Unicorn dan Kemudahan Berusaha di Indonesia
A
A
A
Indra Krishnamurti Peneliti Center for Indonesian Policy Studies (CIPS)
“Unicorn itu, maksudnya yang online-online itu, ya kan?” jawab Prabowo Subianto saat ditanya oleh Joko Widodo dalam debat calon presiden (capres) pada 17 Februari lalu. Topik ini lalu ramai dibahas oleh netizen di media sosial.
Istilah unicorn memang belum terlalu dikenal oleh masyarakat Indonesia. Padahal, kehadirannya sangat dekat dengan kehidupan sehari-hari. Siapa yang tidak kenal Go-Jek dan segala layanannya yang memudahkan kehidupan di Ibu Kota yang keras? Siapa juga yang belum pernah memanfaatkan penjualan kilat (flash sale) di Tokopedia? Atau memesan tiket dan hotel di Traveloka agar tidak kurang piknik?
Toh tetap saja belum banyak warga Indonesia yang mengenal apa itu unicorn. Istilah ini merujuk pada perusahaan rintisan (startup) yang telah memiliki valuasi sebesar USD 1 miliar. Tentu jumlah ini bukan jumlah yang kecil, maka tidak banyak perusahaan yang bisa berbangga dengan status ini. Hanya tiga perusahaan di atas, ditambah Bukalapak yang juga mengklaim dirinya sebagai unicorn keempat di Indonesia.
Nyatanya memang Indonesia belum memiliki banyak wirausaha. Menurut data Kementerian Koperasi dan UKM pada 2018, hanya 3,1% penduduk Indonesia yang berwirausaha. Walaupun melebihi standar internasional, yaitu 2%, angka ini masih jauh di bawah negara tetangga seperti Malaysia yang memiliki 5% wirausaha dan Singapura dengan 7% wirausaha dari total jumlah penduduknya.
Salah satu faktor yang memengaruhi belum banyaknya jumlah wirausaha Indonesia adalah sulitnya memulai usaha. Dalam Indeks Kemudahan Berbisnis yang dirilis Bank Dunia, Indonesia menempati posisi ke-72 dari 190 negara pada tahun 2018. Pencapaian ini sudah menunjukkan perbaikan dibandingkan tiga tahun sebelumnya, ketika Indonesia masih menempati posisi ke-114. Namun, peringkat ini masih jauh dari sasaran yang ditargetkan untuk akhir tahun ini oleh Presiden Joko Widodo, yaitu posisi ke-40. Pada tingkat ASEAN pun posisi Indonesia masih di bawah Singapura, Malaysia, Vietnam, Thailand dan Brunei Darussalam.
Pencapaian Indonesia pada indikator “memulai usaha” justru masih jauh dari harapan, yaitu di peringkat ke-144. Diperlukan setidaknya 11 langkah prosedural yang membutuhkan waktu 23 hari dengan biaya hampir 11% dari pendapatan per kapita Indonesia agar seorang calon wirausaha bisa membuka usaha formal (Freddy dan Saputri, 2018). Realitas ini masih jauh dari upaya pemerintah yang menargetkan jumlah langkah prosedural hanya 5 dan waktu 7 hari.
Sementara itu, pencapaian negara tetangga jauh lebih baik. Contohnya saja Singapura yang menduduki peringkat keenam. Di negara kepulauan ini, seorang calon wirausaha hanya perlu menempuh 3 langkah prosedural dengan waktu 2,5 hari dan biaya kurang dari 1% pendapatan per kapita untuk dapat membuka usaha baru (Freddy dan Saputri, 2018). Dengan kondisi ini, tidak mengherankan bila Singapura kini memiliki setidaknya tiga unicorn: Grab, Sea Ltd (Garena), dan Lazada. Jumlah ini diperkirakan akan bertambah seiring munculnya sejumlah calon unicorn seperti Klook, 99.co, Chope, Paktor, dan Carousell.
Sebenarnya pemerintah bukannya tidak melakukan apa-apa untuk mendukung kemudahan berusaha di Indonesia. Melalui peluncuran Online Single Submission (OSS), proses pendaftaran usaha dan perizinan diharapkan bisa disederhanakan dan diakses lewat portal ini. Tertuang dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 24/2018, penerapan OSS juga diawali dengan dicabutnya 51 peraturan daerah yang dianggap menghambat tumbuhnya investasi, dari bidang perpajakan, pelatihan, pendidikan dan UMKM.
Penghapusan kewajiban-kewajiban yang berlebihan dan penyederhanaan proses pendaftaran (dengan memanfaatkan OSS) bisa memotong waktu hingga dua pekan dari proses pendaftaran usaha. Hal ini diharapkan mampu meningkatkan posisi Indonesia dalam indikator “memulai usaha” sebanyak 69 posisi ke peringkat ke-75. Hal ini akan semakin mendekatkan Indonesia mencapai target Indonesia posisi ke-40 dalam Indeks Kemudahan Berbisnis.
Namun, tentu tidak semudah itu. Upaya pemerintah mempermudah para wirausaha membuka usahanya masih jauh dari sasaran. Seperti dibahas di depan, masih ada 11 langkah prosedural yang harus ditempuh, yang harus ditekan hingga menjadi 5 langkah prosedural saja. Banyaknya prosedur ini pula yang menyebabkan proses registrasi memakan 23 hari dari target yang hanya 7 hari. Tentunya hal ini sangat memberatkan bagi para perintis usaha.
Ada beberapa hal yang perlu dievaluasi dalam implementasi OSS di seluruh wilayah Indonesia. Tumpang tindihnya peraturan di tingkat pusat dengan peraturan di tingkat daerah perlu menjadi perhatian. Misalnya, masih ada berbagai peraturan daerah yang masih menerapkan syarat-syarat yang sebenarnya tidak dimuat dalam PP 24/2018. Hal ini disebabkan belum adanya SOP yang baru bagi pemerintah daerah, sehingga mereka masih merujuk ke peraturan terdahulu yang mensyaratkan beraneka surat izin dan dokumen.
Contoh lain, di DKI Jakarta masih ada persyaratan wajib lapor ketenagakerjaan (WLK) yang tidak disyaratkan dalam Permenaker Nomor 14/2006 tentang prosedur registrasi usaha. Padahal, data yang dicatatkan dalam WLK bisa didapatkan dari data yang dicatatkan ke BPJS Ketenagakerjaan. Demikian pula kewajiban melampirkan surat izin gangguan, yang didasarkan pada peraturan dari masa kolonial, ketika Indonesia masih dijajah Belanda. Dalam hal ini perlu adanya koordinasi yang kuat antara pemerintah pusat dan daerah, untuk memastikan bahwa segala persyaratan ketika membuka usaha telah disesuaikan dengan peraturan pusat yang berlaku.
Ditambah lagi belum semua anggota masyarakat sudah memahami proses digitalisasi pendaftaran usaha ini. Belum semua masyarakat Indonesia sudah akrab dan nyaman dengan sistem daring (online), termasuk ketika mereka hendak memulai suatu usaha. Adalah tugas pemerintah untuk secara gencar menyosialisasikan tentang alur proses yang baru ini sekaligus beserta dengan sistem daring yang baru, agar semua lapisan masyarakat dapat memahaminya dan bersedia untuk mendaftarkan usaha mereka.
Sampai saat ini, berdasarkan data BPS 2017, sebagian terbesar usaha di Indonesia, yaitu sebanyak 93%, merupakan usaha pada sektor informal. Tentu ini memiliki implikasi negatif, yaitu kurangnya akses untuk mendapatkan layanan pengembangan bisnis dan layanan finansial. Tidak hanya menjadikan usaha mereka layu sebelum berkembang karena tidak mendapatkan akses demikian, impian menjadi unicorn pun harus dikubur jauh-jauh. Status unicorn hanya bisa dicapai oleh usaha formal yang memiliki akses ke layanan finansial dan pengembangan usaha yang seluas mungkin.
Dalam legenda, unicorn adalah makhluk yang amat sukar ditangkap. Hanya mereka yang berhati bersih dan suci yang dapat menangkapnya. Mirip dengan itu, di dunia nyata, unicorn hanya muncul dalam iklim bisnis yang menunjang dibukanya bisnis-bisnis formal yang memiliki akses ke fasilitas finansial sehingga para wirausaha dapat mendapatkan modal dalam jumlah besar-besaran dari para investor. Tentu agar para usahawan bisa terhubung dengan para investor, perlu untuk memastikan bahwa usaha-usaha yang mereka rintis itu telah sah dan tercatat.
Inilah mengapa amat penting bagi pemerintah untuk mempermudah prosedur bagi para wirausaha untuk mendaftarkan usaha mereka. Dengan ini, pemerintah bisa mendorong lahirnya semakin banyak usaha, sekaligus mengubah usaha-usaha nonformal yang sudah ada menjadi usaha formal. Dengan demikian, para wirausaha akan mendapatkan kesempatan mengakses fasilitas finansial untuk mengembangkan usaha mereka, sehingga memungkinkan lahirnya banyak unicorn baru dari dunia usaha Indonesia.
“Unicorn itu, maksudnya yang online-online itu, ya kan?” jawab Prabowo Subianto saat ditanya oleh Joko Widodo dalam debat calon presiden (capres) pada 17 Februari lalu. Topik ini lalu ramai dibahas oleh netizen di media sosial.
Istilah unicorn memang belum terlalu dikenal oleh masyarakat Indonesia. Padahal, kehadirannya sangat dekat dengan kehidupan sehari-hari. Siapa yang tidak kenal Go-Jek dan segala layanannya yang memudahkan kehidupan di Ibu Kota yang keras? Siapa juga yang belum pernah memanfaatkan penjualan kilat (flash sale) di Tokopedia? Atau memesan tiket dan hotel di Traveloka agar tidak kurang piknik?
Toh tetap saja belum banyak warga Indonesia yang mengenal apa itu unicorn. Istilah ini merujuk pada perusahaan rintisan (startup) yang telah memiliki valuasi sebesar USD 1 miliar. Tentu jumlah ini bukan jumlah yang kecil, maka tidak banyak perusahaan yang bisa berbangga dengan status ini. Hanya tiga perusahaan di atas, ditambah Bukalapak yang juga mengklaim dirinya sebagai unicorn keempat di Indonesia.
Nyatanya memang Indonesia belum memiliki banyak wirausaha. Menurut data Kementerian Koperasi dan UKM pada 2018, hanya 3,1% penduduk Indonesia yang berwirausaha. Walaupun melebihi standar internasional, yaitu 2%, angka ini masih jauh di bawah negara tetangga seperti Malaysia yang memiliki 5% wirausaha dan Singapura dengan 7% wirausaha dari total jumlah penduduknya.
Salah satu faktor yang memengaruhi belum banyaknya jumlah wirausaha Indonesia adalah sulitnya memulai usaha. Dalam Indeks Kemudahan Berbisnis yang dirilis Bank Dunia, Indonesia menempati posisi ke-72 dari 190 negara pada tahun 2018. Pencapaian ini sudah menunjukkan perbaikan dibandingkan tiga tahun sebelumnya, ketika Indonesia masih menempati posisi ke-114. Namun, peringkat ini masih jauh dari sasaran yang ditargetkan untuk akhir tahun ini oleh Presiden Joko Widodo, yaitu posisi ke-40. Pada tingkat ASEAN pun posisi Indonesia masih di bawah Singapura, Malaysia, Vietnam, Thailand dan Brunei Darussalam.
Pencapaian Indonesia pada indikator “memulai usaha” justru masih jauh dari harapan, yaitu di peringkat ke-144. Diperlukan setidaknya 11 langkah prosedural yang membutuhkan waktu 23 hari dengan biaya hampir 11% dari pendapatan per kapita Indonesia agar seorang calon wirausaha bisa membuka usaha formal (Freddy dan Saputri, 2018). Realitas ini masih jauh dari upaya pemerintah yang menargetkan jumlah langkah prosedural hanya 5 dan waktu 7 hari.
Sementara itu, pencapaian negara tetangga jauh lebih baik. Contohnya saja Singapura yang menduduki peringkat keenam. Di negara kepulauan ini, seorang calon wirausaha hanya perlu menempuh 3 langkah prosedural dengan waktu 2,5 hari dan biaya kurang dari 1% pendapatan per kapita untuk dapat membuka usaha baru (Freddy dan Saputri, 2018). Dengan kondisi ini, tidak mengherankan bila Singapura kini memiliki setidaknya tiga unicorn: Grab, Sea Ltd (Garena), dan Lazada. Jumlah ini diperkirakan akan bertambah seiring munculnya sejumlah calon unicorn seperti Klook, 99.co, Chope, Paktor, dan Carousell.
Sebenarnya pemerintah bukannya tidak melakukan apa-apa untuk mendukung kemudahan berusaha di Indonesia. Melalui peluncuran Online Single Submission (OSS), proses pendaftaran usaha dan perizinan diharapkan bisa disederhanakan dan diakses lewat portal ini. Tertuang dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 24/2018, penerapan OSS juga diawali dengan dicabutnya 51 peraturan daerah yang dianggap menghambat tumbuhnya investasi, dari bidang perpajakan, pelatihan, pendidikan dan UMKM.
Penghapusan kewajiban-kewajiban yang berlebihan dan penyederhanaan proses pendaftaran (dengan memanfaatkan OSS) bisa memotong waktu hingga dua pekan dari proses pendaftaran usaha. Hal ini diharapkan mampu meningkatkan posisi Indonesia dalam indikator “memulai usaha” sebanyak 69 posisi ke peringkat ke-75. Hal ini akan semakin mendekatkan Indonesia mencapai target Indonesia posisi ke-40 dalam Indeks Kemudahan Berbisnis.
Namun, tentu tidak semudah itu. Upaya pemerintah mempermudah para wirausaha membuka usahanya masih jauh dari sasaran. Seperti dibahas di depan, masih ada 11 langkah prosedural yang harus ditempuh, yang harus ditekan hingga menjadi 5 langkah prosedural saja. Banyaknya prosedur ini pula yang menyebabkan proses registrasi memakan 23 hari dari target yang hanya 7 hari. Tentunya hal ini sangat memberatkan bagi para perintis usaha.
Ada beberapa hal yang perlu dievaluasi dalam implementasi OSS di seluruh wilayah Indonesia. Tumpang tindihnya peraturan di tingkat pusat dengan peraturan di tingkat daerah perlu menjadi perhatian. Misalnya, masih ada berbagai peraturan daerah yang masih menerapkan syarat-syarat yang sebenarnya tidak dimuat dalam PP 24/2018. Hal ini disebabkan belum adanya SOP yang baru bagi pemerintah daerah, sehingga mereka masih merujuk ke peraturan terdahulu yang mensyaratkan beraneka surat izin dan dokumen.
Contoh lain, di DKI Jakarta masih ada persyaratan wajib lapor ketenagakerjaan (WLK) yang tidak disyaratkan dalam Permenaker Nomor 14/2006 tentang prosedur registrasi usaha. Padahal, data yang dicatatkan dalam WLK bisa didapatkan dari data yang dicatatkan ke BPJS Ketenagakerjaan. Demikian pula kewajiban melampirkan surat izin gangguan, yang didasarkan pada peraturan dari masa kolonial, ketika Indonesia masih dijajah Belanda. Dalam hal ini perlu adanya koordinasi yang kuat antara pemerintah pusat dan daerah, untuk memastikan bahwa segala persyaratan ketika membuka usaha telah disesuaikan dengan peraturan pusat yang berlaku.
Ditambah lagi belum semua anggota masyarakat sudah memahami proses digitalisasi pendaftaran usaha ini. Belum semua masyarakat Indonesia sudah akrab dan nyaman dengan sistem daring (online), termasuk ketika mereka hendak memulai suatu usaha. Adalah tugas pemerintah untuk secara gencar menyosialisasikan tentang alur proses yang baru ini sekaligus beserta dengan sistem daring yang baru, agar semua lapisan masyarakat dapat memahaminya dan bersedia untuk mendaftarkan usaha mereka.
Sampai saat ini, berdasarkan data BPS 2017, sebagian terbesar usaha di Indonesia, yaitu sebanyak 93%, merupakan usaha pada sektor informal. Tentu ini memiliki implikasi negatif, yaitu kurangnya akses untuk mendapatkan layanan pengembangan bisnis dan layanan finansial. Tidak hanya menjadikan usaha mereka layu sebelum berkembang karena tidak mendapatkan akses demikian, impian menjadi unicorn pun harus dikubur jauh-jauh. Status unicorn hanya bisa dicapai oleh usaha formal yang memiliki akses ke layanan finansial dan pengembangan usaha yang seluas mungkin.
Dalam legenda, unicorn adalah makhluk yang amat sukar ditangkap. Hanya mereka yang berhati bersih dan suci yang dapat menangkapnya. Mirip dengan itu, di dunia nyata, unicorn hanya muncul dalam iklim bisnis yang menunjang dibukanya bisnis-bisnis formal yang memiliki akses ke fasilitas finansial sehingga para wirausaha dapat mendapatkan modal dalam jumlah besar-besaran dari para investor. Tentu agar para usahawan bisa terhubung dengan para investor, perlu untuk memastikan bahwa usaha-usaha yang mereka rintis itu telah sah dan tercatat.
Inilah mengapa amat penting bagi pemerintah untuk mempermudah prosedur bagi para wirausaha untuk mendaftarkan usaha mereka. Dengan ini, pemerintah bisa mendorong lahirnya semakin banyak usaha, sekaligus mengubah usaha-usaha nonformal yang sudah ada menjadi usaha formal. Dengan demikian, para wirausaha akan mendapatkan kesempatan mengakses fasilitas finansial untuk mengembangkan usaha mereka, sehingga memungkinkan lahirnya banyak unicorn baru dari dunia usaha Indonesia.
(kri)