Kontroversi Pajak E-Commerce

Kamis, 17 Januari 2019 - 08:45 WIB
Kontroversi Pajak E-Commerce
Kontroversi Pajak E-Commerce
A A A
Eko Setiobudi
Dosen STIE Tribuana Bekasi

KEMENTERIAN Keuangan melalui Direktorat Jenderal Pajak secara resmi mengeluarkan aturan pengenaan pajak bagi para pelaku e-commerce pada 11 Januari 2019. Ketentuan tersebut tertuang dalam Peraturan Menteri Keuangan 210/PMK.010/2018 tentang Perlakuan Perpajakan atas Transaksi Perdagangan melalui Sistem Elektronik.

Peraturan Menteri Keuangan (PMK) ini secara efektif akan berlaku per 1 April 2019. Secara prinsip, pemajakan ini dikenakan kepada (1) pedagang dan penyedia jasa yang berjualan melalui platform marketplace diwajibkan untuk melaksanakan kewajiban terkait PPh sesuai dengan ketentuan yang berlaku, seperti membayar pajak final dengan tarif 0,5% dari omzet dalam hal omzet tidak melebihi Rp4,8 miliar dalam setahun serta dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak dalam hal omzet melebihi Rp4,8 miliar dalam setahun dan melaksanakan kewajiban terkait PPN sesuai ketentuan yang berlaku.

(2) Kewajiban penyedia platform marketplace diwajibkan untuk memungut, menyetor, serta melaporkan PPN dan PPh terkait penyediaan layanan platform marketplace kepada pedagang dan penyedia jasa, serta melaporkan rekapitulasi transaksi yang dilakukan pedagang pengguna platform. (3) Bagi e-commerce di luar platform marketplace, yakni bagi para pelaku usaha yang melaksanakan kegiatan perdagangan barang dan jasa melalui online ritel, classified ads, daily deals, dan media sosial, wajib mematuhi ketentuan terkait PPN, PPn BM, dan PPh sesuai ketentuan berlaku.

Menurut pemerintah, keluarnya PMK ini semata-mata terkait tata cara dan prosedur pemajakan, yang dimaksudkan memberikan kemudahan administrasi dan mendorong kepatuhan perpajakan para pelaku e-commerce demi menciptakan perlakuan setara dengan pelaku usaha konvensional. Pasalnya, pemerintah juga belum menetapkan jenis atau tarif pajak baru bagi pelaku e-commerce.

Pro-kontra atas pemberlakuan pajak e-commerce memang terus terjadi sampai saat ini, khususnya penolakan dan permintaan penundaan oleh para pelaku dan penyedia platform marketplace yang selama ini sudah eksis di Indonesia.

Kendala

PMK 210/PMK.010/2018 tersebut bisa menimbulkan kecemburuan dari pelaku usaha UMKM. Pasalnya, dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 46/2013 tentang Pajak Final UMKM, disebutkan bahwa wajib pajak—orang pribadi atau badan usaha tidak tetap—memiliki omzet di bawah Rp4,8 miliar per tahun dapat membayar PPh dengan tarif sebesar 1% dari omzet yang diterima. Sementara pajak final bagi e-commerce adalah sebesar 0,5% dengan omzet yang sama, yakni Rp4,8 miliar, sehingga tuntutan untuk besaran pajak final oleh para pelaku UMKM sangat mungkin terjadi.

Pro-kontra yang lain adalah menyangkut dengan beberapa kendala teknis di lapangan, khususnya mengenai infrastruktur. Dalam PMK ini, proses jual beli online yang harus melewati tahap verifikasi dinamakan KYC (Know Your Customer). Verifikasi ini mengharuskan para pelaku e-commerce (penjual dan pembeli) untuk memberikan data, yakni nomor KTP dan NPWP, baik pribadi atau lembaga. Oleh sebab itu, koneksi antara sistem penyedia platform marketplace dengan Dirjen Pajak dan Dukcapil menjadi kata kunci untuk menghindari penipuan serta penyalahgunaan data.

Selain itu, ada potensi eksodus bagi para pelaku e-commerce, baik pembeli maupun penjual untuk beralih pada penyedia platform marketplace yang belum terikat oleh ketentuan PMK ini, khususnya penyedia platform marketplace berbasis di luar negeri, seperti eBay dan Amazon, serta beralih pada media sosial yang selama ini juga menjadi salah satu sarana jual beli online, seperti Facebook,Twitter, dan Whatsapp.

Kapasitas Ekonomi yang Besar

Indonesia disebut-sebut sebagai negara dengan kapasitas transaksi ekonomi digital terbesar di kawasan ASEAN dengan angka pertumbuhan lebih dari 18,5%. Sebut saja beberapa penyedia platform marketplace yang selama ini eksis di dunia industri digital, seperti Blibli, Bukalapak, Elevenia, Lazada, Shopee, dan Tokopedia. Selain perusahaan-perusahaan ini, pelaku over-the-top di bidang transportasi juga tergolong sebagai pihak penyedia platform marketplace, seperti Go-Jek dan Grab.

Beberapa data menyebutkan transaksi ekonomi digital pada 2015 adalah sebanyak 7,4 juta jiwa yang melakukan transaksi online dengan estimasi nilai transaksi Rp48 triliun. Pada 2016, angka ini meningkat menjadi sekitar menjadi 11 juta jiwa dengan estimasi nilai transaksi sebesar Rp68 triliun.

Dalam laporannya, McKinsey (2016) menyebutkan, ekonomi digital Indonesia sekarang hampir sama dengan China pada 2010 berdasarkan indikator-indikator, seperti penetrasi e-retail, GDP per kapita, penetrasi internet, pengeluaran ritel, dan urbanisasi. Pada 2017, nilai perdagangan online Indonesia mencapai USD8 miliar. Nilai ini meningkat menjadi USD55–65 miliar pada 2022. Sedangkan penetrasi pengguna internet meningkat dari 74% menggunakan internet saat ini menjadi 83% pengguna pada 2022.

Hal ini menggambarkan bahwa terjadi lompatan luar biasa besar dari perkiraan banyak pihak mengenai perkembangan ekonomi digital di Indonesia. Lompatan kapasitas ini juga bisa dilihat dari besaran investasi dalam sektor ekonomi digital di Indonesia. Riset Google bersama A.T. Kearney yang dirilis pada September 2017 sampai dengan kuartal I/2017, investasi industri startup adalah sebesar Rp40 triliun, mengalahkan industri makanan dan minuman sebesar Rp37 triliun serta industri listrik, gas, dan air sebesar Rp36 triliun. Investasi industri startup bahkan hampir menyamai sektor pertambangan, yakni sebesar RP44 triliun. Sementara data BKPM menyebutkan investasi asing yang masuk ke sektor digital Indonesia pada 2017 mencapai USD4,7 miliar.

Hal ini sekaligus membuktikan bahwa political will pemerintah mendorong peningkatan investasi pada sektor ekonomi digital memberikan dampak positif. Sebagaimana diketahui, pemerintah melalui Kementerian Keuangan memberikan skema insentif pajak berupa tax holiday. Skema yang dirancang ini adalah berupa insentif untuk industri bergerak di sektor teknologi informasi atau perusahaan yang memiliki nilai minimal Rp500 miliar. Para investor akan mendapatkan bentuk relaksasi pajak berupa fasilitas tidak membayar pajak penghasilan (PPh) dengan pengurangan di kisaran 10–100% dalam jangka waktu 5–15 tahun yang bisa diperpanjang hingga 20 tahun.

Dengan demikian, sektor ekonomi digital (e-commerce) menjadi salah satu sektor yang memiliki potensi pendapatan pajak cukup besar. Oleh sebab itu, menjadi sangat wajar jika pemerintah kemudian mengeluarkan PMK yang mengatur tentang pemajakan pada sektor ini.

Salah satu langkah strategis mencari benang merah antara keinginan pemerintah yang memberlakukan pajak (baca PPh) pada sektor e-commerce serta kendala-kendala yang sudah dikemukakan di atas adalah dengan mengenakan pajak jual-beli secara langsung dan up to date (saat itu juga). Hal ini mungkin dilakukan melalui pembuatan regulasi mengenai e-payment sehingga pemotongan pajak bisa dilakukan bersamaan dengan transaksi jual beli menggunakan e-payment.

Untuk itu, dukungan pemerintah dan Bank Indonesia dari sisi kebijakan moneter dan makroprudensial untuk mendukung keuangan digital di sektor e-commerce, antara lain, bisa dilakukan dengan mendorong regulasi mengenai e-payment, baik meliputi keamanan transaksi dan ketersediaan infrastrukturnya. Selain dapat melakukan potongan pajak langsung, regulasi ini juga untuk menguatkan sistem keuangan untuk mendukung industrialisasi ekonomi digital dalam integrasi pasar keuangan di Indonesia.

Oleh sebab itu, reformasi struktural dalam perspektif pengembangan inovasi instrumen kebijakan moneter dan makroprudensial penting dilakukan untuk mendukung stabilitas makroekonomi dan sistem keuangan serta pertumbuhan ekonomi pada era ekonomi digital. Langkah ini menjadi salah satu alternatif di tengah-tengah penolakan para penyedia platform marketplace yang menyatakan belum siap dengan pemberlakuan PMK tersebut.

Selain itu, sosialisasi mengenai PMK secara intensif harus dilakukan pemerintah, khususnya Dirjen Pajak, termasuk menyiapkan infrastruktur-infrastruktur pendukung yang diperlukan. Dengan begitu, per 1 April 2019, tidak lagi dijumpai kembali pro-kontra serta kendala-kendala teknis dalam implementasinya.
(whb)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.0786 seconds (0.1#10.140)