Evaluasi Debat Capres Pertama
A
A
A
Membosankan. Mungkin itu kesan yang didapat ketika menyaksikan debat calon presiden dan calon wakil presiden (capres-cawapres) pertama yang diselenggarakan pada 17 Januari lalu.
Satu hal mendasar membuat debat tersebut demikian membosankan, yaitu pertanyaan panelis terlalu formal dan sangat umum sehingga jawaban para kontestan menjadi kaku, normatif, dan tidak menjawab isu sensitif di tiap tema. Padahal debat capres ini selayaknya menjadi ajang klarifikasi tiap isu sensitif yang selama bertahun-tahun mengapung di tengah masyarakat. Kalau hanya sekadar menjadi ajang publikasi visi misi, khalayak cukup membaca saja.
Dalam hal ini Komisi Pemilihan Umum (KPU) mestinya memahami bahwa selama ini demikian banyak isu berkembang di masyarakat, yang sebagiannya hoaks, fitnah, atau fakta, tidak tersingkap. Demikian pengapnya polusi konflik dan debat antarpendukung dua kandidat ini hingga bangsa ini membutuhkan panggung klarifikasi prestisius dan kompeten untuk menyingkapnya. Itulah mestinya tujuan debat capres ini diselenggarakan.
Sebagaimana kita saksikan dalam beberapa tahun terakhir, situasi politik yang berkembang di negeri ini sudah keruh dengan perdebatan. Setelah lebih dari dua dekade kita menikmati demokrasi dan kebebasan, pertumbuhan demokrasi kita justru makin mencemaskan dan bereskalasi tidak terkendali.
Alih-alih mencapai konsolidasi, nuansa kebebasan yang terlihat menyimpan benih-benih anarkisme berbahaya. Fenomena ini ditandai menurunnya wibawa negara dan meningkatnya dominasi politik identitas serta komunalisme.
Puncaknya adalah ketika Pemilihan Presiden 2014, di mana pilihan politik berevolusi secara masif menjadi identitas politik. Meski tampaknya di tingkat elite semua pihak sudah menerima hasil pilpres, tapi di arus bawah, masyarakat masih terpolarisasi dan terfragmentasi dalam dua kubu yang masih terus saling berdebat dan menghujat satu sama lain. Selanjutnya polarisasi massa pascappilpres mulai membentuk patern budaya politik yang konfliktual.
Hampir semua isu politik, momen politik, dan agenda politik, selalu membelah opini masyarakat ke dalam dua kubu konfrontatif. Segregasi politik ini mencapai titik ledaknya dalam perhelatan Pilkada DKI Jakarta 2017 yang mempertunjukkan secara dramatis bagaimana artefak konflik Pilpres 2014 tersebut, akhirnya mengguncang kesadaran kebangsaan kita. Maka wajar, bila sebagian pihak khawatir bahwa artefak konflik yang sama akan terus dibawa hingga ke pilpres dan Pemilu 2019.
Sebagaimana kita saksikan akhir-akhir ini, kekhawatiran itu tidak sepenuhnya salah. Sepanjang 2018, perdebatan terus terjadi bahkan masuk dalam isu-isu sensitif yang tidak terlihat jalan klarifikasinya. Masing-masing pihak memiliki narasi sendiri tentang satu isu dan nyaris tak ada lagi jembatan menghubungkan di antara mereka. Setiap kritik, pujian, ataupun sanggahan, akan dinilai dari sudut pandang politik masing-masing sehingga bangsa ini terjebak dalam kecurigaan antara masing-masing warga negara.
Kompetisi dan Konflik
Kompetisi politik pada dasarnya merupakan perebutan pengaruh antarnarasi nilai dan ideologi. Sebagaimana umumnya sebuah nilai dan ideologi, ia memiliki daya ikat dan daya pikat yang luar biasa sehingga menuntut militansi serta determinasi tinggi untuk memenangkannya. Maka tak jarang, kompetisi politik kerap bertransformasi menjadi konflik.
Konflik memang bukan satu hal menyenangkan, meski di sisi lain kita butuhkan, untuk membangun masyarakat dan menyempurnakan nilai-nilai perekat yang ada di dalamnya. Sebab interaksi dalam masyarakat pada prinsipnya memang sebuah mekanisme pertukaran nilai (exchange of value ) antarkelompok masyarakat (Johan Galtung; 2009).
Bahwa setiap kelompok merasa nilai yang dianutnya merupakan paling benar adalah alamiah. Ini hal wajar, selama mereka masih bersedia melakukan proses interaksi dan pertukaran nilai dengan kelompok lainnya dalam koridor konstruktif.
Akan tetapi, pada saat satu kelompok mulai melakukan pemaksaan kehendak atas kelompok yang lain, bahkan secara subjektif menganggap nilai dianutnya adalah paling unggul (subjective value ) dan dengan demikian semua nilai lainnya menjadi salah sehingga harus dinegasikan, di sinilah konflik dalam bentuk negatif mulai berlangsung.
Hal ini menjadi salah, sebab berpotensi merusak keseluruhan sistem interaksi dalam masyarakat. Karena itu, tatanan masyarakat secara keseluruhan akan hancur, termasuk nilai-nilai yang diperjuangkan setiap kelompok akan kehilangan objektivitasnya. Sayangnya, inilah agaknya sekarang terjadi di Indonesia.
Karena masing-masing kelompok sudah menganggap bahwa pihaknya dan narasinya paling benar dan mengunci kemungkinan lahirnya solusi baru. Siapa pun dia, yang mengkritisi pemerintah akan dianggap antipemerintah, dan mengapresiasi pemerintah akan dianggap propemerintah.
Namun, dari semua itu yang paling ironis adalah tenggelamnya rincian persoalan nyata di tengah masyarakat dalam isu-isu absurd yang tidak ada hubungannya dengan solusi atas masalah yang dihadapi masyarakat. Gugus persoalan ini membutuhkan katup pembuangan. Karena itu, situasi ini harus sesegera mungkin dicairkan dan debat capres adalah instrumen demokrasi yang memang diperuntukkan untuk itu.
Dalam debat ini, hal-hal menjadi sekat pembatas antara dua pendukung harus diruntuhkan. Kecurigaan harus diverifikasi dan isu-isu sensitif harus diterangkan. Karena bila tidak, maka bisa lahir praduga dan ini akan mempertajam friksi antarkelompok yang selama ini berseberangan.
Dalam kerangka ini, KPU atau panelis hendaknya menginsyafi bahwa debat kandidat bukan hanya prosedur pemilu, tapi instrumen demokrasi yang memang dibutuhkan untuk memecahkan kebuntuan, menerangkan isu, dan meluruskan persoalan. Tujuannya agar narasi politik tiap kandidat dan pendukungnya tetap bergerak di atas nalar yang sama. Dengan demikian, secara otomatis ajang ini akan melumpuhkan determinasi penyebaran hoaks, fitnah, dan caci maki antarpara pendukung.
Setelah ini, masih ada empat lagi perdebatan yang harus dilaksanakan. Kita berharap dalam sesi selanjutnya masyarakat bisa lebih disajikan satu diskusi bermutu, mencerahkan, dan membuka wawasan. Agar secara perlahan fragmentasi politik dan kecurigaan antarpendukung kandidat bisa segera dicairkan dan etika publik kembali pada keadaban semula.
Satu hal mendasar membuat debat tersebut demikian membosankan, yaitu pertanyaan panelis terlalu formal dan sangat umum sehingga jawaban para kontestan menjadi kaku, normatif, dan tidak menjawab isu sensitif di tiap tema. Padahal debat capres ini selayaknya menjadi ajang klarifikasi tiap isu sensitif yang selama bertahun-tahun mengapung di tengah masyarakat. Kalau hanya sekadar menjadi ajang publikasi visi misi, khalayak cukup membaca saja.
Dalam hal ini Komisi Pemilihan Umum (KPU) mestinya memahami bahwa selama ini demikian banyak isu berkembang di masyarakat, yang sebagiannya hoaks, fitnah, atau fakta, tidak tersingkap. Demikian pengapnya polusi konflik dan debat antarpendukung dua kandidat ini hingga bangsa ini membutuhkan panggung klarifikasi prestisius dan kompeten untuk menyingkapnya. Itulah mestinya tujuan debat capres ini diselenggarakan.
Sebagaimana kita saksikan dalam beberapa tahun terakhir, situasi politik yang berkembang di negeri ini sudah keruh dengan perdebatan. Setelah lebih dari dua dekade kita menikmati demokrasi dan kebebasan, pertumbuhan demokrasi kita justru makin mencemaskan dan bereskalasi tidak terkendali.
Alih-alih mencapai konsolidasi, nuansa kebebasan yang terlihat menyimpan benih-benih anarkisme berbahaya. Fenomena ini ditandai menurunnya wibawa negara dan meningkatnya dominasi politik identitas serta komunalisme.
Puncaknya adalah ketika Pemilihan Presiden 2014, di mana pilihan politik berevolusi secara masif menjadi identitas politik. Meski tampaknya di tingkat elite semua pihak sudah menerima hasil pilpres, tapi di arus bawah, masyarakat masih terpolarisasi dan terfragmentasi dalam dua kubu yang masih terus saling berdebat dan menghujat satu sama lain. Selanjutnya polarisasi massa pascappilpres mulai membentuk patern budaya politik yang konfliktual.
Hampir semua isu politik, momen politik, dan agenda politik, selalu membelah opini masyarakat ke dalam dua kubu konfrontatif. Segregasi politik ini mencapai titik ledaknya dalam perhelatan Pilkada DKI Jakarta 2017 yang mempertunjukkan secara dramatis bagaimana artefak konflik Pilpres 2014 tersebut, akhirnya mengguncang kesadaran kebangsaan kita. Maka wajar, bila sebagian pihak khawatir bahwa artefak konflik yang sama akan terus dibawa hingga ke pilpres dan Pemilu 2019.
Sebagaimana kita saksikan akhir-akhir ini, kekhawatiran itu tidak sepenuhnya salah. Sepanjang 2018, perdebatan terus terjadi bahkan masuk dalam isu-isu sensitif yang tidak terlihat jalan klarifikasinya. Masing-masing pihak memiliki narasi sendiri tentang satu isu dan nyaris tak ada lagi jembatan menghubungkan di antara mereka. Setiap kritik, pujian, ataupun sanggahan, akan dinilai dari sudut pandang politik masing-masing sehingga bangsa ini terjebak dalam kecurigaan antara masing-masing warga negara.
Kompetisi dan Konflik
Kompetisi politik pada dasarnya merupakan perebutan pengaruh antarnarasi nilai dan ideologi. Sebagaimana umumnya sebuah nilai dan ideologi, ia memiliki daya ikat dan daya pikat yang luar biasa sehingga menuntut militansi serta determinasi tinggi untuk memenangkannya. Maka tak jarang, kompetisi politik kerap bertransformasi menjadi konflik.
Konflik memang bukan satu hal menyenangkan, meski di sisi lain kita butuhkan, untuk membangun masyarakat dan menyempurnakan nilai-nilai perekat yang ada di dalamnya. Sebab interaksi dalam masyarakat pada prinsipnya memang sebuah mekanisme pertukaran nilai (exchange of value ) antarkelompok masyarakat (Johan Galtung; 2009).
Bahwa setiap kelompok merasa nilai yang dianutnya merupakan paling benar adalah alamiah. Ini hal wajar, selama mereka masih bersedia melakukan proses interaksi dan pertukaran nilai dengan kelompok lainnya dalam koridor konstruktif.
Akan tetapi, pada saat satu kelompok mulai melakukan pemaksaan kehendak atas kelompok yang lain, bahkan secara subjektif menganggap nilai dianutnya adalah paling unggul (subjective value ) dan dengan demikian semua nilai lainnya menjadi salah sehingga harus dinegasikan, di sinilah konflik dalam bentuk negatif mulai berlangsung.
Hal ini menjadi salah, sebab berpotensi merusak keseluruhan sistem interaksi dalam masyarakat. Karena itu, tatanan masyarakat secara keseluruhan akan hancur, termasuk nilai-nilai yang diperjuangkan setiap kelompok akan kehilangan objektivitasnya. Sayangnya, inilah agaknya sekarang terjadi di Indonesia.
Karena masing-masing kelompok sudah menganggap bahwa pihaknya dan narasinya paling benar dan mengunci kemungkinan lahirnya solusi baru. Siapa pun dia, yang mengkritisi pemerintah akan dianggap antipemerintah, dan mengapresiasi pemerintah akan dianggap propemerintah.
Namun, dari semua itu yang paling ironis adalah tenggelamnya rincian persoalan nyata di tengah masyarakat dalam isu-isu absurd yang tidak ada hubungannya dengan solusi atas masalah yang dihadapi masyarakat. Gugus persoalan ini membutuhkan katup pembuangan. Karena itu, situasi ini harus sesegera mungkin dicairkan dan debat capres adalah instrumen demokrasi yang memang diperuntukkan untuk itu.
Dalam debat ini, hal-hal menjadi sekat pembatas antara dua pendukung harus diruntuhkan. Kecurigaan harus diverifikasi dan isu-isu sensitif harus diterangkan. Karena bila tidak, maka bisa lahir praduga dan ini akan mempertajam friksi antarkelompok yang selama ini berseberangan.
Dalam kerangka ini, KPU atau panelis hendaknya menginsyafi bahwa debat kandidat bukan hanya prosedur pemilu, tapi instrumen demokrasi yang memang dibutuhkan untuk memecahkan kebuntuan, menerangkan isu, dan meluruskan persoalan. Tujuannya agar narasi politik tiap kandidat dan pendukungnya tetap bergerak di atas nalar yang sama. Dengan demikian, secara otomatis ajang ini akan melumpuhkan determinasi penyebaran hoaks, fitnah, dan caci maki antarpara pendukung.
Setelah ini, masih ada empat lagi perdebatan yang harus dilaksanakan. Kita berharap dalam sesi selanjutnya masyarakat bisa lebih disajikan satu diskusi bermutu, mencerahkan, dan membuka wawasan. Agar secara perlahan fragmentasi politik dan kecurigaan antarpendukung kandidat bisa segera dicairkan dan etika publik kembali pada keadaban semula.
(nag)