Eksaminasi Putusan Hakim Dalam Perkara Irman Gusman

Rabu, 28 November 2018 - 08:35 WIB
Eksaminasi Putusan Hakim Dalam Perkara Irman Gusman
Eksaminasi Putusan Hakim Dalam Perkara Irman Gusman
A A A
Nur Adhim
Mantan Hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, Pengajar di Fakultas Hukum Universitas Diponegoro

ANOTASI putusan merupakan catatan atas putusan pengadilan dikarenakan beberapa sebab antara lain jika kasus yang terjadi sudah menjadi perhatian luas masyarakat karena dianggap jauh dari rasa keadilan, atau yang mengundang perdebatan di kalangan hukum, serta yang mempunyai nilai tinggi bagi pembelajaran hukum dalam mengembangkan legal reasoning.

Suatu kasus layak diberikan anotasi maupun eksaminasi manakala dinilai sangat kontroversial dilihat dari segi penerapan hukum, baik hukum acara maupun hukum materiilnya dan dianggap bertentangan dengan rasa keadilan masyarakat. Bisa juga karena terdapat banyak kejanggalan dalam proses peradilan kasus tersebut, atau kasus tersebut mempunyai dampak sosial yang tinggi bagi masyarakat, baik langsung maupun tidak langsung, termasuk bagi yang bersangkutan. Karena itu, anotasi maupun eksaminasi putusan harus dilakukan oleh ahli dan profesional di bidangnya.

Menurut penulis, selaku mantan hakim ad hoc tipikor, kasus pidana tipikor atas nama Irman Gusman selaku ketua DPD RI (waktu itu) yang sudah berkekuatan hukum tetap (BHT), inkracht van gewijsde, ini termasuk yang memenuhi kriteria tersebut. Putusan hakim tetap dianggap sah menurut hukum meskipun barangkali ada dugaan tidak benar, tidak fair, atau ada kekhilafan hakim. Hal ini sesuai asas hukum res judicata veritate habetuur (putusan hakim dianggap benar), dan yang bisa membatalkan putusan adalah pengadilan di atasnya melalui upaya hukum banding, kasasi, atau peninjauan kembali (PK).

Ada empat alasan mengapa penulis memandang perlu untuk memberikan eksaminasi tehadap putusan perkara Irman Gusman ini yaitu: Pertama, kasus tersebut sangat menarik dari sisi subjek pelaku yang merupakan pejabat tinggi negara yang saat itu terdakwa sebagai ketua DPD RI sehingga menjadi perhatian publik, baik para ahli hukum, praktisi hukum, pengamat hukum, maupun masyarakat luas.

Kedua, tetapi substansi perkara secara objektif tidak begitu signifikan, baik dari sisi jumlah maupun asal uang yang sebesar Rp100 juta yang berasal dari uang pribadi penyuap, maupun spektrum dari materi peristiwa sendiri yang berupa permasalahan alokasi pembelian gula dari Bulog.

Ketiga, dari sisi energi semangat pemberantasan korupsi, kasus ini relatif ringan dengan sifat kejahatan yang tidak masif, jauh dari sifat extraordinary crimedibandingkan dengan kasus korupsi yang lain yang merugikan keuangan negara yang jauh lebih besar dan sepak terjang pelakunya yang umumnya patut diduga sebagai “pemain”. Keempat, ada kesan di dalam masyarakat bahwa dalam kasus mantan Ketua DPD RI Irman Gusman ini nuansa sosial-politik lebih signifikan daripada problem hukumnya.

Eksaminasi atau anotasi terhadap putusan pengadilan itu diperbolehkan manakala putusan itu sudah berkekuatan hukum tetap (BHT) sehingga tidak ada saling memengaruhi di dalam proses pengadilan. Eksaminasi ini bisa menjadi bahan untuk kajian pemerhati hukum, praktisi hukum, bahkan juga oleh pembelajar hukum, baik mahasiswa S-1, S-2, maupun S-3.Karena itu, eksaminasi ini harus dilakukan oleh orang-orang yang profesional di bidangnya dan oleh para akademisi.

Irman Gusman dihukum atas tuduhan menerima pemberian atau hadiah dari seorang saudagar gula dari Sumatera Barat sejumlah Rp100 juta. Sebetulnya pemberian ini kan awalnya selalu positif. Bahwa saya memberi sesuatu kepada orang lain itu selalu positif. Kalau bahasa agamanya itu kan sedekah, hadiah, itu positif. Orang diberi hadiah karena punya prestasi. Awalnya seperti itu. Jadi, tidak setiap pemberian atau hadiah itu serta-merta menjadi salah, asal tidak ada pelanggaran hukum. Kalau saya memberi hadiah kepada seseorang, tapi barangnya tidak halal, itu jelas melanggar hukum.

Saat ini kuasa hukum Irman Gusman sedang mengajukan peninjauan kembali (PK). Alasan-alasan PK itu apa? Bisa karena ada novum baru, bisa karena ada kekhilafan hakim, bisa juga karena salah penerapan hukum. Ini tidak harus tiga-tiganya, bisa salah satunya saja, apalagi ada tiga-tiganya.

Sebagai mantan hakim, saya melihat bahwa di dalam putusan itu ada kekuranghati-hatian dan kekurangjelian dari hakim dalam memilih dakwaan mana yang terbukti. Karena, di dalam tindak pidana korupsi itu tidak ada dakwaan tunggal, semuanya komulatif—bisa subsidaritas, bisa alternatif, bisa subsidaritas dan alternatif dikumulasikan.

Di sana didakwakan Pasal 11 dan Pasal 12 huruf b UU Tipikor. Sebagai hakim, untuk memilih alternatif mana yang tepat, itu kalau saya, ini pengalaman saya, untuk bisa meyakinkan orang agar mereka bisa menerima, maka hakim tidak sekadar memilih.

Sebelum memilih, kita buka dulu unsur-unsur apa dari pasal-pasal yang didakwakan, esensinya apa, kemudian kita jelaskan, berikan reasoning-nya, lalu kita kaitkan dengan fakta dominan yang ada, kemudian baru kita tentukan, yang lebih dekat itu yang mana? Setelah itu baru kita buktikan semua unsurnya. Itu akan lebih memuaskan bagi pencari keadilan.

Karena dakwaan disusun secara alternatif, maka penuntut umum memilih dakwaan alternatif pertama ini sebagai dasar untuk mengajukan tuntutan pidananya kepada terdakwa dengan memohon kepada majelis hakim agar menyatakan Irman Gusman bersalah melakukan tindak pidana korupsi.

Majelis hakim akhirnya memutuskan menyatakan Irman Gusman bersalah melakukan “tindak pidana korupsi” dan menjatuhkan pidana empat tahun enam bulan dan pidana denda sebesar Rp200 juta dengan ketentuan apabila terdakwa tidak membayar denda tersebut diganti dengan pidana kurungan selama tiga bulan. Kemudian, pengadilan juga menjatuhkan hukuman tambahan pada Irman Gusman berupa pencabutan hak untuk dipilih dalam jabatan publik selama tiga tahun setelah ia selesai menjalani pidana pokok.

Menurut penulis sebagai annotator, ditinjau dari susunan dan bentuk putusan, maka putusan tersebut telah memenuhi ketentuan yang berlaku khususnya KUHAP sehingga telah memenuhi syarat formal sebagai putusan pengadilan yang sah dan patut dipatuhi semua pihak. Namun, bagaimana pertimbangan hukum dari majelis hakim yang merupakan “mahkota” dari suatu putusan hakim perlu dilihat lebih lanjut.

Dalam putusan ini terkesan bahwa majelis hakim hanya mengikuti pemikiran JPU dalam membuktikan dakwaan yang terbukti sebagaimana dalam pertimbangan hukum dalam putusan halaman 216-217.Di sini majelis hakim langsung membuktikan unsur-unsur dalam dakwaan pertama sebagaimana kelaziman pembuktian bentuk dakwaan yang berbentuk subsidaritas, tanpa reasoninghukum dan alasan yang jelas mengapa langsung memilih membuktikan dakwaan pertama.

Seharusnya majelis hakim menyebutkan terlebih dahulu unsur-unsur yang ada dalam kedua dakwaan, kemudian memberikan penjelasan dan pertimbangan terhadap esensi unsur dari masing-masing dakwaan tersebut. Setelah mengonstatir dengan inti fakta dan peristiwa, lalu mengualifisir dengan menghubungkan keduanya, mana yang lebih dekat untuk dibuktikan.

Setelah itu baru dipilih dakwaan mana yang lebih dekat, lebih cocok, dan lebih reasonabledengan kejadian dan peristiwa sesuai fakta yang terungkap di persidangan. Baru kemudian dibuktikan setiap unsur dari dakwaan yang telah dipilih sehingga memilih dakwaan alternatif benar-benar ada reasoning yang bisa dipertanggungjawabkan, dan sekaligus menepis adanya kesan bahwa majelis hakim hanya mengikuti alur pikir dan kehendak jaksa penuntut umum.

Dengan demikian, menurut annotator, bahwa majelis hakim kurang tepat dalam cara memilih dan menentukan alternatif dakwaan yang harus dibuktikan. Karena kurang memberikan pertimbangan yang rasional dalam memilih dakwaan alternatif yang diajukan penuntut umum, di sini terlihat rancu dengan pembuktian dakwaan subsidaritas yang memang harus dibuktikan dakwaan primer terlebih dahulu. Baru bila tidak terbukti, akan dibuktikan dakwaan yang subsidair; bila tidak terbukti, maka akan dibuktikan dakwaan yang lebih subsidair lagi.

Dalam menjatuhkan pidana terhadap terdakwa, hakim wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat sebagaimana diperintahkan Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman.

Ketika memutus perkara, hakim dituntut senantiasa menjunjung tinggi nilai-nilai kebenaran, keadilan, dan kemandirian karena tanpa nilai-nilai itu, maka profesionalisme hakim menjadi bernuansa materialistis dan pragmatis, bukan bernuansa penjaga dan penegak keadilan bagi masyarakat.

Menurut penulis sebagai annotator, dalam putusan tersebut telah didengar keterangan sejumlah 12 saksi, terdiri atas 10orang saksi fakta, satu orang saksi a de charge, dan satu orang saksi ahli. Namun, di akhir pemeriksaan setiap saksi, majelis hakim tidak pernah mengklarifikasi bagaimana kebenaran dan kualitas keterangan para saksi tersebut kepada terdakwa, padahal ketika pemeriksaan dari para saksi tersebut terdakwa selalu hadir serta setiap keterangan saksi tersebut disimak oleh terdakwa.

Inilah salah satu bentuk kurang egaliternya majelis hakim dalam menghormati terdakwa yang bukan semata-mata objek, tetapi subjek yang harus dihormati secara baik sebagai hamba Allah dan khalifatullah, apalagi terdakwa punya kedudukan pejabat tinggi yang diperoleh karena mendapat kepercayaan dari rakyat, dipilih rakyat, dan bukan semata-mata ditunjuk.

Penegakan hukum akan lebih bermakna apabila ihwal sebagaimana disebutkan di atas, meskipun nonyuridis, penting dijadikan juga sebagai dasar oleh hakim sebagai pertimbangan dalam menjatuhkan berat/ringannya pidana yang akan dijatuhkan. Untuk itu, seorang hakim kadang harus berpikir dan bersikap out of the box selama masih dalam koridor yang bisa dipertanggungjawabkan secara ilmu maupun etika.
(thm)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.6052 seconds (0.1#10.140)