Kekuatan Rupiah
A
A
A
Hasil debat calon presiden dan calon wakil presiden (capres dan cawapres) pertama pada Kamis, 17 Januari lalu, memberikan optimisme terhadap pelaksanaan pemilihan presiden dan kaitannya dengan prospek perekonomian, termasuk juga relevansinya terhadap nilai tukar rupiah.
Fluktuasi nilai tukar selama 2018 menarik dicermati, terutama dikaitkan dengan kekuatan nilai tukar rupiah pada 2019. Asumsi yang mendasarinya, karena nilai rupiah sempat menembus Rp15.200 pada Oktober 2018. Selain itu pergerakan rupiah pada 2019 juga diyakini tidak bisa terlepas dari ancaman tahun politik.
Paling tidak ini selaras dengan kekuatan tarik menarik antara faktor ekonomi dan politik. Oleh karena itu ancaman terhadap nilai tukar rupiah menjadi kajian yang sensitif dan besaran yang wajar juga perlu dicermati agar tidak mengganggu stabilitas perekonomian domestik.
Badan Anggaran DPR dan pemerintah sepakat menetapkan besaran nilai tukar rupiah di rancangan final APBN 2019 pada kisaran Rp15.000. Asumsi yang mendasari adalah pergerakan rupiah pada semester II 2018 yang terus melemah di kisaran Rp15.000 serta sempat menembus Rp15.200 dan tampaknya sulit menguat pada level Rp14.000 meski pada akhir tahun mencapai Rp14.300.
Hal ini menguatkan asumsi realistis bahwa nilai tukar yang sebelumnya ada pada kisaran Rp14.400 akan tetap stabil di kisaran Rp15.000. Meski ada perubahan terhadap asumsi nilai tukar, asumsi lain tetap sama, yaitu pertumbuhan pada 2019 sebesar 5,3%, inflasi 3,5%, suku bunga Surat Perbendaharaan Negara 3 bulan 5,3%, harga minyak mentah USD70 per barel, lifting minyak 775.000 barel per hari, dan lifting gas 1,25 juta barel setara minyak per hari.
Jaminan
Optimisme terhadap nilai tukar rupiah sejatinya juga tidak terlepas dari fluktuasi sosial politik. Betapa tidak, pada tiga dasawarsa terakhir, ternyata 2018 lalu menjadi tahun yang sulit, bukan hanya tahun operasi tangkap tangan OTT terhadap pelaku korupsi, tetapi juga tahun bencana, terutama mengacu pada terjadinya bencana dengan berbagai dampak yang terjadi.
Bencana tersebut bukan hanya menimbulkan kerugian materiil, tetapi juga kerugian lain, termasuk kerusakan infrastruktur, dan berimbas pada trauma. Akibatnya daerah bencana terdampak geliat ekonominya dan tentu berimbas pula pada perputaran uang.
Oleh karena itu Bank Indonesia sebagai garda terdepan penjaga stabilitas nilai tukar berkepentingan terhadap kekuatan nilai tukar rupiah. Terkait hal ini diyakini bahwa pada 2019 akan lebih berat, apalagi perang dagang AS-China dan konflik AS- Korut masih berlanjut meski di sisi lain ada ancaman korupsi akibat OTT KPK.
Yang justru menjadi pertanyaan adalah berapa kisaran nilai tukar yang wajar pada 2019? Jika dicermati depresiasi rupiah selama 2018 memang mengkhawatirkan. Jadi meski BI telah menaikkan suku bunga acuan sebesar 150 basis poin sejak pertengahan Mei 2018, ternyata hal itu belum efektif meredam nilai tukar, termasuk membatasi tekanan arus modal keluar sehingga depresiasi rupiah menjadi terburuk pada 20 tahun terakhir.
Menguatnya dolar AS yang juga didukung ekspektasi kenaikan suku bunga Bank Sentral AS dan konflik AS-Korut serta perang dagang AS-China menjadi isu yang memengaruhi nilai tukar dan kepercayaan investor. Memang ke depan tetap ada optimisme.
Optimisme terhadap nilai tukar rupiah juga tidak mengelak dari ancaman fluktuasi era global. Meski suku bunga acuan bank sentral AS The Fed atau Fed Fund Rate selama 2018 naik 4 kali, pada 2019 diyakini hanya akan naik 2 kali. Oleh karena itu hal tersebut diharapkan memacu sentimen positif terhadap perekonomian nasional.
Fakta lain yang juga tidak bisa diabaikan, ketegangan antara AS-China-Korut juga diyakini semakin mengarah ke sentimen positif sehingga implikasinya terhadap era perbaikan ekonomi global akan signifikan. Jadi imbas nilai tukar rupiah terhadap APBN 2019 akan terasa.
Paling tidak ini terlihat dari besaran pendapatan APBN 2018 Rp1.894,7 triliun menjadi Rp2.142,5 triliun pada RAPBN dan berubah menjadi Rp2.165,1 triliun pada RAPBN hasil pembahasan. Selisih yang terjadi Rp270,4 triliun dan tax ratio berubah dari 12,11 menjadi 12,22 sehingga aspek perpajakan menjadi semakin penting pada 2019.
Pencapaian terhadap itu semua akan memberikan suatu gambaran kekuatan fundamental ekonomi domestik sehingga harapan terhadap pertumbuhan ekonomi akan mencapai 5-5,4% pada 2019, sementara laju inflasi berkisar 3,5% dan defisit neraca transaksi berjalan diprediksi turun menjadi 2,5% dari 2018, yaitu 3%. Artinya pada semester awal 2019 diyakini rupiah akan menguat karena penurunan permintaan terhadap dolar AS dan BI berkesempatan melakukan intervensi.
Bagaimanapun dilema dari fluktuasi nilai tukar rupiah memberikan sejumlah konsekuensi, termasuk misalnya saat nilai tukar melemah akan berdampak positif terhadap daya tarik investasi dalam negeri. Padahal tantangan investasi di tahun politik dipastikan semakin berat.
Capaian investasi periode Januari-September 2018 mencapai Rp535,4 triliun, terdiri atas PMA Rp293,7 triliun dan PMDN Rp241,7 triliun. Perbandingan dari tahun 2017 adalah mencapai Rp513,2 triliun, terdiri atas PMA Rp318,5 triliun dan PMDN Rp194,7 triliun.
Padahal target investasi pada 2018 mencapai Rp765 triliun, terdiri atas PMA Rp477,4 triliun dan PMDN Rp287,6 triliun. Oleh karena itu pencapaian dari target 2018 periode tersebut baru 70%, yaitu untuk PMA 62% dan PMDN 84%. Dari fakta ini, persoalan investasi pada tahun politik 2019 juga perlu dicermati karena imbas tahun politik pasti rentan terhadap kepastian stabilitas sosial politik. Artinya wait and see juga bisa berubah menjadi wait and worry , apalagi gesekan menuju pilpres menguat.
Optimis tis
Terlepas fluktuasi ekonomi era global dan ancaman terhadap kekuatan nilai tukar rupiah, pastinya Indonesia dengan jumlah penduduknya yang besar akan menjadi negara yang paling dinamis sehingga berpeluang mendapatkan keuntungan dari geliat ekonomi global pada 2019.
Paling tidak, keyakinan ini terlihat dalam Indonesia Investment Forum 2018 di Bali awal Oktober 2018 dan diperkuat prediksi versi Pricewater Coopers bahwa pada 2030 Indonesia akan menjadi negara berkembang terbaik nomor 5 meski dengan catatan perlu adanya dukungan pembangunan infrastruktur.
Oleh karena itu percepatan pembangunan infrastruktur oleh pemerintah saat ini perlu diapresiasi, selain berkepentingan untuk penyebaran hasil pembangunan.
Imbas pelemahan rupiah memang bisa positif meski di sisi lain ancaman terhadap harga jual produk tentu juga berpengaruh sebagai konsekuensi dari impor sejumlah komponen untuk proses produksi.
Artinya ancaman terhadap daya beli pasti akan berkelanjutan dan jika ini tidak diantisipasi akan memicu sentimen negatif terhadap konsumsi secara nasional. Padahal selama ini pertumbuhan masih ditopang oleh konsumsi sehingga fakta ini juga menarik dicermati.
Oleh karena itu lingkaran dampak nilai tukar rupiah memang tidak bisa dikritisi hanya dari satu sisi semata karena sejatinya faktor pemicu sangatlah kompleks dan iklim sospol menuju Pilpres 2019 hanyalah salah satunya. Oleh karena itu kalkulasi di atas menjadi pembenar ketika nilai tukar rupiah di RAPBN 2019 di kisaran Rp15.000 meski ada penyesuaian terhadap besaran yang lain. Artinya hasil pilpres akan berpengaruh terhadap sentimen nilai tukar.
Fluktuasi nilai tukar selama 2018 menarik dicermati, terutama dikaitkan dengan kekuatan nilai tukar rupiah pada 2019. Asumsi yang mendasarinya, karena nilai rupiah sempat menembus Rp15.200 pada Oktober 2018. Selain itu pergerakan rupiah pada 2019 juga diyakini tidak bisa terlepas dari ancaman tahun politik.
Paling tidak ini selaras dengan kekuatan tarik menarik antara faktor ekonomi dan politik. Oleh karena itu ancaman terhadap nilai tukar rupiah menjadi kajian yang sensitif dan besaran yang wajar juga perlu dicermati agar tidak mengganggu stabilitas perekonomian domestik.
Badan Anggaran DPR dan pemerintah sepakat menetapkan besaran nilai tukar rupiah di rancangan final APBN 2019 pada kisaran Rp15.000. Asumsi yang mendasari adalah pergerakan rupiah pada semester II 2018 yang terus melemah di kisaran Rp15.000 serta sempat menembus Rp15.200 dan tampaknya sulit menguat pada level Rp14.000 meski pada akhir tahun mencapai Rp14.300.
Hal ini menguatkan asumsi realistis bahwa nilai tukar yang sebelumnya ada pada kisaran Rp14.400 akan tetap stabil di kisaran Rp15.000. Meski ada perubahan terhadap asumsi nilai tukar, asumsi lain tetap sama, yaitu pertumbuhan pada 2019 sebesar 5,3%, inflasi 3,5%, suku bunga Surat Perbendaharaan Negara 3 bulan 5,3%, harga minyak mentah USD70 per barel, lifting minyak 775.000 barel per hari, dan lifting gas 1,25 juta barel setara minyak per hari.
Jaminan
Optimisme terhadap nilai tukar rupiah sejatinya juga tidak terlepas dari fluktuasi sosial politik. Betapa tidak, pada tiga dasawarsa terakhir, ternyata 2018 lalu menjadi tahun yang sulit, bukan hanya tahun operasi tangkap tangan OTT terhadap pelaku korupsi, tetapi juga tahun bencana, terutama mengacu pada terjadinya bencana dengan berbagai dampak yang terjadi.
Bencana tersebut bukan hanya menimbulkan kerugian materiil, tetapi juga kerugian lain, termasuk kerusakan infrastruktur, dan berimbas pada trauma. Akibatnya daerah bencana terdampak geliat ekonominya dan tentu berimbas pula pada perputaran uang.
Oleh karena itu Bank Indonesia sebagai garda terdepan penjaga stabilitas nilai tukar berkepentingan terhadap kekuatan nilai tukar rupiah. Terkait hal ini diyakini bahwa pada 2019 akan lebih berat, apalagi perang dagang AS-China dan konflik AS- Korut masih berlanjut meski di sisi lain ada ancaman korupsi akibat OTT KPK.
Yang justru menjadi pertanyaan adalah berapa kisaran nilai tukar yang wajar pada 2019? Jika dicermati depresiasi rupiah selama 2018 memang mengkhawatirkan. Jadi meski BI telah menaikkan suku bunga acuan sebesar 150 basis poin sejak pertengahan Mei 2018, ternyata hal itu belum efektif meredam nilai tukar, termasuk membatasi tekanan arus modal keluar sehingga depresiasi rupiah menjadi terburuk pada 20 tahun terakhir.
Menguatnya dolar AS yang juga didukung ekspektasi kenaikan suku bunga Bank Sentral AS dan konflik AS-Korut serta perang dagang AS-China menjadi isu yang memengaruhi nilai tukar dan kepercayaan investor. Memang ke depan tetap ada optimisme.
Optimisme terhadap nilai tukar rupiah juga tidak mengelak dari ancaman fluktuasi era global. Meski suku bunga acuan bank sentral AS The Fed atau Fed Fund Rate selama 2018 naik 4 kali, pada 2019 diyakini hanya akan naik 2 kali. Oleh karena itu hal tersebut diharapkan memacu sentimen positif terhadap perekonomian nasional.
Fakta lain yang juga tidak bisa diabaikan, ketegangan antara AS-China-Korut juga diyakini semakin mengarah ke sentimen positif sehingga implikasinya terhadap era perbaikan ekonomi global akan signifikan. Jadi imbas nilai tukar rupiah terhadap APBN 2019 akan terasa.
Paling tidak ini terlihat dari besaran pendapatan APBN 2018 Rp1.894,7 triliun menjadi Rp2.142,5 triliun pada RAPBN dan berubah menjadi Rp2.165,1 triliun pada RAPBN hasil pembahasan. Selisih yang terjadi Rp270,4 triliun dan tax ratio berubah dari 12,11 menjadi 12,22 sehingga aspek perpajakan menjadi semakin penting pada 2019.
Pencapaian terhadap itu semua akan memberikan suatu gambaran kekuatan fundamental ekonomi domestik sehingga harapan terhadap pertumbuhan ekonomi akan mencapai 5-5,4% pada 2019, sementara laju inflasi berkisar 3,5% dan defisit neraca transaksi berjalan diprediksi turun menjadi 2,5% dari 2018, yaitu 3%. Artinya pada semester awal 2019 diyakini rupiah akan menguat karena penurunan permintaan terhadap dolar AS dan BI berkesempatan melakukan intervensi.
Bagaimanapun dilema dari fluktuasi nilai tukar rupiah memberikan sejumlah konsekuensi, termasuk misalnya saat nilai tukar melemah akan berdampak positif terhadap daya tarik investasi dalam negeri. Padahal tantangan investasi di tahun politik dipastikan semakin berat.
Capaian investasi periode Januari-September 2018 mencapai Rp535,4 triliun, terdiri atas PMA Rp293,7 triliun dan PMDN Rp241,7 triliun. Perbandingan dari tahun 2017 adalah mencapai Rp513,2 triliun, terdiri atas PMA Rp318,5 triliun dan PMDN Rp194,7 triliun.
Padahal target investasi pada 2018 mencapai Rp765 triliun, terdiri atas PMA Rp477,4 triliun dan PMDN Rp287,6 triliun. Oleh karena itu pencapaian dari target 2018 periode tersebut baru 70%, yaitu untuk PMA 62% dan PMDN 84%. Dari fakta ini, persoalan investasi pada tahun politik 2019 juga perlu dicermati karena imbas tahun politik pasti rentan terhadap kepastian stabilitas sosial politik. Artinya wait and see juga bisa berubah menjadi wait and worry , apalagi gesekan menuju pilpres menguat.
Optimis tis
Terlepas fluktuasi ekonomi era global dan ancaman terhadap kekuatan nilai tukar rupiah, pastinya Indonesia dengan jumlah penduduknya yang besar akan menjadi negara yang paling dinamis sehingga berpeluang mendapatkan keuntungan dari geliat ekonomi global pada 2019.
Paling tidak, keyakinan ini terlihat dalam Indonesia Investment Forum 2018 di Bali awal Oktober 2018 dan diperkuat prediksi versi Pricewater Coopers bahwa pada 2030 Indonesia akan menjadi negara berkembang terbaik nomor 5 meski dengan catatan perlu adanya dukungan pembangunan infrastruktur.
Oleh karena itu percepatan pembangunan infrastruktur oleh pemerintah saat ini perlu diapresiasi, selain berkepentingan untuk penyebaran hasil pembangunan.
Imbas pelemahan rupiah memang bisa positif meski di sisi lain ancaman terhadap harga jual produk tentu juga berpengaruh sebagai konsekuensi dari impor sejumlah komponen untuk proses produksi.
Artinya ancaman terhadap daya beli pasti akan berkelanjutan dan jika ini tidak diantisipasi akan memicu sentimen negatif terhadap konsumsi secara nasional. Padahal selama ini pertumbuhan masih ditopang oleh konsumsi sehingga fakta ini juga menarik dicermati.
Oleh karena itu lingkaran dampak nilai tukar rupiah memang tidak bisa dikritisi hanya dari satu sisi semata karena sejatinya faktor pemicu sangatlah kompleks dan iklim sospol menuju Pilpres 2019 hanyalah salah satunya. Oleh karena itu kalkulasi di atas menjadi pembenar ketika nilai tukar rupiah di RAPBN 2019 di kisaran Rp15.000 meski ada penyesuaian terhadap besaran yang lain. Artinya hasil pilpres akan berpengaruh terhadap sentimen nilai tukar.
(nag)