Menafsir 212

Senin, 03 Desember 2018 - 09:00 WIB
Menafsir 212
Menafsir 212
A A A
Rio Christiawan

Dosen Hukum Universitas Prasetiya Mulya

BELAKANGAN ini tensi politik di Tanah Air semakin meningkat, arah kampanye yang dikembangkan mulai ke arah yang tidak sehat, yakni kampanye emosional dengan menggunakan media hoaks, politik dentitas, dan politisasi agama.

Hal-hal semacam ini bisa dipahami sebagai bagian dari politik praktis, khususnya pada kontestasi Pemilu Presiden (Pilpres) 2019. Satu hal yang harus dibangun oleh masing-masing kubu yakni kesadaran menjaga keutuhan NKRI. Kini, banyak pihak menggunakan momentum 212 untuk kepentingan politik. Padahal, sesungguhnya gerakan 212 adalah gerakan keagamaan, yang kala itu berbarengan dengan Pilkada DKI Jakarta 2017.

Kini, banyak pihak ingin bernostalgia dan merasakan dejavu untuk menggerakkan 212 pada tujuan pragmatis, yakni politik praktis khususnya penyelenggaraan Pilpres 2019. Bukti bahwa 212 adalah gerakan keagamaan adalah seluruh tokoh bangsa Indonesia kala itu terlibat dalam aksi kebangsaan ini dan kini para penggagas aksi 212 tersebut terdistribusi kekedua pihak yang akan mengambil bagian dalam kontestasi Pilpres 2019. Hal tersebut menunjukkan bahwa sebenarnya 212 bukan gerakan militan untuk tujuan politik kelompok tertentu, tetapi 212 merupakan forum untuk menggagas berbagai persoalan kebangsaan dengan tetap menjaga NKRI.

Jika ada pihak-pihak yang menempatkan 212 sebagai bentuk dejavu dengan perspektif politik praktis untuk menempatkan bangsa ini saling berhadapan maka sesungguhnya perspektif tersebut keliru. Gerakan 212 akan lebih efektif jika berorientasi pada diseminasi politik teduh dalam proses berdemokrasi sehingga demokrasi benar-benar menjadi pesta bagi seluruh rakyat Indonesia. Sejalan dengan pendapat Charter (1977) bahwa politik yang baik akan ditandai dengan gerakan yang mengawal penyelenggaraan demokrasi dengan berorientasi pada kebaikan sebanyak mungkin masyarakat yang diperjuangkan.

Kini, momentum 212 yang memiliki kesan yang mendalam bagi seluruh rakyat Indonesia akan sangat bermanfaat bagi bangsa ini jika dipergunakan sebagai sarana rekonsiliasi nasional menuju Pilpres 2019. Bang sa ini tidak perlu resisten dengan gerakan 212, sebaliknya justru dengan reorientasi arah 212 mengawal Pilpres 2019 dengan politik teduh akan menjaga keutuhan NKRI di tengah gempuran berbagai isu yang berpotensi memecah belah bangsa Indonesia sebagai akibat dari kontestasi pilpres.

Semiotika 212 = Pancasila
Membaca gerakan 212 sebagai sebuah gerakan ke agamaan yang mengalami reorientasi menjelang Pilpres 2019 dapat dipahami dari pandangan, sikap, dan tujuan politik para penggagasnya. Secara semiotis tampak bahwa 212 telah mengalami reorientasi jika dibandingkan dengan 2017 lalu. Tahun lalu, baik secara simbol maupun narasi, tampak bahwa gerakan 212 pada awalnya merupakan gerakan keagamaan yang didedikasikan sebagai bagian dari proses politik praktis, yakni Pilkada DKI 2017, meskipun pada akhirnya gerakan tersebut mengalami moderasi yang mengubah arah orientasi gerakan 212 menuju pada orientasi yang lebih luas. Mochtar Kusumaatmadja (1990) menyampaikan bahw wawasan kebangsaan berorientasi pada nilai-nilai Pancasila akan dapat diimplementasikan bila bangsa Indonesia memiliki gerakan-gerakan militan sebagai diseminasi nilai-nilai Pancasila.

Gerakan 212 yang kini telah meng alami reorientasi pada gerakan kebangsaan dapat dibaca secara semiotis sebagai gerakan kebangsaan yang berorientasi pada Pancasila. Reorientasi ini harus mengesam pingkan sisi historis gerakan 212 (baca: 2 Desember) dan menggantinya dengan narasi semiotis, yakni 212 (dibaca sebagai lima sila dalam Pancasila). Reframing 212 dengan narasi semiotis akan mengoptimalkan tujuan reorientasi gerakan 212 dalam menjaga keutuhan NKRI. Reframing 212 dengan narasi semiotis untuk menggantikan narasi historis dari 212 juga dapat merangkul seluruh komponen bangsa Indonesia, mengingat narasi historis masih menyisakan resistensi pada sebagian masyarakat.

Gerakan 212 kini idealnya diarahkan guna menjadi wadah perjuangan untuk mengawal demokrasi dengan politik teduh dan mendasarkan pada nilai-nilai luhur yang ada pada bangsa Indonesia sebagaimana tergambar dalam kelima sila Pancasila. Huntington (1988) menyatakan bahwa wadah perjuangan kolekti f akan menjadi antitesis bagi po litik praktis individualis yang berpotensi memecah bangsa.

Kesejahteraan kolektif dan semangat kebangsaan berlandas kan Pancasila, kini harus digunakan sebagai platform gerakan 212, idealnya harus berorien tasi pada nilai-nilai luhur hidup bersama diimplementasikan dalam perilaku solidaritas nasional. Pada akhirnya perilaku solidaritas nasional akan membentuk soliditas masyarakat. Solidaritas dan soliditas bangsa adalah antitesis dari egosentris politik praktis yang menyebabkan perpecahan bangsa. 212 Berbasis Pancasila Gerakan 212 sudah seharusnya bertransformasi secara kontekstual menyesuaikan dengan agenda demokrasi.

Oleh sebab itu, 212 akan sesuai dengan plat form reorientasinya jika bukan sebagai gerakan sayap oposisi, tidak juga sebagai bagian dari politik praktis, namun kini ideal nya 212 diposisikan dan memo si sikan diri sebagai agen diseminasi per satuan bangsa berdasarkan nilai-nilai luhur Pancasila. Dengan demi kian, sudah tentu agenda 212 tidak diarahkan pada agenda sempit dengan ‘mem bangun dejavu politik’.

Jika 212 bertujuan untuk kebaikan bangsa Indonesia, sudah tentu 212 akan mengimple mentasikan nilai-nilai luhur Pancasila. Perjuangan bangsa Indonesia tidak akan pernah sempurna tanpa Pancasila sebagaimana mengutip pidato Presiden Soe kar no 1 Juni 1945 yang berjudul “Lahirnya Pancasila”,”... Mudah-mudahan lahirnya Pancasila ini dapat dijadikan pedoman oleh nusa dan bangsa kita seluruhnya dalam usaha menyempurna kan kemerdekaan negara”.

Kini, hendaknya 212 dapat membuktikan diri sebagai agen politik teduh di tengah kampanye emosional menyambut gelaran pileg dan pilpres 2019 bukan justru mengambil bagian dalam gelaran tahun politik dan menyulut tensi politik. Secara semiotis 212 harus diarahkan pada implementasi Pancasila dan Bhineka Tunggal Ika, dalam hal ini peran 212 sebagai media diseminasi politik teduh untuk menjaga keutuhan NKRI dapat tercapai.

Dengan demikian, maka 212 tidak mengalami resistensi dari masyarakat dan 212 tidak melawan resistensi sebagian masyarakat tersebut sehingga tercipta politik teduh. Dengan ter capainya politik teduh maka seluruh elemen bangsa dapat ber satu menjaga indahnya demokrasi di tengah perbedaan dengan mewujudkan politik teduh berbasis nilai-nilai luhur Pancasila.

Jika 212 dimaknai sebagai diseminasi politik teduh, tentu arah dari 212 adalah per juangan yang produktif bagi seluruh bangsa ini. Namun, jika 212 masih terjebak pada politik praktis, khususnya pada upaya membangun dejavu politik secara militan, maka justru 212 akan mendapat resistensi dari elemen masyarakat dan pada akhirnya akan kembali timbul resistensi pada 212. Paling penting kini adalah bagaimana 212 dapat menjadi inisiator demokrasi teduh dan damai dan tetap men jaga Pan casila dan Bhineka Tung gal Ika sehingga 212 memiliki kontribusi yang besar bagi demokrasi bangsa Indonesia de ngan mengembalikan hakikat demokrasi sebagai pesta seluruh rakyat Indonesia tanpa terkecuali.
(wib)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.8124 seconds (0.1#10.140)