk menekan Korea Utara. Sanksi ekonomi itu juga untuk membantah anggapan bahwa China berada di belakang semua manuver yang dilakukan oleh Korea Utara.

Harapan China
China dan AS sama-sama berkepentingan untuk menyelesaikan masalah di Semenanjung Korea ini terutama usaha untuk mendenuklirisasi Korea Utara.

Kawasan Asia adalah kawasan yang menjanjikan untuk pertumbuhan ekonomi di masa mendatang dibandingkan kawasan Eropa yang sudah mencapai puncak pertumbuhan. Rencana-rencana ekonomi kedua negara tidak mungkin bisa disusun apabila Korea Utara tidak dilibatkan dalam proses perdamaian.

Masalah Korea Utara menjadi penting bagi kedua negara karena China dan AS menyadari bahwa masalah internal (ekonomi dan sosial) di dalam Korea Utara harus ditangani bersama-sama untuk menghindari masalah yang lebih besar lagi. China tidak ingin ketidakstabilan di Korea Utara akan mempengaruhi kestabilan China itu sendiri. Misalnya masalah pengungsi yang akan berbondong-bondong datang ke China apabila terjadi gejolak politik di dalam rezim tersebut.

Oleh karena itu, China mengusulkan pendekatan bertahap dalam menyelesaikan masalah nuklir dan sekaligus ekonomi di Korea Utara. China berharap bahwa langkah menuju denuklirisasi bisa dilakukan bertahan dengan menghapus beberapa sanksi ekonomi yang sudah dijatuhkan kepada Korea Utara.

Pendapat China ini sendiri juga selaras dengan keinginan Korea Selatan. Presiden Korea Selatan Moon Jae-in sudah berkomitmen dan yakin bahwa dimulainya kembali kerja sama ekonomi antar-Korea dan mengembangkan Korea Utara yang miskin pada akhirnya akan menuju denuklirisasi.

Sekarang kita tinggal melihat apakah KTT AS-Korea Utara di Vietnam pada hari ini dan esok akan menuju ke arah perdamaian yang lebih konkret atau akan kembali lagi ke titik nol?
(poe)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 1.0945 seconds (0.1#10.140)