Hatta dan Republikanisme Indonesia
A
A
A
Despan Heryansyah
Peneliti Pusat Studi Hukum Konstitusi (PSHK),
Mahasiswa Program Doktor Fakultas Hukum UII Yogyakarta
POLITIK dalam arti yang sebenarnya ialah perbuatan yang menimbulkan dalam hal kenegaraan, untuk mencapai kesejahteraan negara dan masyarakat, menurut dasar yang diyakini.... Namun sayangnya, seringkali kenggotaan partai menjadi ukuran, bukan dasar the right man in the right place... ini merusak ketenteraman jiwa bekerja, mendorong orang ke jalan curang dan korupsi mental.
Aturan memperkuat budi pekerti, karakter pegawai, dengan politik kepertaian itu orang menghidupkan yang sebalinya, mengasuh orang luntur karakter...suasana politik semacam itu memberi kesempatan kepada jenis petualangan politik dan ekonomi serta manusia profitri maju ke muka. Segala pergerakan dan semboyan nasional diperalatkan mereka, partai-partai politik ditungganginya, untuk mencapai kepentingan mereka sendiri. (Hatta: Demokrasi Kita, 2004).
Di tengah situasi politik yang mulai meninggalkan etika dan akal sehat akhir-akhir ini, kutipan tulisan Moh Hatta di atas patut menjadi renungan kita bersama. Tulisan itu, mengingatkan kita tentang bagaimana bangsa ini didirikan dan ke mana tujuan kita diarahkan. Hatta menegaskan tiga fundamen dalam memahami politik (Robertus Robet: 2006, 132):
Pertama, Hatta menegaskan bahwa politik adalah area dignitas di mana di dalamnya keutamaan umum diperbincangkan. Oleh karena itu harus dijaga, disterilkan, dan dihindarkan dari intervensi kepentingan-kepentingan household, pribadi, dan ekonomi.
Hatta mengingatkan kita bahwa salah satu penyakit pokok dunia modern saat ini adalah kekaburan yang makin parah antara mana ruang publik dan mana ruang privat, kekaburan ini ditandai oleh makin tergerusnya politik oleh kepentingan privat. Dalam beberapa hal bahkan politik telah sama sekali dihancurkan dan ditotalisasi oleh kepentingan-kepentingan lain.
Kedua, politik harus distrerilkan dari kepentingan primordial. Dengan itu Hatta menegaskan dimensi diskursus yang terbuka terhadap pengujian akal budi di dalam politik. Politik dan kepentingan umum terletak di atas kepentingan individual dan primordial.
Dengan menegaskan pendirian bahwa kedudukan politik harus sedemikian rupa berdasar pada prinsip the right men on the right place serta bahwa pera-peran dalam pelayanan umum harus dibersihkan dari kepentingan dan perebutan kekuasaan dan partai-partai, Hatta sekali lagi mengokohkan pendirian kepublikan dan akal budi dalam politik. Di sini apa yang disebut sebagai umum benar-benar dimengerti dalam artinya yang paling substantif yakni publik berikut civitas di dalamnya.
Ketiga, politik memerlukan individu dengan virtue, kebaikan dalam karakter individual. Dengan menegaskan pentingnya virtue, Hatta menganjurkan bahwa dimensi etis dalam dasar-dasar kepolitikan yang bersifat publik itu harus juga terefleksi dalam nilai-nilai individual tiap warga. Dengan demikian moralitas politik harus tersambung dengan moralitas kewargaan.
Moralitas dalam demokrasi itu harus menjadi moralitas dalam kehidupan warga demi warga di dalam masyarakat. Ini yang dalam kosakata politik modern disebut sebagai civic republicanism. Bagi Hatta, republikanisme tidak hanya sebagai teori atau dasar filosofis utu mengatur dasar-dasar pemerintahan modern, republikanisme di dalam Hatta sekaligus juga menjadi etika politik kenegaraan umum.
Mengikuti sekaligus mencoba membedah pendirian politik Hatta, maka sebenarnya demokrasi Indonesia saat ini memiliki referansi yang sangat berharga dan murah. Tantangan dan peluang tentu berbeda dengan apa yang dihadapi oleh Hatta dulu, tapi sebagai sebuah prinsip dan etika politik Indonesia sifat republikanisme Hatta adalah tetap, meskipun kontekstulisasi dalam beberapa sisi harus dilakukan.
Dalam sudut pandang teori maupun filsafat politik masa kini, apa yang dikemukakan oleh Hatta merupakan ide fundamental yang hingga saat ini terus dipelajari dan dikembangkan. Artinya secara itelektual dan akademis, pendirian sekaligus pemikiran Hatta menjadi sangat penting untuk digali kembali dalam keperluan memperkuat dimensi-etis kekuasaan.
Dalam kebutuhan Indonesia saat ini, menghadapi Pemilu Serentak 2019 mendatang, di mana akal sehat mulai ditinggalkan, masyarakat kemudian dihadap-hadapkan pada pilihan menjadi bagian dari koalisi atau oposisi dengan “perang” isu yang tidak lagi sehat, maka refleksi pemikiran Hatta menjadi mendesak untuk dilakukan. Setidaknya, dapat menjadi alarm pengingat kita bersama bahwa “kalau tidak bersaudara karena agama, kita bersaudara sebagai sebuah bangsa”.
Peneliti Pusat Studi Hukum Konstitusi (PSHK),
Mahasiswa Program Doktor Fakultas Hukum UII Yogyakarta
POLITIK dalam arti yang sebenarnya ialah perbuatan yang menimbulkan dalam hal kenegaraan, untuk mencapai kesejahteraan negara dan masyarakat, menurut dasar yang diyakini.... Namun sayangnya, seringkali kenggotaan partai menjadi ukuran, bukan dasar the right man in the right place... ini merusak ketenteraman jiwa bekerja, mendorong orang ke jalan curang dan korupsi mental.
Aturan memperkuat budi pekerti, karakter pegawai, dengan politik kepertaian itu orang menghidupkan yang sebalinya, mengasuh orang luntur karakter...suasana politik semacam itu memberi kesempatan kepada jenis petualangan politik dan ekonomi serta manusia profitri maju ke muka. Segala pergerakan dan semboyan nasional diperalatkan mereka, partai-partai politik ditungganginya, untuk mencapai kepentingan mereka sendiri. (Hatta: Demokrasi Kita, 2004).
Di tengah situasi politik yang mulai meninggalkan etika dan akal sehat akhir-akhir ini, kutipan tulisan Moh Hatta di atas patut menjadi renungan kita bersama. Tulisan itu, mengingatkan kita tentang bagaimana bangsa ini didirikan dan ke mana tujuan kita diarahkan. Hatta menegaskan tiga fundamen dalam memahami politik (Robertus Robet: 2006, 132):
Pertama, Hatta menegaskan bahwa politik adalah area dignitas di mana di dalamnya keutamaan umum diperbincangkan. Oleh karena itu harus dijaga, disterilkan, dan dihindarkan dari intervensi kepentingan-kepentingan household, pribadi, dan ekonomi.
Hatta mengingatkan kita bahwa salah satu penyakit pokok dunia modern saat ini adalah kekaburan yang makin parah antara mana ruang publik dan mana ruang privat, kekaburan ini ditandai oleh makin tergerusnya politik oleh kepentingan privat. Dalam beberapa hal bahkan politik telah sama sekali dihancurkan dan ditotalisasi oleh kepentingan-kepentingan lain.
Kedua, politik harus distrerilkan dari kepentingan primordial. Dengan itu Hatta menegaskan dimensi diskursus yang terbuka terhadap pengujian akal budi di dalam politik. Politik dan kepentingan umum terletak di atas kepentingan individual dan primordial.
Dengan menegaskan pendirian bahwa kedudukan politik harus sedemikian rupa berdasar pada prinsip the right men on the right place serta bahwa pera-peran dalam pelayanan umum harus dibersihkan dari kepentingan dan perebutan kekuasaan dan partai-partai, Hatta sekali lagi mengokohkan pendirian kepublikan dan akal budi dalam politik. Di sini apa yang disebut sebagai umum benar-benar dimengerti dalam artinya yang paling substantif yakni publik berikut civitas di dalamnya.
Ketiga, politik memerlukan individu dengan virtue, kebaikan dalam karakter individual. Dengan menegaskan pentingnya virtue, Hatta menganjurkan bahwa dimensi etis dalam dasar-dasar kepolitikan yang bersifat publik itu harus juga terefleksi dalam nilai-nilai individual tiap warga. Dengan demikian moralitas politik harus tersambung dengan moralitas kewargaan.
Moralitas dalam demokrasi itu harus menjadi moralitas dalam kehidupan warga demi warga di dalam masyarakat. Ini yang dalam kosakata politik modern disebut sebagai civic republicanism. Bagi Hatta, republikanisme tidak hanya sebagai teori atau dasar filosofis utu mengatur dasar-dasar pemerintahan modern, republikanisme di dalam Hatta sekaligus juga menjadi etika politik kenegaraan umum.
Mengikuti sekaligus mencoba membedah pendirian politik Hatta, maka sebenarnya demokrasi Indonesia saat ini memiliki referansi yang sangat berharga dan murah. Tantangan dan peluang tentu berbeda dengan apa yang dihadapi oleh Hatta dulu, tapi sebagai sebuah prinsip dan etika politik Indonesia sifat republikanisme Hatta adalah tetap, meskipun kontekstulisasi dalam beberapa sisi harus dilakukan.
Dalam sudut pandang teori maupun filsafat politik masa kini, apa yang dikemukakan oleh Hatta merupakan ide fundamental yang hingga saat ini terus dipelajari dan dikembangkan. Artinya secara itelektual dan akademis, pendirian sekaligus pemikiran Hatta menjadi sangat penting untuk digali kembali dalam keperluan memperkuat dimensi-etis kekuasaan.
Dalam kebutuhan Indonesia saat ini, menghadapi Pemilu Serentak 2019 mendatang, di mana akal sehat mulai ditinggalkan, masyarakat kemudian dihadap-hadapkan pada pilihan menjadi bagian dari koalisi atau oposisi dengan “perang” isu yang tidak lagi sehat, maka refleksi pemikiran Hatta menjadi mendesak untuk dilakukan. Setidaknya, dapat menjadi alarm pengingat kita bersama bahwa “kalau tidak bersaudara karena agama, kita bersaudara sebagai sebuah bangsa”.
(whb)