Politik, Guru, dan Pilpres 2019
A
A
A
Rakhmat Hidayat Pengajar Prodi Sosiologi Universitas Negeri Jakarta (UNJ)
MEMPERINGATI Hari Guru Nasional, 25 November 2018, tiba-tiba kita diriuhkan dengan wacana usulan kenaikan gaji guru mencapai Rp20 juta. Awalnya ini usulan pribadi dari politikus PKS yang juga juru bicara calon presiden dan calon wakil presiden Prabowo Subianto-Sandiaga Uno, kemudian direspons Prabowo dan lantas berkembang serta mendapatkan tanggapan dari tim sukses Jokowi-Ma’ruf Amin. Tak pelak ini menjadi isu publik.Membincangkan guru tak sekadar berbicara gaji/penghasilan meskipun itu adalah hal yang tidak kalah penting bagi kehidupan guru. Di satu sisi membincangkan guru pada sekadar gaji an sich merupakan simplifikasi permasalahan guru. Kita dihadapkan dengan berbagai masalah dan tantangan yang dihadapi guru. Perbincangan dan diskusi tentang guru harusnya ditempatkan lebih substansial dan strategis sebagai bagian dari pengelolaan republik ini.Meski masih jauh dari proses kampanye gagasan, rasanya diskusi tentang guru dan visi pendidikan pasangan capres belum tampak. Publik diriuhkan dengan isu-isu yang instan, defisit substansial, dan miskin perdebatan. Yang ada adalah debat kusir, adu diksi yang tak berkesudahan, adu puisi yang semuanya menegasikan kontestasi gagasan dan visi pendidikan yang mereka usung. Publik perlu memahami dan mendiskusikan apa gagasan dan tawaran pemikiran pendidikan para pasangan capres itu. Kita perlu membuka ruang dialog dan diskusi untuk menguji visi dan gagasan pendidikan mereka.
Momentum
Peringatan Hari Guru Nasional mesti kita tempatkan sebagai momentum untuk meramaikan diskursus guru dan pendidikan sejalan dengan kontestasi Pilpres 2019. Ada beberapa alasan yang mendukung ini. (1) Pilpres 2019 harus dibangun atas diskursus, gagasan, dan visi membangun Indonesia ke depan. Tidak terjebak pada praktik politik yang miskin substansi dan justru membodohi rakyatnya dengan berbagai strategi pencitraannya.Isu pendidikan harus ditempatkan sebagai pintu masuk dalam tata kelola republik ini terkait dengan pembangunan sumber daya manusia. Energi republik ini harus didorong untuk memastikan arah dan prospek cetak biru pendidikan dan khususnya guru di Indonesia. Mau dibawa ke mana dan bagaimana guru-guru Indonesia di era digital ini? (2) Diskursus pendidikan mencakup ranah yang makro.
Dia terkait dengan sumber daya manusia dan anggaran yang mengatur masa depan republik ini. Artinya mengelola pendidikan dengan baik adalah refleksi dari masa depan Indonesia. Di pendidikan, kita membicarakan guru, kurikulum, sarana-prasarana hingga hak dan akses pemerataan pendidikan.Mari kita telaah dengan saksama tawaran dan gagasan pendidikan kedua pasangan capres berdasarkan dokumen resmi yang diserahkan ke KPU. Pasangan Jokowi-Ma’ruf Amin mengusung sembilan misi sebagai terjemahan dari visinya. Dokumen resminya terdiri atas 38 halaman.Misi yang terkait dengan pendidikan dan kebudayaan adalah (1) peningkatan kualitas manusia Indonesia, (2) kemajuan budaya yang mencerminkan kepribadian bangsa. Dalam hal peningkatan kualitas SDM, hal itu mencakup ranah kesehatan dan ranah pendidikan. Mari kita telaah turunan dari ranah pendidikan yang mencakup (1) pengembangan reformasi sistem pendidikan, (2) revitalisasi pendidikan dan pelatihan vokasi, dan (3) penumbuhan kewirausahaan.Secara lebih terperinci, turunannya adalah reformasi sistem pendidikan, pemercepatan pelaksanaan Wajib Belajar 12 Tahun, pemerataan sarana pendidikan di daerah tertinggal, peningkatkan Program Indonesia Pintar, upaya memperluas beasiswa afirmasi bagi mahasiswa miskin di wilayah 3T, percepatan akses dan pemerataan kualitas pendidikan, penguatan madrasah dan pesantren, peningkatan pendidikan mental karakter bangsa, gerakan literasi, revitalisasi pendidikan vokasi, serta peningkatan akses buruh untuk mendapatkan beasiswa pendidikan dan keterampilan, menumbuhkan kewirausahaan.Adapun pasangan Prabowo-Sandi mengusung lima misi. Dokumen resminya terdiri atas 14 halaman. Misi yang terkait dengan ranah pendidikan adalah “membangun masyarakat Indonesia yang cerdas, sehat, berkualitas, produktif, dan berdaya saing dalam kehidupan yang aman, rukun, damai, dan bermartabat serta terlindungi oleh jaminan sosial yang berkeadilan tanpa diskriminasi”.Adapun turunan program kerja operasional dalam bidang pendidikan mulai dari inisiasi gerakan "Revolusi Putih" untuk mengatasi gizi buruk, pembangunan infrastruktur pendidikan, penghapusan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) untuk semua jenis buku, penghapusan Pajak Penghasilan (PPh) royalti penulisan buku, upaya mendorong gerakan literasi, pengembangan sekolah vokasi, mengangkat guru honor K2 menjadi aparatur sipil negara (ASN) dan memberlakukan upah minimum untuk kategori guru swasta, PAUD, madrasah dan yayasan, pengembangan pendidikan jarak jauh, menggratiskan perguruan tinggi bagi yang berprestasi, perluasan otonomi perguruan tinggi, kaderisasi pemimpin nasional melalui sekolah, pendidikan karakter bangsa melalui 8 karakter utama, serta peningkatan akses disabilitas.
Catatan PentingBerdasarkan penjelasan tersebut, saya memberikan beberapa catatan penting. Pertama, aspek guru kurang mendapat perhatian serius dalam visi dan misi cawapres. Poin saya adalah bagaimana manajemen peningkatan kualitas guru Indonesia? Bukan sekadar mengangkat guru honor menjadi ASN atau memperhatikan guru-guru swasta, madrasah atau yayasan.Kita ingin mendalami bagaimana cetak biru guru Indonesia ke depan, misalnya, dalam menghadapi tantangan digital dan era milenial. Cetak biru guru Indonesia adalah manifesto mengenai mengelola, merawat, dan memperjuangkan guru dengan masa depannya. Ia mencakup arah kebijakan pengembangan guru di Indonesia dengan berbagai turunannya semisal aksesibilitas studi lanjut dan program-program pengembangan kapasitas guru seperti pelatihan, beasiswa, hibah.Guru adalah ujung tombak pendidikan. Akan tidak berarti jika secanggih apa pun sistem pendidikan tidak ditopang peningkatan kualitas guru. Cetak biru guru juga mencakup pengadaan, penyebaran, dan pemerataan guru di Indonesia, khususnya di daerah-daerah 3T. Hal lainnya yang tidak kalah penting adalah komitmen anggaran pendidikan dalam APBN yang tidak tercantum dalam visi dan misi kedua pasangan capres. Sejatinya cetak biru ini sudah tersusun sistematis di antara kedua pasangan sehingga publik bisa membahasnya lebih kritis dan mendalam.Kedua, diskursus kebudayaan belum diperdalam dan mendapatkan titik prioritas dan bagaimana kaitannya dengan pendidikan. Tampaknya ada kesan bahwa pendidikan dan kebudayaan terpisah dalam dua kamar yang berbeda. Kebudayaan dan pendidikan adalah dua hal yang tak bisa dipisahkan. Keduanya mengalami relasi dualitas yang melekat satu dan lainnya. Artinya jika kita membicarakan pendidikan, sejatinya kita juga harus melihat aspek kebudayaan. Begitu pula sebaliknya.Jokowi-Ma’ruf eksplisit mencantumkan misi kebudayaannya dalam misi nomor 5 (kemajuan budaya yang mencerminkan kepribadian bangsa). Dalam misi kebudayaan itu tercakup enam hal, yaitu pembinaan ideologi Pancasila, revitalisasi revolusi mental, restorasi toleransi dan kerukunan sosial, pengembangan pemajuan seni-budaya, kepeloporan pemuda, pengembangan olahraga.Sementara itu Prabowo-Sandi merumuskannya dalam 12 Pilar Budaya dan Lingkungan Hidup yang diturunkan dalam 18 program aksi kebudayaannya. Ke-18 item ini lebih terperinci bila dibandingkan dengan pasangan Jokowi-Ma’ruf. Kebudayaan adalah refleksi dari kehidupan manusia sehari-hari.Agenda kita adalah mendorong terjadinya diskursus publik untuk meramaikan isu pendidikan sebagai hal yang tak terpisahkan dari ranah pendidikan dan sumber daya manusia. Libatkanlah pemangku kepentingan seperti kampus, media, dan kelompok masyarakat untuk ikut terlibat dalam isu publik tersebut. Agenda lain adalah menghentikan debat kusir dan parodi politik yang sesaat dan defisit substansi. Dengan dua agenda ini, kita berupaya menempatkan pendidikan dan kebudayaan sebagai bagian dari kehidupan rakyat Indonesia. Bukan sekadar komoditas dan konsumsi elite politik.
MEMPERINGATI Hari Guru Nasional, 25 November 2018, tiba-tiba kita diriuhkan dengan wacana usulan kenaikan gaji guru mencapai Rp20 juta. Awalnya ini usulan pribadi dari politikus PKS yang juga juru bicara calon presiden dan calon wakil presiden Prabowo Subianto-Sandiaga Uno, kemudian direspons Prabowo dan lantas berkembang serta mendapatkan tanggapan dari tim sukses Jokowi-Ma’ruf Amin. Tak pelak ini menjadi isu publik.Membincangkan guru tak sekadar berbicara gaji/penghasilan meskipun itu adalah hal yang tidak kalah penting bagi kehidupan guru. Di satu sisi membincangkan guru pada sekadar gaji an sich merupakan simplifikasi permasalahan guru. Kita dihadapkan dengan berbagai masalah dan tantangan yang dihadapi guru. Perbincangan dan diskusi tentang guru harusnya ditempatkan lebih substansial dan strategis sebagai bagian dari pengelolaan republik ini.Meski masih jauh dari proses kampanye gagasan, rasanya diskusi tentang guru dan visi pendidikan pasangan capres belum tampak. Publik diriuhkan dengan isu-isu yang instan, defisit substansial, dan miskin perdebatan. Yang ada adalah debat kusir, adu diksi yang tak berkesudahan, adu puisi yang semuanya menegasikan kontestasi gagasan dan visi pendidikan yang mereka usung. Publik perlu memahami dan mendiskusikan apa gagasan dan tawaran pemikiran pendidikan para pasangan capres itu. Kita perlu membuka ruang dialog dan diskusi untuk menguji visi dan gagasan pendidikan mereka.
Momentum
Peringatan Hari Guru Nasional mesti kita tempatkan sebagai momentum untuk meramaikan diskursus guru dan pendidikan sejalan dengan kontestasi Pilpres 2019. Ada beberapa alasan yang mendukung ini. (1) Pilpres 2019 harus dibangun atas diskursus, gagasan, dan visi membangun Indonesia ke depan. Tidak terjebak pada praktik politik yang miskin substansi dan justru membodohi rakyatnya dengan berbagai strategi pencitraannya.Isu pendidikan harus ditempatkan sebagai pintu masuk dalam tata kelola republik ini terkait dengan pembangunan sumber daya manusia. Energi republik ini harus didorong untuk memastikan arah dan prospek cetak biru pendidikan dan khususnya guru di Indonesia. Mau dibawa ke mana dan bagaimana guru-guru Indonesia di era digital ini? (2) Diskursus pendidikan mencakup ranah yang makro.
Dia terkait dengan sumber daya manusia dan anggaran yang mengatur masa depan republik ini. Artinya mengelola pendidikan dengan baik adalah refleksi dari masa depan Indonesia. Di pendidikan, kita membicarakan guru, kurikulum, sarana-prasarana hingga hak dan akses pemerataan pendidikan.Mari kita telaah dengan saksama tawaran dan gagasan pendidikan kedua pasangan capres berdasarkan dokumen resmi yang diserahkan ke KPU. Pasangan Jokowi-Ma’ruf Amin mengusung sembilan misi sebagai terjemahan dari visinya. Dokumen resminya terdiri atas 38 halaman.Misi yang terkait dengan pendidikan dan kebudayaan adalah (1) peningkatan kualitas manusia Indonesia, (2) kemajuan budaya yang mencerminkan kepribadian bangsa. Dalam hal peningkatan kualitas SDM, hal itu mencakup ranah kesehatan dan ranah pendidikan. Mari kita telaah turunan dari ranah pendidikan yang mencakup (1) pengembangan reformasi sistem pendidikan, (2) revitalisasi pendidikan dan pelatihan vokasi, dan (3) penumbuhan kewirausahaan.Secara lebih terperinci, turunannya adalah reformasi sistem pendidikan, pemercepatan pelaksanaan Wajib Belajar 12 Tahun, pemerataan sarana pendidikan di daerah tertinggal, peningkatkan Program Indonesia Pintar, upaya memperluas beasiswa afirmasi bagi mahasiswa miskin di wilayah 3T, percepatan akses dan pemerataan kualitas pendidikan, penguatan madrasah dan pesantren, peningkatan pendidikan mental karakter bangsa, gerakan literasi, revitalisasi pendidikan vokasi, serta peningkatan akses buruh untuk mendapatkan beasiswa pendidikan dan keterampilan, menumbuhkan kewirausahaan.Adapun pasangan Prabowo-Sandi mengusung lima misi. Dokumen resminya terdiri atas 14 halaman. Misi yang terkait dengan ranah pendidikan adalah “membangun masyarakat Indonesia yang cerdas, sehat, berkualitas, produktif, dan berdaya saing dalam kehidupan yang aman, rukun, damai, dan bermartabat serta terlindungi oleh jaminan sosial yang berkeadilan tanpa diskriminasi”.Adapun turunan program kerja operasional dalam bidang pendidikan mulai dari inisiasi gerakan "Revolusi Putih" untuk mengatasi gizi buruk, pembangunan infrastruktur pendidikan, penghapusan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) untuk semua jenis buku, penghapusan Pajak Penghasilan (PPh) royalti penulisan buku, upaya mendorong gerakan literasi, pengembangan sekolah vokasi, mengangkat guru honor K2 menjadi aparatur sipil negara (ASN) dan memberlakukan upah minimum untuk kategori guru swasta, PAUD, madrasah dan yayasan, pengembangan pendidikan jarak jauh, menggratiskan perguruan tinggi bagi yang berprestasi, perluasan otonomi perguruan tinggi, kaderisasi pemimpin nasional melalui sekolah, pendidikan karakter bangsa melalui 8 karakter utama, serta peningkatan akses disabilitas.
Catatan PentingBerdasarkan penjelasan tersebut, saya memberikan beberapa catatan penting. Pertama, aspek guru kurang mendapat perhatian serius dalam visi dan misi cawapres. Poin saya adalah bagaimana manajemen peningkatan kualitas guru Indonesia? Bukan sekadar mengangkat guru honor menjadi ASN atau memperhatikan guru-guru swasta, madrasah atau yayasan.Kita ingin mendalami bagaimana cetak biru guru Indonesia ke depan, misalnya, dalam menghadapi tantangan digital dan era milenial. Cetak biru guru Indonesia adalah manifesto mengenai mengelola, merawat, dan memperjuangkan guru dengan masa depannya. Ia mencakup arah kebijakan pengembangan guru di Indonesia dengan berbagai turunannya semisal aksesibilitas studi lanjut dan program-program pengembangan kapasitas guru seperti pelatihan, beasiswa, hibah.Guru adalah ujung tombak pendidikan. Akan tidak berarti jika secanggih apa pun sistem pendidikan tidak ditopang peningkatan kualitas guru. Cetak biru guru juga mencakup pengadaan, penyebaran, dan pemerataan guru di Indonesia, khususnya di daerah-daerah 3T. Hal lainnya yang tidak kalah penting adalah komitmen anggaran pendidikan dalam APBN yang tidak tercantum dalam visi dan misi kedua pasangan capres. Sejatinya cetak biru ini sudah tersusun sistematis di antara kedua pasangan sehingga publik bisa membahasnya lebih kritis dan mendalam.Kedua, diskursus kebudayaan belum diperdalam dan mendapatkan titik prioritas dan bagaimana kaitannya dengan pendidikan. Tampaknya ada kesan bahwa pendidikan dan kebudayaan terpisah dalam dua kamar yang berbeda. Kebudayaan dan pendidikan adalah dua hal yang tak bisa dipisahkan. Keduanya mengalami relasi dualitas yang melekat satu dan lainnya. Artinya jika kita membicarakan pendidikan, sejatinya kita juga harus melihat aspek kebudayaan. Begitu pula sebaliknya.Jokowi-Ma’ruf eksplisit mencantumkan misi kebudayaannya dalam misi nomor 5 (kemajuan budaya yang mencerminkan kepribadian bangsa). Dalam misi kebudayaan itu tercakup enam hal, yaitu pembinaan ideologi Pancasila, revitalisasi revolusi mental, restorasi toleransi dan kerukunan sosial, pengembangan pemajuan seni-budaya, kepeloporan pemuda, pengembangan olahraga.Sementara itu Prabowo-Sandi merumuskannya dalam 12 Pilar Budaya dan Lingkungan Hidup yang diturunkan dalam 18 program aksi kebudayaannya. Ke-18 item ini lebih terperinci bila dibandingkan dengan pasangan Jokowi-Ma’ruf. Kebudayaan adalah refleksi dari kehidupan manusia sehari-hari.Agenda kita adalah mendorong terjadinya diskursus publik untuk meramaikan isu pendidikan sebagai hal yang tak terpisahkan dari ranah pendidikan dan sumber daya manusia. Libatkanlah pemangku kepentingan seperti kampus, media, dan kelompok masyarakat untuk ikut terlibat dalam isu publik tersebut. Agenda lain adalah menghentikan debat kusir dan parodi politik yang sesaat dan defisit substansi. Dengan dua agenda ini, kita berupaya menempatkan pendidikan dan kebudayaan sebagai bagian dari kehidupan rakyat Indonesia. Bukan sekadar komoditas dan konsumsi elite politik.
(maf)