Borgol untuk Koruptor

Jum'at, 04 Januari 2019 - 05:09 WIB
Borgol untuk Koruptor
Borgol untuk Koruptor
A A A
Arif Susanto

Analis politik Exposit Strategic

MENJELANG sidang per­dananya di Peng­adilan Tipikor pada 2012, Miranda Gultom tampak bergaya me­ma­dukan jaket tahanan KPK berkerah tinggi bersama sabuk besar melilit pinggangnya. Gaya semacam itu mungkin segera hilang. Setelah mengganti jaket dengan rompi tahanan lebih se­derhana, KPK kini juga mem­borgol para terdakwa koruptor saat mereka keluar rumah ta­hanan.

Pada diri koruptor, ke­serakahan berpadu dengan has­rat egomania, membenamkan mereka dalam kondisi subjektif serba-berkekurangan dan mis­kin empati. Benarlah KPK ber­usaha mengikis narsisisme para koruptor dengan cara mem­bor­gol mereka? Negara memang tidak boleh kalah melawan ko­ruptor, pecundang tamak dan narsisistik yang telah menjarah milik publik.

Ketamakan Koruptor

Gejala korupsi kian meng­gi­riskan dengan nilai semakin fantastis. Hasil menjarah uang negara digunakan secara rakus oleh para koruptor untuk me­ng­ongkosi gaya hidup super mahal mereka dan untuk membeli ke­kuasaan. Setiap koruptor ada­lah orang-orang berkuasa yang tamak. Mereka merasa tidak cukup-diri dan menge­ja­wan­tahkan hasrat penguasaan me­re­ka dengan cara menjarah hak milik publik.

Alexis Brassey (2009) me­ru­muskan ketamakan sebagai perwujudan situasi ketika ke­pe­milikan selalu berjarak dari keinginan; tetapi, peningkatan ke­pemilikan tidak pernah mam­pu mengejar peningkatan keinginan, sehingga ia meng­ha­silkan ketidakbahagiaan. Pa­da­hal pengendalian keinginan, bu­kan penumpukan ke­pe­mi­likan, lebih efektif meng­ha­sil­kan kebahagiaan.

Ketamakan mendorong sebagian orang un­tuk mengejar kepemilikan de­ngan mengorbankan se­ga­lanya, sebab mereka mengira hal itu dapat mendatangkan ke­bahagiaan. Kekeliruan ini, se­but Brassey, menjelaskan me­nga­pa sebagian orang-orang pa­ling kaya, sebagian orang-orang paling berkuasa, dan sebagian orang-orang paling masyhur termasuk golongan paling tidak bahagia.

Bukan berarti bahwa pe­num­pukan kepemilikan itu menjadi sumber masalah; yang menjadi pokok persoalan ada­lah identifikasi keliru bahwa ke­pe­milikan—yang pasti ter­ba­tas—mampu memenuhi has­rat—yang tidak terbatas. Uang, yang dicuri para koruptor, adalah objek terbatas yang tidak akan pernah sanggup me­me­nuhi hasrat yang memang mustahil untuk diwujudkan seluruhnya.

Kepemilikan itu, menurut David Levine (2013), tidaklah di­ciptakan oleh ketamakan, tetapi ia adalah objek yang, ka­rena kualitas khususnya, me­na­rik ketamakan untuk meng­has­ra­tinya. Ketamakan ditentukan bukan oleh keterkaitannya de­ngan kepemilikan, tetapi oleh keterikatannya pada kondisi tanpa batas. Dalam ketamakan, pengendalian keinginan di­te­lan hasrat tanpa batas untuk me­miliki.

Ketamakan bukanlah suatu situasi yang di dalamnya kita dapat menemukan kepuas­an. Justru, lanjut Levine, ia adalah suatu dunia di mana pelaku yang serakah me­ne­tap­kan sedemikian rupa objek has­ratnya—yang ironisnya tidak mungkin terwujud—sebagai suatu tujuan. Sementara ke­puas­an tanpa batas itu tidak mung­kin digapai, ketamakan me­rupakan permainan para pecundang.

Sebagai pecundang, para koruptor tidak pernah mampu menang bertarung melawan ketamakannya sendiri. Bukan hanya tidak mungkin me­nak­luk­kan kepuasannya yang tiada berhingga, para koruptor juga tidak pernah tenang karena di­hantui kekhawatiran hidup ber­kekurangan. Setelah menunda kekalahan, mereka pun harus tunduk pada hukum yang men­jerat kejahatan mereka.

Menundukkan Egomania

Mantan Komisioner KPK Busyro Muqoddas menyebut bahwa para koruptor itu se­rakah sekaligus optimistik. Pe­n­ilaian tersebut agaknya ber­tolak dari fakta bahwa betapa pun para koruptor telah men­ja­rah secara tamak uang negara, se­bagian dari mereka yakin dapat lolos dari jerat hukum. Di ha­dapan sorotan kamera jur­nalis, tampak pula koruptor yang semringah nyaris tanpa be­ban.

Situasi tersebut, sesung­guhnya, lebih mengekspre­si­kan suatu narsisisme ke­tim­bang optimisme. Sementara op­­ti­misme ditandai oleh keyakinan bah­wa harapan baik akan te­r­wujud, narsisisme lebih me­nun­jukkan keterbatasan per­ha­tian terhadap lingkungannya. Diliputi egomania, para ko­rup­tor yang tamak itu merasa tidak perlu peduli terhadap kerugian publik.

Pada akhirnya publik patut mewaspadai ancaman pem­bu­suk­an kekuasaan negara oleh para koruptor. Bukan hanya ka­rena mereka menjarah ke­ua­ng­an negara, namun juga karena mereka potensial untuk mem­ba­jak pembuatan regulasi dan menumpulkan penegakan hu­kum. Dengan segala sumber daya yang dimiliki, negara tidak pernah boleh kalah melawan para koruptor.
(pur)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.5667 seconds (0.1#10.140)