Asa Kota Bebas Korupsi
A
A
A
NIRWONO JOGAPeneliti pada Pusat Studi Perkotaan
TOPIK korupsi mewarnai debat pertama calon presiden dan calon wakil presiden (capres dan cawapres) pada Kamis (17/1). Namun, tak ada tawaran gagasan yang benar-benar baru, inovasi segar, dan aplikatif dari dua pasangan calon tentang upaya pemberantasan korupsi. Apalagi, asa mewujudkan sebuah kota yang bebas korupsi di Tanah Air.
Padahal pemberantasan korupsi membutuhkan terobosan dan komitmen kuat yang tidak cukup hanya dari janji kampanye, tetapi langkah-langkah konkret apa yang akan mereka lakukan jika terpilih.
Pasangan Joko Widodo-Ma’ruf Amin menawarkan penegakan hukum yang tegas, penguatan kelembagaan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), sinergi Kejaksaan-KPK-Polri, serta perekrutan aparatur berbasis seleksi terbuka secara transparan, sederhana, dan sesuai kompetensi.
Sementara pasangan Prabowo Subianto-Sandiaga Uno menjanjikan penguatan lembaga KPK, pembenahan aset negara agar tidak disalahgunakan aparatur, serta meningkatkan penghasilan aparatur negara dan penegak hukum.
Berdasarkan hasil Survei Penilaian Integritas 2017, KPK menyebutkan bahwa tindakan suap, gratifikasi, dan nepotisme masih membudaya di sejumlah kementerian, lembaga, dan pemerintah daerah. KPK menilai belum ada keseriusan dari pimpinan lembaga pemerintah dari pusat hingga daerah untuk berkomitmen memberantas korupsi dan melakukan upaya pencegahan korupsi.
Lalu, apa yang harus dilakukan untuk mewujudkan kota bebas korupsi?
Pertama, pemerintah harus menyusun pola manajemen kota yang tepat, terpadu, sesuai norma, standar, performa, dan kinerja dari fokus pencapaian mewujudkan pembangunan kota bebas korupsi.
Reformasi manajemen kota meliputi tata kelola pemerintahan; pembiayaan dan keuangan kota; kekompetitifan kota dan penguatan kapasitas untuk menarik investor; penyediaan hunian, lapangan kerja, dan pelayanan publik yang efisien; serta kesiapan mitigasi bencana dan pengelolaan lingkungan hidup.
Kedua, pemerintah kota, masyarakat, dan pihak swasta harus bekerja sama menyelesaikan masalah kota, membangun daya saing kota, dan mewujudkan kota bebas korupsi. Pemerintah menjadi fasilitator dari proses di mana masyarakat dan swasta mengartikulasikan kepentingan mereka, memediasi perbedaan di antara mereka, serta melaksanakan hak hukum dan kewajiban mereka.
Perencanaan pembangunan dilandasi pertimbangan tekno-ekonomi, sosial budaya, dan politik. Pengambilan keputusan berdasarkan pluralistis interaktif yang dipengaruhi aspek psikososial. Pembangunan perkotaan didorong niat untuk memenuhi kebutuhan masyarakat, sesuai isu dan peluang pembangunan, mendekatkan pengambilan keputusan ke sumber isu, bersifat desentralistis, serta berwawasan kawasan ekosistem dan fungsional perkotaan.
Ketiga, periode waktu kepemimpinan lima tahunan adalah waktu yang pendek untuk melaksanakan sebuah program pembangunan kota yang berkelanjutan. Apalagi, ada kecenderungan setiap ganti pimpinan akan ganti kebijakan. Oleh karena itu, kepala daerah terpilih harus memiliki program pro rakyat yang dapat cepat dirasakan manfaat masyarakat dengan tingkat keberhasilan tinggi.
Penataan taman kota, revitalisasi trotoar dan menyediakan jalur sepeda, pemberdayaan pedagang kaki lima dan peremajaan pasar rakyat, serta penyelenggaraan berbagai festival seni rakyat merupakan beberapa program cepat pembangunan yang langsung dapat dirasakan masyarakat.
Keempat, setiap kepala daerah harus menjabarkan visi-misi janji politik ke dalam kebijakan publik rencana pembangunan jangka menengah daerah (RPJMD) bersama DPRD (kepemimpinan politik) dan memimpin aparat daerah melaksanakan kebijakan publik (kepemimpinan administrasi).
Kepala daerah diharapkan luwes menjalin komunikasi yang harmonis dengan DPRD. Namun, ia tetap harus bersikap tegas kepada DPRD untuk menyepakati prinsip-prinsip program pembangunan dalam RPJMD yang memberikan solusi persoalan daerah, sesuai kebutuhan masyarakat, dan realistis untuk dilaksanakan.
Kelima, kepala daerah harus mengarahkan dan mengendalikan aparat daerah untuk melaksanakan RPJMD dalam penyusunan rencana kerja perangkat daerah (RKPD) bagi setiap satuan kerja perangkat daerah (SKPD). RKPD dijabarkan ke dalam program kerja SKPD sesuai tugas pokok dan fungsi. SKPD merumuskan konsep program dan rencana penganggaran dan target pelaksanaan.
Keenam, selanjutnya penyusunan rencana anggaran belanja dan pendapatan daerah (R-APBD) yang merupakan proses paling alot, penuh lika-liku lobi politik, dan sarang bancakan. Di sini, kepala daerah harus memiliki strategi cerdas, sikap tegas dan berani, serta iman yang kuat.
Jika tidak, kepala daerah dan DPRD memilih sikap transaksional, bancakan semua fraksi mendapat jatah sesuai jumlah kursi di DPRD, dalam penyusunan R-APBD, bisa dipastikan semakin banyak kepala daerah dan parlemen terjerat korupsi (berjamaah).
Untuk itu, kepala daerah dituntut mampu mengenali, mengelola, dan mengoptimalkan sumber-sumber pembiayaan pembangunan kota selain APBD (APBN, CSR, masyarakat filantropi, diaspora, hibah luar negeri), mampu mengelola anggaran dengan cermat, melakukan efisiensi, dan, terpenting, mencegah peluang korupsi.
Ketujuh, kepala daerah harus mampu mengendalikan dan meningkatkan kemampuan birokrasi, mengelola pembangunan daerah, dan berpengalaman di birokrasi. Ia mampu mengarahkan setiap SKPD apa yang harus dilaksanakan, hasil yang dicapai, dan dampak kepada masyarakat secara terukur (indikator kinerja).
SKPD juga dituntut paham tujuan, program pembangunan, dan dorongan motivasi untuk melaksanakannya. Aparat SKPD harus memiliki integritas, profesional, dan berani melakukan perubahan dan terobosan. Mereka dituntut berpikir kreatif dan inovatif agar pelayanan publik di sektor kesehatan, lingkungan, pendidikan, administrasi pemerintahan, kependudukan, dan transportasi menjadi lebih efektif dan efisien, cepat dan tepat, mudah dan murah.
Pada akhirnya, tekad mewujudkan kota bebas korupsi bukan merupakan pilihan, tetapi sebuah keharusan.
TOPIK korupsi mewarnai debat pertama calon presiden dan calon wakil presiden (capres dan cawapres) pada Kamis (17/1). Namun, tak ada tawaran gagasan yang benar-benar baru, inovasi segar, dan aplikatif dari dua pasangan calon tentang upaya pemberantasan korupsi. Apalagi, asa mewujudkan sebuah kota yang bebas korupsi di Tanah Air.
Padahal pemberantasan korupsi membutuhkan terobosan dan komitmen kuat yang tidak cukup hanya dari janji kampanye, tetapi langkah-langkah konkret apa yang akan mereka lakukan jika terpilih.
Pasangan Joko Widodo-Ma’ruf Amin menawarkan penegakan hukum yang tegas, penguatan kelembagaan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), sinergi Kejaksaan-KPK-Polri, serta perekrutan aparatur berbasis seleksi terbuka secara transparan, sederhana, dan sesuai kompetensi.
Sementara pasangan Prabowo Subianto-Sandiaga Uno menjanjikan penguatan lembaga KPK, pembenahan aset negara agar tidak disalahgunakan aparatur, serta meningkatkan penghasilan aparatur negara dan penegak hukum.
Berdasarkan hasil Survei Penilaian Integritas 2017, KPK menyebutkan bahwa tindakan suap, gratifikasi, dan nepotisme masih membudaya di sejumlah kementerian, lembaga, dan pemerintah daerah. KPK menilai belum ada keseriusan dari pimpinan lembaga pemerintah dari pusat hingga daerah untuk berkomitmen memberantas korupsi dan melakukan upaya pencegahan korupsi.
Lalu, apa yang harus dilakukan untuk mewujudkan kota bebas korupsi?
Pertama, pemerintah harus menyusun pola manajemen kota yang tepat, terpadu, sesuai norma, standar, performa, dan kinerja dari fokus pencapaian mewujudkan pembangunan kota bebas korupsi.
Reformasi manajemen kota meliputi tata kelola pemerintahan; pembiayaan dan keuangan kota; kekompetitifan kota dan penguatan kapasitas untuk menarik investor; penyediaan hunian, lapangan kerja, dan pelayanan publik yang efisien; serta kesiapan mitigasi bencana dan pengelolaan lingkungan hidup.
Kedua, pemerintah kota, masyarakat, dan pihak swasta harus bekerja sama menyelesaikan masalah kota, membangun daya saing kota, dan mewujudkan kota bebas korupsi. Pemerintah menjadi fasilitator dari proses di mana masyarakat dan swasta mengartikulasikan kepentingan mereka, memediasi perbedaan di antara mereka, serta melaksanakan hak hukum dan kewajiban mereka.
Perencanaan pembangunan dilandasi pertimbangan tekno-ekonomi, sosial budaya, dan politik. Pengambilan keputusan berdasarkan pluralistis interaktif yang dipengaruhi aspek psikososial. Pembangunan perkotaan didorong niat untuk memenuhi kebutuhan masyarakat, sesuai isu dan peluang pembangunan, mendekatkan pengambilan keputusan ke sumber isu, bersifat desentralistis, serta berwawasan kawasan ekosistem dan fungsional perkotaan.
Ketiga, periode waktu kepemimpinan lima tahunan adalah waktu yang pendek untuk melaksanakan sebuah program pembangunan kota yang berkelanjutan. Apalagi, ada kecenderungan setiap ganti pimpinan akan ganti kebijakan. Oleh karena itu, kepala daerah terpilih harus memiliki program pro rakyat yang dapat cepat dirasakan manfaat masyarakat dengan tingkat keberhasilan tinggi.
Penataan taman kota, revitalisasi trotoar dan menyediakan jalur sepeda, pemberdayaan pedagang kaki lima dan peremajaan pasar rakyat, serta penyelenggaraan berbagai festival seni rakyat merupakan beberapa program cepat pembangunan yang langsung dapat dirasakan masyarakat.
Keempat, setiap kepala daerah harus menjabarkan visi-misi janji politik ke dalam kebijakan publik rencana pembangunan jangka menengah daerah (RPJMD) bersama DPRD (kepemimpinan politik) dan memimpin aparat daerah melaksanakan kebijakan publik (kepemimpinan administrasi).
Kepala daerah diharapkan luwes menjalin komunikasi yang harmonis dengan DPRD. Namun, ia tetap harus bersikap tegas kepada DPRD untuk menyepakati prinsip-prinsip program pembangunan dalam RPJMD yang memberikan solusi persoalan daerah, sesuai kebutuhan masyarakat, dan realistis untuk dilaksanakan.
Kelima, kepala daerah harus mengarahkan dan mengendalikan aparat daerah untuk melaksanakan RPJMD dalam penyusunan rencana kerja perangkat daerah (RKPD) bagi setiap satuan kerja perangkat daerah (SKPD). RKPD dijabarkan ke dalam program kerja SKPD sesuai tugas pokok dan fungsi. SKPD merumuskan konsep program dan rencana penganggaran dan target pelaksanaan.
Keenam, selanjutnya penyusunan rencana anggaran belanja dan pendapatan daerah (R-APBD) yang merupakan proses paling alot, penuh lika-liku lobi politik, dan sarang bancakan. Di sini, kepala daerah harus memiliki strategi cerdas, sikap tegas dan berani, serta iman yang kuat.
Jika tidak, kepala daerah dan DPRD memilih sikap transaksional, bancakan semua fraksi mendapat jatah sesuai jumlah kursi di DPRD, dalam penyusunan R-APBD, bisa dipastikan semakin banyak kepala daerah dan parlemen terjerat korupsi (berjamaah).
Untuk itu, kepala daerah dituntut mampu mengenali, mengelola, dan mengoptimalkan sumber-sumber pembiayaan pembangunan kota selain APBD (APBN, CSR, masyarakat filantropi, diaspora, hibah luar negeri), mampu mengelola anggaran dengan cermat, melakukan efisiensi, dan, terpenting, mencegah peluang korupsi.
Ketujuh, kepala daerah harus mampu mengendalikan dan meningkatkan kemampuan birokrasi, mengelola pembangunan daerah, dan berpengalaman di birokrasi. Ia mampu mengarahkan setiap SKPD apa yang harus dilaksanakan, hasil yang dicapai, dan dampak kepada masyarakat secara terukur (indikator kinerja).
SKPD juga dituntut paham tujuan, program pembangunan, dan dorongan motivasi untuk melaksanakannya. Aparat SKPD harus memiliki integritas, profesional, dan berani melakukan perubahan dan terobosan. Mereka dituntut berpikir kreatif dan inovatif agar pelayanan publik di sektor kesehatan, lingkungan, pendidikan, administrasi pemerintahan, kependudukan, dan transportasi menjadi lebih efektif dan efisien, cepat dan tepat, mudah dan murah.
Pada akhirnya, tekad mewujudkan kota bebas korupsi bukan merupakan pilihan, tetapi sebuah keharusan.
(mhd)