Memilih Pemimpin
A
A
A
Komaruddin Hidayat
Guru Besar Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah
MEMILIH gubernur atau presiden tidak sama dengan memilih imam salat. Dalam salat berjamaah, mereka yang datang ke masjid sudah pasang niat untuk bersujud kepada Allah, tidak begitu penting siapa imamnya. Mereka juga tak akan membuat kerusuhan di masjid.
Dalam memilih imam salat, yang diutamakan adalah yang paling tua usianya dan paling fasih bacaannya. Fasih dan enak suaranya ini penting sebagai imam salat karena akan membantu menciptakan kenikmatan dan kesyahduan beribadah bagi para jamaah, terlepas apakah dia paham ataukah tidak makna ayat-ayat Alquran yang dilafalkannya. Tentu saja lebih utama lagi adalah yang menguasai kandungan Alquran.
Tanpa diatur oleh imam dan pengurus masjid, para jamaah akan mengatur barisannya sendiri. Ketika imam memilih ayat-ayat Alquran yang dibaca, jamaah juga tidak akan mengajukan protes.
Situasi demikian tentu sangat jauh berbeda jika dibandingkan dengan pemilihan sosok presiden. Makanya tidak apple to apple membandingkan pemilihan presiden dengan pemimpin keagamaan, misalnya sebagai imam salat.
Terlebih presiden bagi rakyat Indonesia yang kondisi sosial, budaya, dan agamanya sangat bervariasi dan plural, tersebar ke ratusan pulau. Secara vertikal, masih terjadi kesenjangan yang tajam antara mereka yang tergolong amat sangat kaya, kaya, sedang, miskin, dan fakir.
Masyarakat kita masih berbentuk piramida dari segi kepemilikan kekayaan. Sekelompok orang yang berada di puncak, kekayaannya ekuivalen dengan separuh rakyat Indonesia lapisan bawah.
Dalam ajaran Islam, ada dua syarat pokok harus dipegang seorang pemimpin, yaitu amanah dan adil. Pemimpin yang amanah akan mendatangkan rasa aman karena rakyat percaya bahwa pemimpinnya tidak akan mengkhianati kepercayaan yang diamanatkan kepadanya. Tidak akan mengambil keuntungan dari jabatannya untuk kepentingan dirinya yang bukan haknya.
Pendek kata, pemimpin yang amanah jauh dari tindakan koruptif. Sikap ini dikombinasikan dengan prinsip keadilan. Realisasi dari kepemimpinan yang adil adalah selalu memperjuangkan dan menjaga hak-hak seseorang, jangan sampai dirugikan baik oleh orang lain maupun oleh sistem yang berlaku. Jadi adil adalah membela dan melindungi hak setiap warga negara.
Jika dikaitkan dengan Pancasila, bermula dari sikap kebertuhanan dan berperikemanusiaan, muaranya adalah menciptakan dan menjaga keadilan demi kesejahteraan rakyat. Oleh karena itu, prinsip keadilan ini merupakan tolok ukur untuk menilai keberhasilan sebuah pemerintahan dan kualitas pemimpinnya.
Realisasi keadilan ini terjadi dalam ranah sosial yang bisa diukur dan mesti dikawal oleh hukum. Dengan demikian, membandingkan kehebatan seorang imam salat dan pemimpin negara itu sangat beda. Dalam salat, arahnya vertikal, hubungan hamba dan Tuhannya bersifat kualitatif. Dalam keadilan, sifatnya horizontal dan bisa dikuantitatifkan.
Oleh karena itu pemimpin yang adil lebih mendekatkan pada kesejahteraan dan stabilitas politik sekalipun negaranya sekuler. Sebaliknya, sekalipun mengaku sebagai tokoh agama, jika dalam kepemimpinannya korup, tidak amanah, dan zalim, pasti pemerintahannya tidak tahan lama dan melahirkan banyak musuh politik.
Guru Besar Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah
MEMILIH gubernur atau presiden tidak sama dengan memilih imam salat. Dalam salat berjamaah, mereka yang datang ke masjid sudah pasang niat untuk bersujud kepada Allah, tidak begitu penting siapa imamnya. Mereka juga tak akan membuat kerusuhan di masjid.
Dalam memilih imam salat, yang diutamakan adalah yang paling tua usianya dan paling fasih bacaannya. Fasih dan enak suaranya ini penting sebagai imam salat karena akan membantu menciptakan kenikmatan dan kesyahduan beribadah bagi para jamaah, terlepas apakah dia paham ataukah tidak makna ayat-ayat Alquran yang dilafalkannya. Tentu saja lebih utama lagi adalah yang menguasai kandungan Alquran.
Tanpa diatur oleh imam dan pengurus masjid, para jamaah akan mengatur barisannya sendiri. Ketika imam memilih ayat-ayat Alquran yang dibaca, jamaah juga tidak akan mengajukan protes.
Situasi demikian tentu sangat jauh berbeda jika dibandingkan dengan pemilihan sosok presiden. Makanya tidak apple to apple membandingkan pemilihan presiden dengan pemimpin keagamaan, misalnya sebagai imam salat.
Terlebih presiden bagi rakyat Indonesia yang kondisi sosial, budaya, dan agamanya sangat bervariasi dan plural, tersebar ke ratusan pulau. Secara vertikal, masih terjadi kesenjangan yang tajam antara mereka yang tergolong amat sangat kaya, kaya, sedang, miskin, dan fakir.
Masyarakat kita masih berbentuk piramida dari segi kepemilikan kekayaan. Sekelompok orang yang berada di puncak, kekayaannya ekuivalen dengan separuh rakyat Indonesia lapisan bawah.
Dalam ajaran Islam, ada dua syarat pokok harus dipegang seorang pemimpin, yaitu amanah dan adil. Pemimpin yang amanah akan mendatangkan rasa aman karena rakyat percaya bahwa pemimpinnya tidak akan mengkhianati kepercayaan yang diamanatkan kepadanya. Tidak akan mengambil keuntungan dari jabatannya untuk kepentingan dirinya yang bukan haknya.
Pendek kata, pemimpin yang amanah jauh dari tindakan koruptif. Sikap ini dikombinasikan dengan prinsip keadilan. Realisasi dari kepemimpinan yang adil adalah selalu memperjuangkan dan menjaga hak-hak seseorang, jangan sampai dirugikan baik oleh orang lain maupun oleh sistem yang berlaku. Jadi adil adalah membela dan melindungi hak setiap warga negara.
Jika dikaitkan dengan Pancasila, bermula dari sikap kebertuhanan dan berperikemanusiaan, muaranya adalah menciptakan dan menjaga keadilan demi kesejahteraan rakyat. Oleh karena itu, prinsip keadilan ini merupakan tolok ukur untuk menilai keberhasilan sebuah pemerintahan dan kualitas pemimpinnya.
Realisasi keadilan ini terjadi dalam ranah sosial yang bisa diukur dan mesti dikawal oleh hukum. Dengan demikian, membandingkan kehebatan seorang imam salat dan pemimpin negara itu sangat beda. Dalam salat, arahnya vertikal, hubungan hamba dan Tuhannya bersifat kualitatif. Dalam keadilan, sifatnya horizontal dan bisa dikuantitatifkan.
Oleh karena itu pemimpin yang adil lebih mendekatkan pada kesejahteraan dan stabilitas politik sekalipun negaranya sekuler. Sebaliknya, sekalipun mengaku sebagai tokoh agama, jika dalam kepemimpinannya korup, tidak amanah, dan zalim, pasti pemerintahannya tidak tahan lama dan melahirkan banyak musuh politik.
(poe)