Anggota DPD Menilai Kasus Irman Gusman Sarat Muatan Politik
A
A
A
JAKARTA - Kasus yang menimpa mantan Ketua Dewan Perwakilan Daerah (DPD) Irman Gusman dinilai sarat kepentingan politik. Hal ini diungkapkan Anggota DPD John Pieris saat diskusi interaktif yang mengupas tentang eksaminasi putusan perkara Irman Gusman di Universitas Kristen Indonesia (UKI) di Cawang, Jakarta, Kamis (31/1/2019).
Selain John Pieris, hadir sebagai pembicara diskusi yakni Dosen Hukum UKI Petrus Irwan Panjaitan, manta Hakim MK yang juga mantan Rektor UKI Maruarar Siahaan, dan penulis buku 'Menyibak Kebenaran' Pitan Daslani. John Pieris yang menjadi salah pembicara mengaku sejak awal ia menduga kasus yang menimpa Irman syarat kepentingan politik. “Secara pribadi saya yang paling merasa bertanggung jawab secara moral untuk meluruskan pribadi Irman,” katanya. (Baca juga: Kasus Impor Gula, Para Pakar Hukum Nilai Irman Gusman Tak Bersalah )
Pakar hukum tata Negara UKI ini mengaku sangat kenal dengan pribadi Irman yang dikenal cukup baik. Ia dan Irman sama-sama sebagai kelompok Cipayung. Bedanya, Irman sebagai aktivis HMI, sementara dirinya sebagai aktivis GMKI. “Irman juga merupakan pribadi yang suka membantu dan seorang muslim yang taat beribadah,” ujarnya. (Baca juga: Negara Diminta Tegakkan Hukum Berkeadilan dalam Kasus Irman Gusman )
Di luar sisi humanisme Irman, John mengaku tindakan hukum seperti operasi tangkap tangan (OTT) yang dilakukan KPK perlu dievaluasi. Ia menganggap, KPK bukan lagi dominan kepada pencegahan, melainkan berapa banyak lembaga tersebut berhasil menangkap orang. "Karena saya melihat pemberantasan korupsi ini seakan ditarget. Setahun harus tangkap orang berapa," ungkapnya.
Di forum yang sama, Maruarar Siahaan mengkritisi soal kinerja KPK yang disebutnya lembaga yang memiliki bobot besar namun menangkap orang dengan barang bukti Rp100 juta. Maruarar menyebut dengan bobot besar yang dimiliki KPK, kasus Irman dianggap berlebihan. (baca juga: Tunggu Putusan MA, Irman Gusman Yakin Permohonan PK Dikabulkan )
Dengan kata lain, peristiwa OTT terhadap Irman tidak mengedepankan pencegahan. "Kalau melihat bobotnya itu kan sepertinya mereka sudah ketahui," kata Maruarar seraya tetap menghargai cara kerja KPK sebagai lembaga pemberantasan korupsi.
Adapun dari sisi putusan pengadilan terhadap Irman, Maruarar melihat ada kegamangan JPU dan hakim yang menerapkan pasal 12 huruf b UU Tipikor yang mengacu pada perbuatan suap. Menurut Maruarar, ketika dictum putusan dibacakan seharusnya majelis hakim memperhatikan pasal penyuapan, bukan justru kepada pengaruh pejabat negara.
"Tetapi semua unsur yang diangkat dalam pasal 12 b untuk mempengaruhi pejabat berwenang. Ada banyak contoh, seperti hakim dipengarungi untuk membebaskan terdakwa dari tuntutan," tandasnya.
Dalam sambutannya, Rektor UKI Dhaniswara K Harjono mengatakan, eksaminasi dimaksud untuk memeriksa, menyelidiki dan melihat secara jernih putusan sebuah perkara di pengadilan. Meski eksaminasi tidak bisa mengubah sebuah putusan namun setidaknya bisa memberi gambaran secara utuh tentang putusan yang sesuai dengan perundang-undangan yang berlaku.
"Sehingga keadilan hukum bisa ditegakkan kepada seluruh warga bangsa. Khususnya menyangkut hak hukum (terpidana) yang perlu diluruskan kepada publik," kata Dhaniswara.
Melalui diskusi eksaminasi ini diharapkan mahasiswa yang menempuh disiplin ilmu hukum dapat memperoleh gambaran yang jelas tentang kontruksi hukum yang berlangsung di pengadilan. Termasuk penerapan pasal sebuah tindak kejahatan.
Penulis buku ‘Menyibak Kebenaran’ yang juga Dosen Hukum UKI, Pitan Daslan mengaku sejak awal kasus hukum Irman Gusman memang menyita perhatian publik. Pitan pun sampai menemui Irman untuk berdiskusi secara langsung tentang kontruksi hukum yang dialami mantan Ketua DPD tersebut.
Saat bertemu Irman, Pitan menyampaikan ingin menulis buku. Irman sempat menanyakan kenapa ingin membuat judul buku seperti itu. Dijelaskan Pitan bahwa tanpa kebenaran, keadilan hukum tidak berarti apa-apa.
"Orang tidak melihat keuntungan, untuk menurunkan harga gula di sumbar. Nah pasal 12 huruf b itu berkenaan dengan kewenangan atau pengaruh," kata Pitan.
Selain John Pieris, hadir sebagai pembicara diskusi yakni Dosen Hukum UKI Petrus Irwan Panjaitan, manta Hakim MK yang juga mantan Rektor UKI Maruarar Siahaan, dan penulis buku 'Menyibak Kebenaran' Pitan Daslani. John Pieris yang menjadi salah pembicara mengaku sejak awal ia menduga kasus yang menimpa Irman syarat kepentingan politik. “Secara pribadi saya yang paling merasa bertanggung jawab secara moral untuk meluruskan pribadi Irman,” katanya. (Baca juga: Kasus Impor Gula, Para Pakar Hukum Nilai Irman Gusman Tak Bersalah )
Pakar hukum tata Negara UKI ini mengaku sangat kenal dengan pribadi Irman yang dikenal cukup baik. Ia dan Irman sama-sama sebagai kelompok Cipayung. Bedanya, Irman sebagai aktivis HMI, sementara dirinya sebagai aktivis GMKI. “Irman juga merupakan pribadi yang suka membantu dan seorang muslim yang taat beribadah,” ujarnya. (Baca juga: Negara Diminta Tegakkan Hukum Berkeadilan dalam Kasus Irman Gusman )
Di luar sisi humanisme Irman, John mengaku tindakan hukum seperti operasi tangkap tangan (OTT) yang dilakukan KPK perlu dievaluasi. Ia menganggap, KPK bukan lagi dominan kepada pencegahan, melainkan berapa banyak lembaga tersebut berhasil menangkap orang. "Karena saya melihat pemberantasan korupsi ini seakan ditarget. Setahun harus tangkap orang berapa," ungkapnya.
Di forum yang sama, Maruarar Siahaan mengkritisi soal kinerja KPK yang disebutnya lembaga yang memiliki bobot besar namun menangkap orang dengan barang bukti Rp100 juta. Maruarar menyebut dengan bobot besar yang dimiliki KPK, kasus Irman dianggap berlebihan. (baca juga: Tunggu Putusan MA, Irman Gusman Yakin Permohonan PK Dikabulkan )
Dengan kata lain, peristiwa OTT terhadap Irman tidak mengedepankan pencegahan. "Kalau melihat bobotnya itu kan sepertinya mereka sudah ketahui," kata Maruarar seraya tetap menghargai cara kerja KPK sebagai lembaga pemberantasan korupsi.
Adapun dari sisi putusan pengadilan terhadap Irman, Maruarar melihat ada kegamangan JPU dan hakim yang menerapkan pasal 12 huruf b UU Tipikor yang mengacu pada perbuatan suap. Menurut Maruarar, ketika dictum putusan dibacakan seharusnya majelis hakim memperhatikan pasal penyuapan, bukan justru kepada pengaruh pejabat negara.
"Tetapi semua unsur yang diangkat dalam pasal 12 b untuk mempengaruhi pejabat berwenang. Ada banyak contoh, seperti hakim dipengarungi untuk membebaskan terdakwa dari tuntutan," tandasnya.
Dalam sambutannya, Rektor UKI Dhaniswara K Harjono mengatakan, eksaminasi dimaksud untuk memeriksa, menyelidiki dan melihat secara jernih putusan sebuah perkara di pengadilan. Meski eksaminasi tidak bisa mengubah sebuah putusan namun setidaknya bisa memberi gambaran secara utuh tentang putusan yang sesuai dengan perundang-undangan yang berlaku.
"Sehingga keadilan hukum bisa ditegakkan kepada seluruh warga bangsa. Khususnya menyangkut hak hukum (terpidana) yang perlu diluruskan kepada publik," kata Dhaniswara.
Melalui diskusi eksaminasi ini diharapkan mahasiswa yang menempuh disiplin ilmu hukum dapat memperoleh gambaran yang jelas tentang kontruksi hukum yang berlangsung di pengadilan. Termasuk penerapan pasal sebuah tindak kejahatan.
Penulis buku ‘Menyibak Kebenaran’ yang juga Dosen Hukum UKI, Pitan Daslan mengaku sejak awal kasus hukum Irman Gusman memang menyita perhatian publik. Pitan pun sampai menemui Irman untuk berdiskusi secara langsung tentang kontruksi hukum yang dialami mantan Ketua DPD tersebut.
Saat bertemu Irman, Pitan menyampaikan ingin menulis buku. Irman sempat menanyakan kenapa ingin membuat judul buku seperti itu. Dijelaskan Pitan bahwa tanpa kebenaran, keadilan hukum tidak berarti apa-apa.
"Orang tidak melihat keuntungan, untuk menurunkan harga gula di sumbar. Nah pasal 12 huruf b itu berkenaan dengan kewenangan atau pengaruh," kata Pitan.
(poe)