Menyoal Golongan Putih
A
A
A
Asrudin Azwar
Pengamat Politik/Hubungan Internasional dari The Asrudian Center
Lembaga Indikator Politik dalam surveinya di awal Januari 2019 menemukan bahwa sebagian warga tidak akan menggunakan hak pilihnya di pemilu mendatang alias golput . Meski angka golput disebut hanya 1,1%, namun ini berpotensi bias sebab ada responden yang tak berterus terang mengatakan dirinya golput.
Itu berarti angka golput berpotensi jauh lebih besar dari itu. Apalagi, total swing voters dan undecided voters dalam survei Indikator berada di kisaran 25%. Jadi, faktualnya angka golput akan lebih tinggi dibanding yang ada di survei. Indikator memprediksi angka golput pada Pilpres 2019 ini berada di kisaran 20%. (Baca Juga: PDIP Kurang Setuju Golput Dianggap Hak, Ini Alasannya )
Pemilih golput ini pun kembali memancing polemik. Sejumlah argumen dimunculkan untuk memberikan penilaian terhadap mereka yang memilih golput di pemilu. Ada yang mengatakan bahwa preposisi golput adalah abstain pada pilihan politik antara calon presiden (capres) Joko Widodo (Jokowi) atau Prabowo Subianto. Ini dinilai bermasalah karena itu sama saja menarik diri dari ajang pertarungan dan kita tidak punya jawaban soal siapa yang akan jadi pemimpin kita ke depan dan siapa yang kurang buruk risikonya bagi demokrasi. Sementara yang lain menyebutkan bahwa menyalahkan golput dalam demokrasi itu ibarat menyalahkan orang Asmat atas kelangkaan bensin di Jakarta.
Untuk menyoal golput yang menimbulkan pro-kontra ini, maka penilaian atas laku elite menjadi suatu keharusan. Laku elite inilah nantinya yang akan menentukan laku publik: akan memilih atau golput. (Baca Juga: Tentukan Nasib Bangsa, 14 Juta Pemilih Milenial Dilarang Golput )
Laku Elite
Pascadua kubu capres ( Jokowi-Ma’ruf Amin dan Prabowo/Sandiaga Uno ) mendaftarkan diri di Komisi Pemilihan Umum (KPU) pada Agustus 2018, berbagai peristiwa politik negatif ikut menyertai dua pasangan tersebut. Karena itu, menjadi penting untuk menyoroti laku dari dua capres ini.
Sorotan untuk laku Jokowi, hemat saya, mencakup dua hal. Pertama, sikap Jokowi yang memilih Ma’ruf Amin sebagai wakilnya. Penunjukan Ma’ruf ini menimbulkan reaksi keras dari para pendukung Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok. Mengapa? Karena Ma’ruf adalah saksi yang memberatkan Ahok atas kasus penistaan agama.
Kedua, terkait dengan kinerja Jokowi di bidang ekonomi. Sebagaimana diketahui, pada September dan Oktober 2018, nilai tukar rupiah sempat mengalami penurunan atas dolar di angka 15.000. Walau melemahnya nilai tukar rupiah ini tidak menimbulkan efek kepada kenaikan harga kebutuhan pokok secara signifikan, tetapi daya beli masyarakat ikut menurun.
Dan, ini tentu saja bisa menggerus kepercayaan publik terhadap Jokowi. Terbukti Survei SMRC pada 7-24 September 2018 menunjukkan bahwa kepuasan publik atas Jokowi di bidang ekonomi angkanya masih di bawah 50%. Dan, ini tentu saja memunculkan keraguan dari publik atas kemampuan Jokowi dalam menangani masalah ekonomi Indonesia.
Setali tiga uang. Laku Prabowo-Sandi tidak kalah mengecewakannya dibanding Jokowi. Prabowo sebagaimana diketahui seringkali membuat publik kecewa karena sejumlah blunder politik yang telah dibuatnya. Blunder politik itu meliputi, pertama pembelaan Prabowo dan lingkarannya atas kasus kebohongan publik yang dilakukan oleh salah satu tim sukses pentingnya, yakni Ratna Sarumpaet (RS), tentang penganiayaan yang menimpanya. Belakangan ia mengaku bahwa itu adalah kebohongan yang ia buat sendiri. Pembelaan kepada RS itu berujung pada permintaan maaf ke publik.
Kedua, blunder Prabowo terkait ungkapan tampang Boyolali. Ketiga, blunder Sandi karena melangkahi makam pendiri NU. Blunder-blunder politik ini berujung pada permintaan maaf dari keduanya. Praktis dalam dua bulan kampanye, Prabowo-Sandi telah melakukan minta maaf ke publik sebanyak tiga kali.
Celakanya lagi, blunder politik Prabowo tidak berhenti sampai di situ. Prabowo malah membuat blunder baru dengan membangkitkan kembali romantisme Orde Baru. Trah Cendana dibiarkannya masuk ke dalam lingkaran politiknya. Mestinya Prabowo tidak memasukkan trah Cendana mengingat dosa-dosa politik Soeharto yang masih sulit dimaafkan publik.
Sorotan atas laku Jokowi dan Prabowo ini menunjukkan bahwa dua capres bukanlah tipe politikus yang prudent -kemampuan dalam menilai kebutuhan dan keinginan sendiri sambil dengan seksama menyeimbangkannya dengan kebutuhan dan keinginan para pemilihnya (rakyat).
Laku Publik
Merujuk pada laku dua capres di atas, menjadi wajar apabila ada sejumlah publik yang memutuskan untuk menjadi golput. Meski begitu, ada banyak pihak yang menilai laku publik yang golput ini tak lebih baik dari mereka yang memutuskan untuk memilih. Tesis atas asumsi ini begitu sederhana, yakni dengan memilih masyarakat setidaknya dapat menentukan pemimpin yang lebih sedikit buruknya meski dihadapkan pada dua kandidat yang buruk.
Kalau itu yang menjadi tolok ukurnya, demokrasi tidak akan pernah bisa menjadi ideal. Padahal, dalam demokrasi, hak politik dalam pemilu diberikan bukan hanya kepada mereka yang memilih, tetapi juga kepada mereka yang tidak memilih. Jadi ada hak memilih dan ada hak tidak memilih.
Itu artinya, demokrasi tidak mengharamkan masyarakat yang memutuskan untuk golput. Apalagi, pilihan golput masyarakat ini telah dijamin oleh undang-undang (UU), baik di dalam Pasal 28 UUD maupun Pasal 23 UU tentang HAM.
Pasal 28 UUD berisi apa-apa saja yang dianggap hak asasi tiap manusia, sementara Pasal 23 UU HAM berisi: "(1) Setiap orang bebas untuk memilih dan mempunyai keyakinan politiknya; (2) Setiap orang bebas untuk mempunyai, mengeluarkan, dan menyebarluaskan pendapat sesuai hati nuraninya, secara lisan dan atau tulisan melalui media cetak maupun elektronik dengan memperhatikan nilai-nilai agama, kesusilaan, ketertiban, kepentingan umum, dan keutuhan bangsa (Haris Azhar, 2018)."
Untuk itu, yang mesti dipersoalkan itu bukan laku publik (memilih atau tidak), melainkan laku para elite politiknya karena laku elitelah yang akan menentukan masyarakat menjadi memilih atau golput.
Sekadar contoh, dulu di Amerika Serikat pada 1981 dan 1985, partisipasi dalam pemilihan presiden turun sampai sekitar 50% (dan dalam pemilu sela jauh dari itu). Ini dilakukan pemilih Amerika sebagai reaksi atas laku politik para elite politiknya (pemimpin politik) yang dinilai buruk. Itulah sebab, Ronald Reagen hanya memiliki dukungan 27% dari elektorat dalam pemerintahan pertamanya dan 31% dalam masa jabatan keduanya (Johan Galtung, 1996).
Pada intinya, melalui golput, protes publik dapat dilakukan dan dengan begitu legitimasi demokrasi atas kepemimpinan dapat diajukan. Meski demikian, dua kandidat masih memiliki waktu untuk meyakinkan publik. Debat capres-cawapres sebaiknya dijadikan momentum oleh pasangan Jokowi-Ma’ruf dan Prabowo-Sandi untuk menyampaikan visi-misi yang menyentuh persoalan publik. Dengan begitu, publik tidak menjadi golput.
Pengamat Politik/Hubungan Internasional dari The Asrudian Center
Lembaga Indikator Politik dalam surveinya di awal Januari 2019 menemukan bahwa sebagian warga tidak akan menggunakan hak pilihnya di pemilu mendatang alias golput . Meski angka golput disebut hanya 1,1%, namun ini berpotensi bias sebab ada responden yang tak berterus terang mengatakan dirinya golput.
Itu berarti angka golput berpotensi jauh lebih besar dari itu. Apalagi, total swing voters dan undecided voters dalam survei Indikator berada di kisaran 25%. Jadi, faktualnya angka golput akan lebih tinggi dibanding yang ada di survei. Indikator memprediksi angka golput pada Pilpres 2019 ini berada di kisaran 20%. (Baca Juga: PDIP Kurang Setuju Golput Dianggap Hak, Ini Alasannya )
Pemilih golput ini pun kembali memancing polemik. Sejumlah argumen dimunculkan untuk memberikan penilaian terhadap mereka yang memilih golput di pemilu. Ada yang mengatakan bahwa preposisi golput adalah abstain pada pilihan politik antara calon presiden (capres) Joko Widodo (Jokowi) atau Prabowo Subianto. Ini dinilai bermasalah karena itu sama saja menarik diri dari ajang pertarungan dan kita tidak punya jawaban soal siapa yang akan jadi pemimpin kita ke depan dan siapa yang kurang buruk risikonya bagi demokrasi. Sementara yang lain menyebutkan bahwa menyalahkan golput dalam demokrasi itu ibarat menyalahkan orang Asmat atas kelangkaan bensin di Jakarta.
Untuk menyoal golput yang menimbulkan pro-kontra ini, maka penilaian atas laku elite menjadi suatu keharusan. Laku elite inilah nantinya yang akan menentukan laku publik: akan memilih atau golput. (Baca Juga: Tentukan Nasib Bangsa, 14 Juta Pemilih Milenial Dilarang Golput )
Laku Elite
Pascadua kubu capres ( Jokowi-Ma’ruf Amin dan Prabowo/Sandiaga Uno ) mendaftarkan diri di Komisi Pemilihan Umum (KPU) pada Agustus 2018, berbagai peristiwa politik negatif ikut menyertai dua pasangan tersebut. Karena itu, menjadi penting untuk menyoroti laku dari dua capres ini.
Sorotan untuk laku Jokowi, hemat saya, mencakup dua hal. Pertama, sikap Jokowi yang memilih Ma’ruf Amin sebagai wakilnya. Penunjukan Ma’ruf ini menimbulkan reaksi keras dari para pendukung Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok. Mengapa? Karena Ma’ruf adalah saksi yang memberatkan Ahok atas kasus penistaan agama.
Kedua, terkait dengan kinerja Jokowi di bidang ekonomi. Sebagaimana diketahui, pada September dan Oktober 2018, nilai tukar rupiah sempat mengalami penurunan atas dolar di angka 15.000. Walau melemahnya nilai tukar rupiah ini tidak menimbulkan efek kepada kenaikan harga kebutuhan pokok secara signifikan, tetapi daya beli masyarakat ikut menurun.
Dan, ini tentu saja bisa menggerus kepercayaan publik terhadap Jokowi. Terbukti Survei SMRC pada 7-24 September 2018 menunjukkan bahwa kepuasan publik atas Jokowi di bidang ekonomi angkanya masih di bawah 50%. Dan, ini tentu saja memunculkan keraguan dari publik atas kemampuan Jokowi dalam menangani masalah ekonomi Indonesia.
Setali tiga uang. Laku Prabowo-Sandi tidak kalah mengecewakannya dibanding Jokowi. Prabowo sebagaimana diketahui seringkali membuat publik kecewa karena sejumlah blunder politik yang telah dibuatnya. Blunder politik itu meliputi, pertama pembelaan Prabowo dan lingkarannya atas kasus kebohongan publik yang dilakukan oleh salah satu tim sukses pentingnya, yakni Ratna Sarumpaet (RS), tentang penganiayaan yang menimpanya. Belakangan ia mengaku bahwa itu adalah kebohongan yang ia buat sendiri. Pembelaan kepada RS itu berujung pada permintaan maaf ke publik.
Kedua, blunder Prabowo terkait ungkapan tampang Boyolali. Ketiga, blunder Sandi karena melangkahi makam pendiri NU. Blunder-blunder politik ini berujung pada permintaan maaf dari keduanya. Praktis dalam dua bulan kampanye, Prabowo-Sandi telah melakukan minta maaf ke publik sebanyak tiga kali.
Celakanya lagi, blunder politik Prabowo tidak berhenti sampai di situ. Prabowo malah membuat blunder baru dengan membangkitkan kembali romantisme Orde Baru. Trah Cendana dibiarkannya masuk ke dalam lingkaran politiknya. Mestinya Prabowo tidak memasukkan trah Cendana mengingat dosa-dosa politik Soeharto yang masih sulit dimaafkan publik.
Sorotan atas laku Jokowi dan Prabowo ini menunjukkan bahwa dua capres bukanlah tipe politikus yang prudent -kemampuan dalam menilai kebutuhan dan keinginan sendiri sambil dengan seksama menyeimbangkannya dengan kebutuhan dan keinginan para pemilihnya (rakyat).
Laku Publik
Merujuk pada laku dua capres di atas, menjadi wajar apabila ada sejumlah publik yang memutuskan untuk menjadi golput. Meski begitu, ada banyak pihak yang menilai laku publik yang golput ini tak lebih baik dari mereka yang memutuskan untuk memilih. Tesis atas asumsi ini begitu sederhana, yakni dengan memilih masyarakat setidaknya dapat menentukan pemimpin yang lebih sedikit buruknya meski dihadapkan pada dua kandidat yang buruk.
Kalau itu yang menjadi tolok ukurnya, demokrasi tidak akan pernah bisa menjadi ideal. Padahal, dalam demokrasi, hak politik dalam pemilu diberikan bukan hanya kepada mereka yang memilih, tetapi juga kepada mereka yang tidak memilih. Jadi ada hak memilih dan ada hak tidak memilih.
Itu artinya, demokrasi tidak mengharamkan masyarakat yang memutuskan untuk golput. Apalagi, pilihan golput masyarakat ini telah dijamin oleh undang-undang (UU), baik di dalam Pasal 28 UUD maupun Pasal 23 UU tentang HAM.
Pasal 28 UUD berisi apa-apa saja yang dianggap hak asasi tiap manusia, sementara Pasal 23 UU HAM berisi: "(1) Setiap orang bebas untuk memilih dan mempunyai keyakinan politiknya; (2) Setiap orang bebas untuk mempunyai, mengeluarkan, dan menyebarluaskan pendapat sesuai hati nuraninya, secara lisan dan atau tulisan melalui media cetak maupun elektronik dengan memperhatikan nilai-nilai agama, kesusilaan, ketertiban, kepentingan umum, dan keutuhan bangsa (Haris Azhar, 2018)."
Untuk itu, yang mesti dipersoalkan itu bukan laku publik (memilih atau tidak), melainkan laku para elite politiknya karena laku elitelah yang akan menentukan masyarakat menjadi memilih atau golput.
Sekadar contoh, dulu di Amerika Serikat pada 1981 dan 1985, partisipasi dalam pemilihan presiden turun sampai sekitar 50% (dan dalam pemilu sela jauh dari itu). Ini dilakukan pemilih Amerika sebagai reaksi atas laku politik para elite politiknya (pemimpin politik) yang dinilai buruk. Itulah sebab, Ronald Reagen hanya memiliki dukungan 27% dari elektorat dalam pemerintahan pertamanya dan 31% dalam masa jabatan keduanya (Johan Galtung, 1996).
Pada intinya, melalui golput, protes publik dapat dilakukan dan dengan begitu legitimasi demokrasi atas kepemimpinan dapat diajukan. Meski demikian, dua kandidat masih memiliki waktu untuk meyakinkan publik. Debat capres-cawapres sebaiknya dijadikan momentum oleh pasangan Jokowi-Ma’ruf dan Prabowo-Sandi untuk menyampaikan visi-misi yang menyentuh persoalan publik. Dengan begitu, publik tidak menjadi golput.
(rhs)