'Social Trust' dan Solidaritas Demi Keutuhan Bangsa

Senin, 24 Desember 2018 - 08:30 WIB
Social Trust dan Solidaritas Demi Keutuhan Bangsa
'Social Trust' dan Solidaritas Demi Keutuhan Bangsa
A A A
Tom Saptaatmaja
Teolog dan Kolumnis

PADA Desember ini banyak “event” baik bersifat nasional atau internasional, mulai dari Hari AIDS, Hari HAM, Hari Kesetiakawanan Sosial, Hari Ibu, dan Hari Natal. Hampir semua peringatan tersebut sejatinya mengajak kita peduli dengan sesama dan permasalahan bangsa. Pesan demikian relevan di tengah situasi negeri yang sedang terpolarisasi akibat perbedaan dukungan di pemilihan presiden (pilpres).

Jujur kita cemas. Meski pemilu konon merupakan pesta demokrasi, namun pilpres kali ini tidak membawa nuansa gembira. Pada masa kampanye ini kita juga dibuat miris oleh berbagai pernyataan yang penuh pesimisme. Belum lagi berbagai pernyataan nyinyir lewat media sosial. Sentimen yang mengusung semangat primordial juga kian laku.

Kita patut cemas dan miris karena selama masa kampanye ini tidak muncul wacana-wacana bernas untuk membangun bangsa. Sebaliknya yang terjadi adalah politik menghalalkan cara, termasuk politik identitas yang menjual sentimen suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA). Caci maki, hujatan, dan saling sebar hoaks seolah menjadi hal yang wajar. Bahkan agama yang seharusnya dimuliakan telah didegradasi menjadi alat politik. Siapa capres yang kita dukung menjadi ukuran utama. Kalau ternyata berbeda pilihan, kita langsung dirasuki kebencian pada orang yang berbeda pilihan.

Social Trust
Akibat politik tidak bermartabat tersebut, rusaklah social trust atau kepercayaan sosial di antara sesama warga bangsa yang amat majemuk ini. Dalam bukunya, Trust: The Social Virtues and The Creation of Prosperity (1995), Francis Fukuyama menggarisbawahi penting dan perlunya trust atau kepercayaan untuk membangun masyarakat sipil yang demokratis dan jauh dari segala kekacauan dan intoleransi. Fukuyama menyebut trust merupakan prinsip perekat yang tidak tertulis di antara semua anggota masyarakat. Semakin tinggi social trust yang dimiliki akan semakin mudah masyarakat atau negara mencapai tujuan bersama.

Kalau kita berani introspeksi atau mengalkulasi seberapa tingkat kepercayaan sosial kita belakangan ini, boleh jadi kita harus jujur mengakui bahwa kita berada di titik terendah sejak republik ini berdiri pada 1945.

Kita sudah melihat bahwa nafsu akan kekuasaan yang berlebihan setiap kali menjelang pilkada atau pilpres kerapkali hanya melahirkan gesekan bahkan konflik dan berujung pada rusaknya social trust.

Dalam konteks seperti itulah Natal hadir di tengah kita. Melihat polarisasi atau keterpecahan seperti itu, bisa saja Yesus tidak antusias melihat hari kelahirannya dipestakan. Apalagi, dalam Injil tidak pernah ada petunjuk Yesus meminta ultahnya dirayakan.

Lukas, seorang penulis Injil, hanya mengisahkan bahwa pada waktu Kaisar Agustus menggelar sensus, pasangan suami-istri Yusuf dan Maria pergi ke Betlehem. Ketika mereka di situ, tibalah waktunya bagi Maria untuk bersalin dan ia melahirkan seorang anak laki-laki, lalu dibungkusnya dengan lampin dan dibaringkannya di dalam palungan, karena tidak ada tempat bagi mereka di rumah penginapan (Lukas 2).

Seperti diketahui, catatan pertama peringatan hari Natal adalah tahun 336 Sesudah Masehi pada kalender Romawi Kuno, yaitu pada 25 Desember. Karena dinilai ada pengaruh budaya bukan Kristen, hingga kini pun ada aliran Kristen yang tidak merayakan Natal.

Tapi, sudahlah, pro-kontra soal Natal bisa tidak ada habisnya. Orang pun bebas merayakan Natal atau tidak. Orang pun bebas mengucapkan Selamat Natal atau tidak. Yang lebih penting digali bukan lagi aspek kebenaran tekstual-historis perayaan Natal, tapi apa maknanya yang terdalam. Cuma dalam perayaan Natal, umat Kristiani harus bisa membedakan mana yang bernilai dan mana yang hanya kulit luar.

Menurut Joseph Neurer SJ, “Dalam penyambutan yang gemerlap justru sering tersembunyi bahaya. Terlalu banyak orang yang menghayati Natal bagai cerita mimpi. Sepertinya semua sepakat untuk satu hari Natal, semua harus dibuat berbeda: harus ada damai, kehendak baik, dan tentu saja harus gembira. Akibatnya, umat yang merayakan Natal berakting seakan-akan hidup di dunia fantasi. Pokoknya suasananya seperti dalam dunia panggung sandiwara, film, atau sinetron. Orang saling mengucapkan salam, memberi kado dan menghindari bentrokan. Jika terjadi perang, pada hari Natal harus dihentikan. Perlu gencatan senjata selama satu hari, tak peduli perang dilanjutkan besok pagi usai Natal. Kalau Natal hanya menyentuh kulit luar seperti itu, tanpa jiwanya sama sekali, maka berarti kita semua telah tertipu (Joseph Neurer SJ, Walking With Him, Gujarat 1989).”

Karena itu, kita harus bisa membaca pesan utama atau jiwa Natal, yakni peristiwa inkarnasi Firman Allah menjadi manusia (bernama Yesus). Mengapa harus dengan inkarnasi macam ini? Karena Yang Maha Tinggi (Allah) hendak menunjukkan solidaritas atau belarasaNya dengan manusia yang berdosa. Tidak heran jika selama masa hidupNya di dunia, Yesus selalu mencoba menunjukkan solidaritas dengan setiap manusia, khususnya yang kecil dan lemah.

Solidaritas Yesus itu juga ditunjukkan dengan mendobrak segala hukum kebencian. Hukum balas dendam, mata ganti mata, gigi ganti gigi digantinya dengan hukum “beri pipi kananmu, kepada yang menampar pipi kirimu”, “maafkan dan berdoa untuk orang yang menganiaya kamu”. Karena hukum dendam dalam praktiknya hanya makin menyengsarakan banyak orang, khususnya orang-orang kecil.

Apa yang dilakukan Yesus, khususnya terkait keberanian untuk mendobrak hukum kebencian, jelas relevan sekali dengan kita yang tengah diliputi kebencian, hanya gara-gara pilpres. Kita harus sadar kebencian itu hanya merusak rasa damai dan membuang banyak energi.

Semoga Natal ini menumbuhkan lagi hasrat untuk membangun hidup bersama, membangun rasa saling percaya dan solider di antara sesama anak bangsa. Perbedaan pilihan capres tidak harus membuat kita terpecah, apalagi saling membenci. Ongkosnya akan sangat mahal jika pilpres ternyata hanya merusak bangunan NKRI yang dulu didirikan dengan cucuran air mata, darah, dan nyawa para pahlawan. Semoga Natal kali ini mampu menurunkan suhu politik yang memanas dan hati kita diliputi kembali rasa damai dan cinta sesama dan Tanah Air.
(rhs)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.5075 seconds (0.1#10.140)