Isu Ketahanan Pangan di Pilpres 2019
A
A
A
M AminudinMantan Staf Ahli Pusat Pengkajian DPR/ MPR RI,Pengurus Pusat Ikatan ALUMNI Universitas Airalangga DepartemenOrganisasi,danDirektur Institute for Strategic and Development Studies (ISDS)DEBAT calon presiden yang akan digelar Komisi Pemilihan Umum (KPU) mulai dari Januari hingga April 2019, pada putaran kedua akan mengangkat tema pangan. Dipilihnya topik pangan sebagai salah satu tema perdebatan menjelang pemilihan presiden (pilpres) ini sangat strategis dan fundamental karena menyangkut kelangsungan hidup bangsa.Persoalan pangan selalu menjadi kebutuhan paling mendasar bagi kebutuhan manusia untuk mempertahankan kelangsungan hidupnya. Tepat sekali ungkapan Presiden Pertama RI Ir Soekarno yang pernah menegaskan, “Pangan merupakan soal mati-hidupnya suatu bangsa, apabila kebutuhan pangan rakyat tidak dipenuhi maka ‘malapetaka’, oleh karena itu perlu usaha secara besar-besaran, radikal, dan revolusioner”.Ketersediaan pangan yang lebih sedikit dibandingkan kebutuhannya dapat menciptakan ketidakstabilan suatu masyarakat atau negara. Bahkan, dalam negara sangat modern yang pendapatan nasionalnya sebagian besar sudah dari komponen industri dan perdagangan pun takkan bisa melepaskan ketergantungannya pada pangan. Justru saat ini negara-negara maju itu sebagian besar memberikan alokasi sangat besar untuk ketahanan pangan. Subsidi pertanian pemerintah federal AS setiap tahun rata-rata sekitar USD100 miliar (Rp1.200 triliun), sementara Uni Eropa rata-rata menorehkan angka sekitar €55 miliar per tahun (Rp888,64 triliun). Sedangkan China menyubsidi pertanian sekitar 5.399.280 triliun dari total APBN China 2017 RMB 25,59 triliun setara Rp51.180 triliun (1RMB=Rp2.000).Data WTO menunjukkan Jepang setiap tahun mengalokasikan lebih dari 1,3% dari rata-rata PDB-nya sekitar USD4,834 triliun. Justru agak aneh Indonesia sebagai negara agraris semakin mengurangi subsidi pertaniannya dalam empat tahun terakhir. Pada 2018 misalkan, APBN Indonesia mengalokasikan subsidi pupuk Rp28 triliun dari jumlah total belanja APBN 2018Rp2.220,657 triliun, ini justru makin merosot dibanding subsidi pupuk pertanian 2017 sebesar Rp31,2 triliun. Tentu saja kebijakan anomali dengan kebutuhan pangan terus meningkat akibat peningkatan populasi yang semakin besar dan paradoks bagi negara agraris seperti Indonesia.Padahal laju pertumbuhan penduduk yang terus bertambah sekitar 1,1% per tahun atau 2,5 juta orang, peningkatan populasi itu dengan sendirinya menambah kebutuhan pangan yang rata-rata meningkat 4,87% per tahun. Di sisi lain, semakin menyempitnya lahan pertanian mengancam kemampuan produksi pangan Indonesia.Menurut Kementerian Agraria, setiap tahun 150.000 hingga 200.000 hektare lahan sawah berubah menjadi lahan nonsawah, seperti kawasan industri, bandara, permukiman penduduk, dan lainnya. Hal ini meningkat tajam jika dibandingkan enam tahun lalu. Saat itu laju konversi lahan sawah menjadi lahan nonsawah sekitar 100.000 hektare per tahun. Artinya, lajunya meningkat hingga 100%.Susutnya lahan ini bisa semakin mengancam ketahanan pangan, mengingat tak semua lahan bisa ditanami atau cocok ditanami sesuai kebutuhan pangan. Untuk lahan padi pada 2017 misalnya, tanah yang ditanami padi turun menjadi 4,82 juta hektare dibandingkan tahun 2017 yang masih mencapai 5,24 juta hektare berarti merosot dalam jumlah 413.727 hektare.Kemampuan produktivitas petani makin sempoyongan akibat kebijakan pemerintah pusat dan daerah tidak serius memperkuat sektor pertanian dan meningkatkan kesejahteraan petani seperti upaya mencabut subsidi pupuk dan benih pada 2018 dan 2019. Akibatnya sudah bisa ditebak, produktivitas petani terutama padi cenderung makin merosot dari waktu ke waktu. Ini antara lain terlihat dari menurunnya penyerapan beras dari dalam negeri oleh Bulog. Pada 2016, Bulog bisa menyerap petani domestik 2,97 juta ton, tetapi pada 2017 susut menjadi 2,05 juta ton.Akibat makin mengecilnya persediaan beras dalam negeri di tengah kebutuhan pangan rakyat meningkat sudah diduga, impor beras dan komoditi pangan lain makin melonjak. Dalam 10 tahun terakhir ketergantungan terhadap pangan impor sudah mencapai taraf mengkhawatirkan. Data Badan Pusat Statistik (BPS) menggambarkan tren peningkatan impor pangan dalam kurun waktu lima tahun terakhir, antara lain, pada 2013 impor dengan volume 472,66 ribu ton, tetapi pada 2018 kuota impor beras melonjak jadi 2 juta ton. Melonjaknya jumlah impor terus menerus selain memukul pendapatan petani ternyata semakin menggerus devisa Indonesia dan memperlemah nilai tukar rupiah terhadap mata uang asing.Melonjaknya nilai impor tersebut karena produksi pangan di dalam negeri tidak mampu memenuhi kebutuhan dan pertumbuhan jumlah penduduk. Kontribusi pertanian terhadap produk domestik bruto (PDB) pun terus turun dari waktu ke waktu, yaitu 15,19% pada 2003 dan menjadi 14,43% pada 2013 semakin merosot lagi pada 2017 menjadi 13,6%.Kemampuan produktivitas pertanian yang makin merosot berbanding terbalik dengan meningkatnya kebutuhan pangan akibat meningkatnya populasi penduduk. Pada 2017, indeks keamanan pangan Indonesia, seperti diukur dalam Global Food Security Index, menempatkan Indonesia di peringkat 69 ketahanan pangan jauh di bawah Singapura (negara yang tak punya lahan sawah pertanian), bahkan jauh di negara yang tanahnya tandus berpadang pasir Timur Tengah, seperti Oman, Bahrain, Kuwait, Mesir, dan Arab Saudi. Indeks itu diukur berdasarkan tiga indikator, yakni daya beli konsumen, ketersediaan makanan, kualitas dan keamanan makanan.Apakah urgensi ketahanan pangan sudah diakomodasi menjadi program unggulan para kandidat yang bersaing pada Pilpres 2019? Jawabnya bisa dilihat dengan membedah masing-masing visi-misi para kandidat presiden. Dalam visi-misi dan program unggulan pasangan nomor urut 01 Ir H Joko Widodo dan KH Ma’ruf Amin di situ jelas eksplisit di urutan paling atas tertulis, “Peningkatan Kualitas Manusia Indonesia”. Jadi, skala prioritas Jokowi-Ma’ruf jelas ke SDM seperti peningkatan gizi dan sejenisnya yang tertuang pada program aksinya.Ternyata, baik visi-misi maupun program aksi Jokowi-Ma’ruf, lebih bersifat implisit dan bisa multitafsir tentang pertanian serta ketahanan pangan. Hanya di bagian bawah program tertulis, “Struktur Ekonomi yang Produktif, Mandiri, dan Berdaya Saing”. Tidak dirinci terkait pertanian dan ketahanan pangan. Tampaknya petahana Joko Widodo konsisten melanjutkan kebijakan pemerintahannya yang sudah berjalan untuk mulai meninggalkan ekonomi agraris dengan mengurangi anggaran pertanian mengalihkan ke pembangunan infrastruktur dan SDM. Menjelang akhir pemerintahannya dua tahun terakhir memang pemerintahan Jokowi berusaha terus mengusulkan penghapusan subsidi pupuk dan benih serta mendorong lebih banyak impor komoditi.Namun, sebaliknya pasangan nomor urut 02 Prabowo Subianto-Sandiaga Uno di visi-misi serta program aksinya tampak memberikan porsi sangat besar ke pertanian dan ketahanan pangan. Dari 36 poin program aksi bidang ekonomi Prabowo-Sandiaga pada nomor 1 atau paling atas di antaranya berbunyi: “kebijakan subsidi yang mendorong kemampuan produksi, kebijakan menjadi harga yang terjangkau dan stabil, sertapembangunaninfrastrukturpertaniandanpedesaanyang mendukung berkembangnya sektor produktif”.Kemudian di poin 4 berbunyi: “Melakukanindustrialisasipertaniandi pedesaan sehingga tercipta pusat-pusat pertumbuhan ekonomi baru yang tersebar untuk mengurangi kemiskinan. Pada poin berikutnya menyebutkan,“Meningkatkankesejahteraanpetanimelalui penerapan inovasidigital farming”. Pada bagian nomor 9 berbunyi, “Meningkatkan alokasi anggaran pada sektor-sektor yang mana kita memiliki keunggulan alami (natural advantages), yaitu di antaranya programpembangunanpertanian.”Selanjutnya pada butir program nomor 12 berbunyi,“MendirikanBankTanidan Nelayan.Di bagian paling akhir program aksinya, yaitu poin 36 kembali Prabowo-Sandi menyebut program bidang pertanian dengan kalimat,“memperpendek rantai distribusihasil-hasil pertanian.”Dari uraian di atas kita bisa mendapat gambaran persamaan dan perbedaan visi-misi di bidang pertanian dan pangan, baik dari pasangan Jokowi-Ma’ruf dan Prabowo-Sandi. Kedua belah pihak tentu memiliki alasan sendiri kenapa memprioritaskan ini dan itu. Tetapi yang harus disadari siapa pun presiden terpilih, kebijakan pemerintahan 5 tahun ke depan harus berjalan pada rel visi-misi program yang dijanjikan capres selama kampanye. Itu artinya, visi-misi capres ini akan berdampak pada kehidupan rakyat sehari-hari.Sebagai contoh, setelah Jokowi terpilih presiden pada 2014 langsung tancap gas menaikkan harga BBM bensin dan listrik yang mungkin membuat sebagian pemilihnya sendiri terkejut karena waktu itu sebenarnya minyak dunia harganya justru sedang turun. Padahal kebijakan dibuat adalah dalam merealisasikan visi-misi Jokowi yang disampaikan saat kampanye Pilpres 2014 yang dengan tegas eksplisit menyebutkan,“Mengurangi dan mengeliminasi subsidi BBM minyak dan listrik”. Pada rangkaian visi-misi Jokowi-JK waktu itu sebenarnya sudah sangat gamblang ingin menaikkan harga BBM dan listrik guna menggenjot pemasukan negara dipergunakan untuk pembangunan infrastruktur. Jika sudah membaca visi-misi serta program aksi dari capres yang akan dipilih, pasti tidak perlushockatau kaget ketika kebijakan akhirnya benar-benar direalisasikan.Dengan pengalaman yang sudah dilalui ini, sebaiknya para pemilih harus lebih proaktif mencari tahu dan lebih teliti membaca langsung visi-misi semua kandidat yang maju dalam menduduki jabatan publik terutama program yang ditawarkan capres. Selain itu, perlu juga mempelajari jejak rekam para kandidat untuk mengukur kapasitas menjalankan program yang dijanjikan selama kampanye. Pemilih perlu mengikuti jargon di dunia perdagangan, “Teliti sebelum membeli”. “Memilih hanya karena ikut-ikutan teman atauframing(penggiringan opini) media yang mungkin bias partisan bisa menimbulkan penyesalan di kemudian hari. Seperti ungkapan yang populer di masyarakat,“Keputusan 5 menit yang salah di bilik suara bisa berdampak penyesalan bagi kita 5 tahun mendatang”. Selamat menjadi pemilih cerdas!
(kri)