Ketika Hakim Disandera Suap
A
A
A
Lasarus Jehamat
Dosen Sosiologi Fisip Universitas Nusa Cendana Kupang
WAJAH hukum Indonesia kembali tercoreng. Kasus Operasi Tangkap Tangan (OTT) oknum hakim di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan cukup menunjukkan hukum dan hakim kita jauh dari integritas. Untuk kesekian kalinya, hakim menjadi momok bagi pemberantasan korupsi di negara ini (Koran Sindo, 29/11/2018).
Dalam OTT itu, KPK mengamankan uang sekitar 45.000 dolar Singapura. Gaji dan fasilitas negara yang diberikan kepada para hakim rupanya belum cukup. Mereka masih sibuk mencuri uang negara dengan berbagai cara.
Merilis data Komisi Yudisial (2017), media ini memberitakan, kasus suap paling mendominasi pelanggaran hakim, yakni 42,2%, disusul perselingkuhan 28,9% indisipliner 11,1%, narkoba 6,7%, memainkan putusan 4,4%, dan lainnya 6,7% (Komisi Yudisial, 2017). Maka, Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 94 Tahun 2012 tentang Hak Keuangan dan Fasilitas Hakim yang Berada di Bawah Mahkamah Agung gagal menertibkan perilaku hakim.
Ketika penegak hukum kerap melanggar hukum, roh hukum tidak saja hilang, tetapi mati. Dengan demikian, mengharapkan penegak hukum memperbaiki sistem hukum dan politik yang korup menjadi utopia.
Berkaitan dengan itu, beragam analisis tentang sebab korupsi terus muncul. Membaca gaji dan tunjangan hakim di PP 94/2012, soal utama korupsi rupanya bukan di gaji. Perkaranya bukan di perut. Hemat saya, perilaku buruk hakim hanya dapat dijelaskan sejauh memahami tindakan generatif Bourdieu (1972). Bahwa perilaku korup terjadi karena habitus, modal, dan ranah.
Data di atas minimal bermakna sebagai berikut. Pertama, korupsi di negara ini sudah menjadi kebiasaan. Korupsi bahkan telah menjadi gaya hidup. Pernyataan "jika belum melakukan korupsi berarti bukan pejabat negara" mendapat kepenuhan di sini.
Kedua, korupsi di Indonesia sangat komplikatif. Dari segi aktor, korupsi memiliki struktur, mulai dari pribadi hingga lembaga. Dari aspek sistem, korupsi menyusup dari individu hingga ke lembaga. Dari aspek motif, korupsi dilakukan untuk memenuhi nafsu rakus keinginan pribadi sampai hingga melayani kebutuhan lembaga tertentu.
Ketiga, dalam batas tertentu, korupsi memang sengaja dipelihara untuk beberapa tujuan. Selain untuk memperlancar beragam urusan, korupsi tetap dibiarkan untuk alasan daya beli. Dengan demikian, aspek fungsionalitas dan permisivitas korupsi tampak jelas di sini.
Gugatan krusialnya, bagaimana memahami korupsi yang justru dilakukan oleh penegak hukum? Di situ, kejahatan terhadap negara dan kejahatan luar biasa (extra ordinary crime ) harus disebut.
Kejahatan terhadap Negara
Green dan Ward (2004) menyebut korupsi yang melibatkan elite politik, pejabat negara, dan elite kekuasaan sebagai bentuk kejahatan terhadap negara. Di sana, elite kekuasaan menggunakan organisasi sebagai tameng untuk melakukan tindakan korupsi. Suap-menyuap dalam proses pengambilan kebijakan strategis yang melibatkan eksekutif dan legislatif merupakan varian penting motif korupsi.
Dengan begitu, korupsi dapat dipakai sebagai alat untuk tujuan organisasi, melayani tujuan organisasi, dan mengejar keuntungan melalui korupsi untuk tujuan organisasi. Menurut studi ekonomi politik, korupsi dijalankan untuk tiga tujuan organisasi; sebagai alat, sebagai pelayan, dan sebagai mekanisme mencari keuntungan organisasi.
Realitas korupsi yang melibatkan penegak hukum, aktor negara, elite politik, elite kekuasaan dan partai politik menunjukkan bahwa korupsi memang dilakukan secara sistematis. Menurut Andrei, Roca dan Matei (2009), korupsi yang dilakukan oleh beberapa aktor di atas dengan sistem yang sistematis masuk kategori kekerasan negara terhadap masyarakat.
Fakta menunjukkan, sebagian besar pelaku korupsi di Indonesia adalah mereka yang memegang kekuasaan; pejabat eksekutif, legislatif, dan yudikatif. Kalau bukan elite korporat, mereka adalah pengambil kebijakan penting ekonomi, politik, dan hukum di Republik ini. Karena itu, beragam pendekatan moral dan etis dianggap tidak cocok alias gagal dalam memerangi korupsi.
Sebab, jika pengetahuan dan pendidikan dianggap sebagai kecerdasan seseorang, minimal mereka itu tidak akan melakukan tindakan korupsi. Sebab, semenjak mengikuti pendidikan di berbagai tingkatan, mereka telah memperoleh ilmu etika dan moral. Idealnya, ketika menjadi pemimpin, itulah saat di mana mereka mempraktikkan beragam nilai etika dan moralitas.
Faktanya lain. Semakin tinggi pendidikan seseorang, semakin besar pula ruang dan peluang melakukan tindakan korupsi. Sebuah ironisme peradaban tampak dengan amat vulgar di sana. Karena sifat demikian, korupsi tidak pula diselesaikan hanya dengan pendekatan hukum yuridis.
Intervensi Sistemik
Berdasarkan penyebaran dan intensitas korupsi, pemberantasan korupsi di Indonesia memang harus dilakukan melalui cara-cara luar biasa. Pertama , korupsi memang harus dianggap sebagai kejahatan luar biasa dan bukan kejahatan biasa. Karena kejahatan luar biasa, hukumannya pun harus luar biasa. Maka, hukuman maksimal seumur hidup dengan mencabut semua hak politik bisa dijadikan jalan keluar di sana jika korupsi dilakukan oleh penegak hukum.
Faktanya, pendekatan demi pendekatan berujung pada semakin maraknya tindakan korupsi yang dilakukan oleh pejabat negara. Dalam kerangka itu, pakta integritas menjadi hal urgen yang perlu disebut di sini. Dalam standar bahasa pakta integritas, harus pula disertakan bahwa pemimpin yang melakukan korupsi harus siap menerima hukuman seumur hidup berikut pencabutan beberapa hak yang melekat pada individu yang bersangkutan. Pakta integritas itu harus ditandatangani terutama oleh semua penegak hukum.
Model ini disebut sebagai intervensi sistemik. Intervensi sistemik mengandaikan adanya perubahan sistem hukum dan sistem politik. Seperti disebut pada bagian pertama di atas, hukuman seumur hidup dan ekskomunikasi sosial bisa dijadikan pola sistemik dalam memberantas korupsi. Langkah ini diambil dengan beragam pertimbangan politik di dalamnya. Intervensi sistemik dalam dua aspek itu, hukum dan politik, harus saling mendukung dan saling menopang.
Kedua, hukuman sosial bisa berjalan selama masyarakat melepaskan tabiat permisivitas terhadap perilaku korupsi. Masalahnya, saat ini, masyarakat justru membiarkan perilaku buruk ini terus terjadi. Gejala pemberian suap untuk tujuan memperlancar berbagai urusan administrasi menjadi bukti nyata realitas permisivitas itu.
Ketiga, hukuman adat dan budaya. Hemat saya, setiap mereka yang melakukan tindakan korupsi tentu berasal dari masyarakat budaya tertentu. Tentu ada model penyelesaian adat dalam setiap penyelesaian masalah termasuk pencurian.
Karena itu, ornamen adat harus disertakan dalam proses pemberantasan korupsi. Membeli satu karung beras dan seekor kerbau putih mungkin bukan masalah bagi koruptor. Menjadi soal ketika beras dan kerbau putih disebut dan menjadi salah satu syarat rekonsiliasi atas korupsi yang dilakukannya tanpa menghilangkan perilaku korupsinya itu secara yuridis.
Dosen Sosiologi Fisip Universitas Nusa Cendana Kupang
WAJAH hukum Indonesia kembali tercoreng. Kasus Operasi Tangkap Tangan (OTT) oknum hakim di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan cukup menunjukkan hukum dan hakim kita jauh dari integritas. Untuk kesekian kalinya, hakim menjadi momok bagi pemberantasan korupsi di negara ini (Koran Sindo, 29/11/2018).
Dalam OTT itu, KPK mengamankan uang sekitar 45.000 dolar Singapura. Gaji dan fasilitas negara yang diberikan kepada para hakim rupanya belum cukup. Mereka masih sibuk mencuri uang negara dengan berbagai cara.
Merilis data Komisi Yudisial (2017), media ini memberitakan, kasus suap paling mendominasi pelanggaran hakim, yakni 42,2%, disusul perselingkuhan 28,9% indisipliner 11,1%, narkoba 6,7%, memainkan putusan 4,4%, dan lainnya 6,7% (Komisi Yudisial, 2017). Maka, Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 94 Tahun 2012 tentang Hak Keuangan dan Fasilitas Hakim yang Berada di Bawah Mahkamah Agung gagal menertibkan perilaku hakim.
Ketika penegak hukum kerap melanggar hukum, roh hukum tidak saja hilang, tetapi mati. Dengan demikian, mengharapkan penegak hukum memperbaiki sistem hukum dan politik yang korup menjadi utopia.
Berkaitan dengan itu, beragam analisis tentang sebab korupsi terus muncul. Membaca gaji dan tunjangan hakim di PP 94/2012, soal utama korupsi rupanya bukan di gaji. Perkaranya bukan di perut. Hemat saya, perilaku buruk hakim hanya dapat dijelaskan sejauh memahami tindakan generatif Bourdieu (1972). Bahwa perilaku korup terjadi karena habitus, modal, dan ranah.
Data di atas minimal bermakna sebagai berikut. Pertama, korupsi di negara ini sudah menjadi kebiasaan. Korupsi bahkan telah menjadi gaya hidup. Pernyataan "jika belum melakukan korupsi berarti bukan pejabat negara" mendapat kepenuhan di sini.
Kedua, korupsi di Indonesia sangat komplikatif. Dari segi aktor, korupsi memiliki struktur, mulai dari pribadi hingga lembaga. Dari aspek sistem, korupsi menyusup dari individu hingga ke lembaga. Dari aspek motif, korupsi dilakukan untuk memenuhi nafsu rakus keinginan pribadi sampai hingga melayani kebutuhan lembaga tertentu.
Ketiga, dalam batas tertentu, korupsi memang sengaja dipelihara untuk beberapa tujuan. Selain untuk memperlancar beragam urusan, korupsi tetap dibiarkan untuk alasan daya beli. Dengan demikian, aspek fungsionalitas dan permisivitas korupsi tampak jelas di sini.
Gugatan krusialnya, bagaimana memahami korupsi yang justru dilakukan oleh penegak hukum? Di situ, kejahatan terhadap negara dan kejahatan luar biasa (extra ordinary crime ) harus disebut.
Kejahatan terhadap Negara
Green dan Ward (2004) menyebut korupsi yang melibatkan elite politik, pejabat negara, dan elite kekuasaan sebagai bentuk kejahatan terhadap negara. Di sana, elite kekuasaan menggunakan organisasi sebagai tameng untuk melakukan tindakan korupsi. Suap-menyuap dalam proses pengambilan kebijakan strategis yang melibatkan eksekutif dan legislatif merupakan varian penting motif korupsi.
Dengan begitu, korupsi dapat dipakai sebagai alat untuk tujuan organisasi, melayani tujuan organisasi, dan mengejar keuntungan melalui korupsi untuk tujuan organisasi. Menurut studi ekonomi politik, korupsi dijalankan untuk tiga tujuan organisasi; sebagai alat, sebagai pelayan, dan sebagai mekanisme mencari keuntungan organisasi.
Realitas korupsi yang melibatkan penegak hukum, aktor negara, elite politik, elite kekuasaan dan partai politik menunjukkan bahwa korupsi memang dilakukan secara sistematis. Menurut Andrei, Roca dan Matei (2009), korupsi yang dilakukan oleh beberapa aktor di atas dengan sistem yang sistematis masuk kategori kekerasan negara terhadap masyarakat.
Fakta menunjukkan, sebagian besar pelaku korupsi di Indonesia adalah mereka yang memegang kekuasaan; pejabat eksekutif, legislatif, dan yudikatif. Kalau bukan elite korporat, mereka adalah pengambil kebijakan penting ekonomi, politik, dan hukum di Republik ini. Karena itu, beragam pendekatan moral dan etis dianggap tidak cocok alias gagal dalam memerangi korupsi.
Sebab, jika pengetahuan dan pendidikan dianggap sebagai kecerdasan seseorang, minimal mereka itu tidak akan melakukan tindakan korupsi. Sebab, semenjak mengikuti pendidikan di berbagai tingkatan, mereka telah memperoleh ilmu etika dan moral. Idealnya, ketika menjadi pemimpin, itulah saat di mana mereka mempraktikkan beragam nilai etika dan moralitas.
Faktanya lain. Semakin tinggi pendidikan seseorang, semakin besar pula ruang dan peluang melakukan tindakan korupsi. Sebuah ironisme peradaban tampak dengan amat vulgar di sana. Karena sifat demikian, korupsi tidak pula diselesaikan hanya dengan pendekatan hukum yuridis.
Intervensi Sistemik
Berdasarkan penyebaran dan intensitas korupsi, pemberantasan korupsi di Indonesia memang harus dilakukan melalui cara-cara luar biasa. Pertama , korupsi memang harus dianggap sebagai kejahatan luar biasa dan bukan kejahatan biasa. Karena kejahatan luar biasa, hukumannya pun harus luar biasa. Maka, hukuman maksimal seumur hidup dengan mencabut semua hak politik bisa dijadikan jalan keluar di sana jika korupsi dilakukan oleh penegak hukum.
Faktanya, pendekatan demi pendekatan berujung pada semakin maraknya tindakan korupsi yang dilakukan oleh pejabat negara. Dalam kerangka itu, pakta integritas menjadi hal urgen yang perlu disebut di sini. Dalam standar bahasa pakta integritas, harus pula disertakan bahwa pemimpin yang melakukan korupsi harus siap menerima hukuman seumur hidup berikut pencabutan beberapa hak yang melekat pada individu yang bersangkutan. Pakta integritas itu harus ditandatangani terutama oleh semua penegak hukum.
Model ini disebut sebagai intervensi sistemik. Intervensi sistemik mengandaikan adanya perubahan sistem hukum dan sistem politik. Seperti disebut pada bagian pertama di atas, hukuman seumur hidup dan ekskomunikasi sosial bisa dijadikan pola sistemik dalam memberantas korupsi. Langkah ini diambil dengan beragam pertimbangan politik di dalamnya. Intervensi sistemik dalam dua aspek itu, hukum dan politik, harus saling mendukung dan saling menopang.
Kedua, hukuman sosial bisa berjalan selama masyarakat melepaskan tabiat permisivitas terhadap perilaku korupsi. Masalahnya, saat ini, masyarakat justru membiarkan perilaku buruk ini terus terjadi. Gejala pemberian suap untuk tujuan memperlancar berbagai urusan administrasi menjadi bukti nyata realitas permisivitas itu.
Ketiga, hukuman adat dan budaya. Hemat saya, setiap mereka yang melakukan tindakan korupsi tentu berasal dari masyarakat budaya tertentu. Tentu ada model penyelesaian adat dalam setiap penyelesaian masalah termasuk pencurian.
Karena itu, ornamen adat harus disertakan dalam proses pemberantasan korupsi. Membeli satu karung beras dan seekor kerbau putih mungkin bukan masalah bagi koruptor. Menjadi soal ketika beras dan kerbau putih disebut dan menjadi salah satu syarat rekonsiliasi atas korupsi yang dilakukannya tanpa menghilangkan perilaku korupsinya itu secara yuridis.
(wib)