Borgol untuk Koruptor
A
A
A
Arif Susanto
Analis politik Exposit Strategic
MENJELANG sidang perdananya di Pengadilan Tipikor pada 2012, Miranda Gultom tampak bergaya memadukan jaket tahanan KPK berkerah tinggi bersama sabuk besar melilit pinggangnya. Gaya semacam itu mungkin segera hilang. Setelah mengganti jaket dengan rompi tahanan lebih sederhana, KPK kini juga memborgol para terdakwa koruptor saat mereka keluar rumah tahanan.
Pada diri koruptor, keserakahan berpadu dengan hasrat egomania, membenamkan mereka dalam kondisi subjektif serba-berkekurangan dan miskin empati. Benarlah KPK berusaha mengikis narsisisme para koruptor dengan cara memborgol mereka? Negara memang tidak boleh kalah melawan koruptor, pecundang tamak dan narsisistik yang telah menjarah milik publik.
Ketamakan Koruptor
Gejala korupsi kian menggiriskan dengan nilai semakin fantastis. Hasil menjarah uang negara digunakan secara rakus oleh para koruptor untuk mengongkosi gaya hidup super mahal mereka dan untuk membeli kekuasaan. Setiap koruptor adalah orang-orang berkuasa yang tamak. Mereka merasa tidak cukup-diri dan mengejawantahkan hasrat penguasaan mereka dengan cara menjarah hak milik publik.
Alexis Brassey (2009) merumuskan ketamakan sebagai perwujudan situasi ketika kepemilikan selalu berjarak dari keinginan; tetapi, peningkatan kepemilikan tidak pernah mampu mengejar peningkatan keinginan, sehingga ia menghasilkan ketidakbahagiaan. Padahal pengendalian keinginan, bukan penumpukan kepemilikan, lebih efektif menghasilkan kebahagiaan.
Ketamakan mendorong sebagian orang untuk mengejar kepemilikan dengan mengorbankan segalanya, sebab mereka mengira hal itu dapat mendatangkan kebahagiaan. Kekeliruan ini, sebut Brassey, menjelaskan mengapa sebagian orang-orang paling kaya, sebagian orang-orang paling berkuasa, dan sebagian orang-orang paling masyhur termasuk golongan paling tidak bahagia.
Bukan berarti bahwa penumpukan kepemilikan itu menjadi sumber masalah; yang menjadi pokok persoalan adalah identifikasi keliru bahwa kepemilikan—yang pasti terbatas—mampu memenuhi hasrat—yang tidak terbatas. Uang, yang dicuri para koruptor, adalah objek terbatas yang tidak akan pernah sanggup memenuhi hasrat yang memang mustahil untuk diwujudkan seluruhnya.
Kepemilikan itu, menurut David Levine (2013), tidaklah diciptakan oleh ketamakan, tetapi ia adalah objek yang, karena kualitas khususnya, menarik ketamakan untuk menghasratinya. Ketamakan ditentukan bukan oleh keterkaitannya dengan kepemilikan, tetapi oleh keterikatannya pada kondisi tanpa batas. Dalam ketamakan, pengendalian keinginan ditelan hasrat tanpa batas untuk memiliki.
Ketamakan bukanlah suatu situasi yang di dalamnya kita dapat menemukan kepuasan. Justru, lanjut Levine, ia adalah suatu dunia di mana pelaku yang serakah menetapkan sedemikian rupa objek hasratnya—yang ironisnya tidak mungkin terwujud—sebagai suatu tujuan. Sementara kepuasan tanpa batas itu tidak mungkin digapai, ketamakan merupakan permainan para pecundang.
Sebagai pecundang, para koruptor tidak pernah mampu menang bertarung melawan ketamakannya sendiri. Bukan hanya tidak mungkin menaklukkan kepuasannya yang tiada berhingga, para koruptor juga tidak pernah tenang karena dihantui kekhawatiran hidup berkekurangan. Setelah menunda kekalahan, mereka pun harus tunduk pada hukum yang menjerat kejahatan mereka.
Menundukkan Egomania
Mantan Komisioner KPK Busyro Muqoddas menyebut bahwa para koruptor itu serakah sekaligus optimistik. Penilaian tersebut agaknya bertolak dari fakta bahwa betapa pun para koruptor telah menjarah secara tamak uang negara, sebagian dari mereka yakin dapat lolos dari jerat hukum. Di hadapan sorotan kamera jurnalis, tampak pula koruptor yang semringah nyaris tanpa beban.
Situasi tersebut, sesungguhnya, lebih mengekspresikan suatu narsisisme ketimbang optimisme. Sementara optimisme ditandai oleh keyakinan bahwa harapan baik akan terwujud, narsisisme lebih menunjukkan keterbatasan perhatian terhadap lingkungannya. Diliputi egomania, para koruptor yang tamak itu merasa tidak perlu peduli terhadap kerugian publik.
Pada akhirnya publik patut mewaspadai ancaman pembusukan kekuasaan negara oleh para koruptor. Bukan hanya karena mereka menjarah keuangan negara, namun juga karena mereka potensial untuk membajak pembuatan regulasi dan menumpulkan penegakan hukum. Dengan segala sumber daya yang dimiliki, negara tidak pernah boleh kalah melawan para koruptor.
Analis politik Exposit Strategic
MENJELANG sidang perdananya di Pengadilan Tipikor pada 2012, Miranda Gultom tampak bergaya memadukan jaket tahanan KPK berkerah tinggi bersama sabuk besar melilit pinggangnya. Gaya semacam itu mungkin segera hilang. Setelah mengganti jaket dengan rompi tahanan lebih sederhana, KPK kini juga memborgol para terdakwa koruptor saat mereka keluar rumah tahanan.
Pada diri koruptor, keserakahan berpadu dengan hasrat egomania, membenamkan mereka dalam kondisi subjektif serba-berkekurangan dan miskin empati. Benarlah KPK berusaha mengikis narsisisme para koruptor dengan cara memborgol mereka? Negara memang tidak boleh kalah melawan koruptor, pecundang tamak dan narsisistik yang telah menjarah milik publik.
Ketamakan Koruptor
Gejala korupsi kian menggiriskan dengan nilai semakin fantastis. Hasil menjarah uang negara digunakan secara rakus oleh para koruptor untuk mengongkosi gaya hidup super mahal mereka dan untuk membeli kekuasaan. Setiap koruptor adalah orang-orang berkuasa yang tamak. Mereka merasa tidak cukup-diri dan mengejawantahkan hasrat penguasaan mereka dengan cara menjarah hak milik publik.
Alexis Brassey (2009) merumuskan ketamakan sebagai perwujudan situasi ketika kepemilikan selalu berjarak dari keinginan; tetapi, peningkatan kepemilikan tidak pernah mampu mengejar peningkatan keinginan, sehingga ia menghasilkan ketidakbahagiaan. Padahal pengendalian keinginan, bukan penumpukan kepemilikan, lebih efektif menghasilkan kebahagiaan.
Ketamakan mendorong sebagian orang untuk mengejar kepemilikan dengan mengorbankan segalanya, sebab mereka mengira hal itu dapat mendatangkan kebahagiaan. Kekeliruan ini, sebut Brassey, menjelaskan mengapa sebagian orang-orang paling kaya, sebagian orang-orang paling berkuasa, dan sebagian orang-orang paling masyhur termasuk golongan paling tidak bahagia.
Bukan berarti bahwa penumpukan kepemilikan itu menjadi sumber masalah; yang menjadi pokok persoalan adalah identifikasi keliru bahwa kepemilikan—yang pasti terbatas—mampu memenuhi hasrat—yang tidak terbatas. Uang, yang dicuri para koruptor, adalah objek terbatas yang tidak akan pernah sanggup memenuhi hasrat yang memang mustahil untuk diwujudkan seluruhnya.
Kepemilikan itu, menurut David Levine (2013), tidaklah diciptakan oleh ketamakan, tetapi ia adalah objek yang, karena kualitas khususnya, menarik ketamakan untuk menghasratinya. Ketamakan ditentukan bukan oleh keterkaitannya dengan kepemilikan, tetapi oleh keterikatannya pada kondisi tanpa batas. Dalam ketamakan, pengendalian keinginan ditelan hasrat tanpa batas untuk memiliki.
Ketamakan bukanlah suatu situasi yang di dalamnya kita dapat menemukan kepuasan. Justru, lanjut Levine, ia adalah suatu dunia di mana pelaku yang serakah menetapkan sedemikian rupa objek hasratnya—yang ironisnya tidak mungkin terwujud—sebagai suatu tujuan. Sementara kepuasan tanpa batas itu tidak mungkin digapai, ketamakan merupakan permainan para pecundang.
Sebagai pecundang, para koruptor tidak pernah mampu menang bertarung melawan ketamakannya sendiri. Bukan hanya tidak mungkin menaklukkan kepuasannya yang tiada berhingga, para koruptor juga tidak pernah tenang karena dihantui kekhawatiran hidup berkekurangan. Setelah menunda kekalahan, mereka pun harus tunduk pada hukum yang menjerat kejahatan mereka.
Menundukkan Egomania
Mantan Komisioner KPK Busyro Muqoddas menyebut bahwa para koruptor itu serakah sekaligus optimistik. Penilaian tersebut agaknya bertolak dari fakta bahwa betapa pun para koruptor telah menjarah secara tamak uang negara, sebagian dari mereka yakin dapat lolos dari jerat hukum. Di hadapan sorotan kamera jurnalis, tampak pula koruptor yang semringah nyaris tanpa beban.
Situasi tersebut, sesungguhnya, lebih mengekspresikan suatu narsisisme ketimbang optimisme. Sementara optimisme ditandai oleh keyakinan bahwa harapan baik akan terwujud, narsisisme lebih menunjukkan keterbatasan perhatian terhadap lingkungannya. Diliputi egomania, para koruptor yang tamak itu merasa tidak perlu peduli terhadap kerugian publik.
Pada akhirnya publik patut mewaspadai ancaman pembusukan kekuasaan negara oleh para koruptor. Bukan hanya karena mereka menjarah keuangan negara, namun juga karena mereka potensial untuk membajak pembuatan regulasi dan menumpulkan penegakan hukum. Dengan segala sumber daya yang dimiliki, negara tidak pernah boleh kalah melawan para koruptor.
(pur)