Unicorn dan Kemudahan Berusaha di Indonesia

Sabtu, 23 Februari 2019 - 06:37 WIB
Unicorn dan Kemudahan Berusaha di Indonesia
Unicorn dan Kemudahan Berusaha di Indonesia
A A A
Indra Krishnamurti Peneliti Center for Indonesian Policy Studies (CIPS)

“Unicorn itu, maksudnya yang online-online itu, ya kan?” jawab Prabowo Subianto saat ditanya oleh Joko Widodo dalam debat calon presiden (capres) pada 17 Februari lalu. Topik ini lalu ramai dibahas oleh netizen di media sosial.

Istilah unicorn memang belum terlalu dikenal oleh masyarakat Indonesia. Padahal, kehadirannya sangat dekat dengan kehidupan sehari-hari. Siapa yang tidak kenal Go-Jek dan segala layanannya yang memudahkan kehidupan di Ibu Kota yang keras? Siapa juga yang belum pernah memanfaatkan penjualan kilat (flash sale) di Tokopedia? Atau memesan tiket dan hotel di Trave­loka agar tidak kurang piknik?

Toh tetap saja belum banyak warga Indonesia yang mengenal apa itu unicorn. Istilah ini merujuk pada per­usahaan rintis­an (startup) yang telah memiliki valuasi sebesar USD 1 miliar. Tentu jumlah ini bukan jumlah yang kecil, maka tidak banyak perusahaan yang bisa berbangga dengan status ini. Hanya tiga perusahaan di atas, ditam­bah Bukalapak yang juga mengklaim dirinya sebagai unicorn ke­empat di Indonesia.

Nyatanya memang Indonesia belum memiliki banyak wirausaha. Menurut data Kementerian Koperasi dan UKM pada 2018, hanya 3,1% penduduk Indonesia yang berwirausaha. Walau­pun melebihi standar internasional, yaitu 2%, angka ini masih jauh di bawah negara tetangga seperti Malaysia yang memiliki 5% wirausaha dan Singapura dengan 7% wirausaha dari total jumlah penduduknya.

Salah satu faktor yang memengaruhi belum banyaknya jumlah wirausaha Indonesia adalah sulitnya memulai usaha. Dalam Indeks Kemudahan Ber­bisnis yang dirilis Bank Dunia, Indo­nesia menempati posisi ke-72 dari 190 negara pada tahun 2018. Pencapaian ini sudah menunjukkan perbaikan diban­dingkan tiga tahun sebelumnya, ketika Indonesia masih menempati posisi ke-114. Namun, peringkat ini masih jauh dari sasaran yang ditargetkan untuk akhir tahun ini oleh Presiden Joko Widodo, yaitu posisi ke-40. Pada tingkat ASEAN pun posisi Indonesia masih di bawah Singapura, Malaysia, Vietnam, Thailand dan Brunei Darussalam.

Pencapaian Indonesia pada indikator “memulai usaha” justru masih jauh dari harapan, yaitu di peringkat ke-144. Diperlukan setidaknya 11 langkah prosedural yang membutuhkan waktu 23 hari dengan biaya hampir 11% dari pendapatan per kapita Indonesia agar seorang calon wirausaha bisa membuka usaha formal (Freddy dan Saputri, 2018). Realitas ini masih jauh dari upaya pemerintah yang menargetkan jumlah langkah prosedural hanya 5 dan waktu 7 hari.

Sementara itu, pencapaian negara tetangga jauh lebih baik. Contohnya saja Singapura yang menduduki peringkat keenam. Di negara kepulauan ini, seo­rang calon wirausaha ha­nya perlu me­nem­puh 3 langkah prose­dural dengan waktu 2,5 hari dan biaya ku­rang dari 1% pendapatan per kapita untuk dapat mem­buka usaha baru (Freddy dan Saputri, 2018). Dengan kondisi ini, tidak mengherankan bila Singapura kini memiliki setidaknya tiga unicorn: Grab, Sea Ltd (Garena), dan Lazada. Jumlah ini diperkirakan akan bertam­bah seiring munculnya sejumlah calon unicorn seperti Klook, 99.co, Chope, Paktor, dan Carousell.

Sebenarnya pemerintah bukannya tidak melakukan apa-apa untuk men­dukung kemudahan berusaha di Indo­nesia. Melalui peluncuran Online Single Submission (OSS), proses pen­daftaran usaha dan perizinan di­harapkan bisa di­sederhanakan dan di­akses lewat portal ini. Tertuang dalam Peraturan Peme­rin­tah (PP) Nomor 24/2018, penerapan OSS juga diawali dengan dicabutnya 51 peraturan daerah yang dianggap meng­hambat tumbuhnya investasi, dari bidang perpajakan, pelatihan, pen­didik­an dan UMKM.

Penghapusan kewajiban-kewajiban yang berlebihan dan penyederhanaan proses pendaftaran (dengan meman­faat­­kan OSS) bisa memotong waktu hingga dua pekan dari proses pendaftar­an usaha. Hal ini diharapkan mampu meningkatkan posisi Indonesia dalam indikator “memulai usaha” sebanyak 69 posisi ke peringkat ke-75. Hal ini akan semakin mendekatkan Indonesia men­capai target Indonesia posisi ke-40 da­lam Indeks Kemudahan Berbisnis.

Namun, tentu tidak semudah itu. Upaya pemerintah mempermudah para wirausaha membuka usahanya masih jauh dari sasaran. Seperti dibahas di depan, masih ada 11 langkah prosedural yang harus ditempuh, yang harus dite­kan hingga menjadi 5 langkah prosedural saja. Banyaknya prosedur ini pula yang menyebabkan proses registrasi me­makan 23 hari dari target yang hanya 7 hari. Tentunya hal ini sangat mem­berat­kan bagi para perintis usaha.

Ada beberapa hal yang perlu dievaluasi dalam implementasi OSS di seluruh wilayah Indonesia. Tumpang tindihnya peraturan di tingkat pusat dengan peraturan di tingkat daerah perlu menjadi per­hatian. Misalnya, masih ada berbagai peraturan daerah yang masih menerapkan syarat-syarat yang sebenarnya tidak dimuat dalam PP 24/2018. Hal ini disebabkan belum adanya SOP yang baru bagi pemerintah daerah, sehingga mereka masih merujuk ke peraturan terdahulu yang mensyaratkan beraneka surat izin dan dokumen.

Contoh lain, di DKI Jakarta masih ada persyaratan wajib lapor ketenaga­kerjaan (WLK) yang tidak disyaratkan dalam Permenaker Nomor 14/2006 tentang prosedur registrasi usaha. Padahal, data yang dicatatkan dalam WLK bisa didapatkan dari data yang dicatatkan ke BPJS Ketenagakerjaan. Demikian pula kewajiban melampirkan surat izin gangguan, yang didasarkan pada peraturan dari masa kolonial, ketika Indonesia masih dijajah Belanda. Dalam hal ini perlu adanya koordinasi yang kuat antara pemerintah pusat dan daerah, untuk memastikan bahwa segala persyaratan ketika membuka usaha telah disesuaikan dengan peraturan pusat yang berlaku.

Ditambah lagi belum semua anggota masyarakat sudah memahami proses digitalisasi pendaftaran usaha ini. Belum semua masyarakat Indonesia sudah akrab dan nyaman dengan sistem daring (online), termasuk ketika mereka hendak memulai suatu usaha. Adalah tugas pemerintah untuk secara gencar menyosialisasikan tentang alur proses yang baru ini sekaligus beserta dengan sistem daring yang baru, agar semua lapisan masyarakat dapat mema­hami­nya dan bersedia untuk mendaftarkan usaha mereka.

Sampai saat ini, berdasarkan data BPS 2017, sebagian terbesar usaha di Indonesia, yaitu sebanyak 93%, me­rupa­kan usaha pada sektor informal. Tentu ini memiliki implikasi negatif, yaitu kurangnya akses untuk menda­pat­kan layanan pengembangan bisnis dan layanan finansial. Tidak hanya men­jadikan usaha mereka layu sebelum ber­k­embang karena tidak mendapat­kan akses demikian, impian menjadi unicorn pun harus dikubur jauh-jauh. Status unicorn hanya bisa dicapai oleh usaha formal yang memiliki akses ke layanan finansial dan pengembangan usaha yang seluas mungkin.

Dalam legenda, unicorn adalah makhluk yang amat sukar ditangkap. Hanya mereka yang berhati bersih dan suci yang dapat menangkapnya. Mirip dengan itu, di dunia nyata, unicorn hanya muncul dalam iklim bisnis yang menunjang dibukanya bisnis-bisnis formal yang memiliki akses ke fasilitas finansial sehingga para wirausaha dapat mendapatkan modal dalam jum­lah besar-besaran dari para investor. Tentu agar para usahawan bisa terhu­bung dengan para investor, perlu un­tuk memastikan bahwa usaha-usaha yang mereka rintis itu telah sah dan ter­catat.

Inilah mengapa amat penting bagi pemerintah untuk mempermudah pro­se­dur bagi para wirausaha untuk men­daftarkan usaha mereka. Dengan ini, pemerintah bisa mendorong lahirnya semakin banyak usaha, sekaligus meng­ubah usaha-usaha nonformal yang su­dah ada menjadi usaha formal. Dengan demikian, para wirausaha akan men­dapatkan kesempatan mengakses fa­silitas finansial untuk mengem­bangkan usaha mereka, sehingga memung­kin­kan lahirnya banyak unicorn baru dari dunia usaha Indonesia.
(kri)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.3212 seconds (0.1#10.140)