Big Data dan Revolusi Strategi Kampanye
A
A
A
Luthfi Baskoroadi
Analis Media dan Politik Indonesia Indicator
DEWASA ini, kehadiran teknologi dan media sosial yang berkembang pesat telah mengubah bagaimana cara publik menilai para kandidat pemimpinnya. Sebaliknya, perkembangan ini juga mengubah cara kandidat dalam memahami karakteristik calon pemilihnya. Oleh sebab itu, tidak cukup bagi seorang kandidat hanya bertumpu pada strategi kampanye konvensional. Dibutuhkan pendekatan kampanye yang revolusioner dan relevan dengan perubahan zaman. Pemanfaatan strategi kampanye melalui teknologi berbasis big data bisa jadi salah satu solusi yang efektif dalam mendongkrak elektabilitas.
Menurut analis industri Doug Laney (2001), big data adalah sebuah teknologi baru di dunia informasi yang memungkinkan proses penyimpanan, pengolahan, dan analisis data, yang bervolume besar, pertumbuhannya cepat, bentuknya bervariasi, dan kompleksitas tinggi. Pertumbuhan data yang telah diproduksi di tingkat global kini hampir tak terbayangkan jumlahnya. Artinya, big data memiliki potensi tinggi untuk dimanfaatkan dalam berbagai sektor, baik bisnis, pemerintahan, dan termasuk juga politik sebagai strategi baru dalam kampanye.
Melalui big data, seorang kandidat tidak hanya bisa memetakan demografi pemilih namun juga preferensi politik, preferensi media, isu yang berkembang, opini dan sentimen publik, framing media, hingga segala hal terkait aktivitas pemilih di media sosial. Berbagai fasilitas yang ditawarkan dalam analisis big data ini nanti bisa menjadi sebuah kajian strategis yang komprehensif untuk pengambilan keputusan. Penggunaan big data secara konsisten akan bisa mewujudkan kampanye terukur lantaran adanya data yang mampu mengidentifikasi pemilih secara lebih dalam dan akurat.
Penggunaan data Facebook oleh Cambridge Analytica yang memenangkan Donald Trump dalam Pilpres Amerika Serikat pada 2016 menjadi salah satu bukti efektivitas analisis big data dalam kontestasi politik. Strategi micro-targeting yang mampu mengidentifikasi setiap isu secara detail di berbagai wilayah di Amerika berhasil membantu Trump dalam memetakan penduduk mana saja yang bisa dipengaruhi melalui konten-konten berdampak pada peningkatan posisi elektoralnya.
Strategi kampanye Trump yang fokus pada kebutuhan setiap individu ketimbang kelompok besar ini berdampak pada berhasilnya Trump mengamankan suaranya di banyak wilayah basis Partai Republik serta mencuri banyak suara di wilayah basis tradisional Partai Demokrat, seperti di Pennsylvania dan Florida. Strategi ini nyatanya mampu membalikkan prediksi lembaga survei yang sebelumnya banyak mengunggulkan Hillary Clinton.
Big data sebenarnya bukanlah hal baru di Amerika Serikat. Dua presiden terdahulu, seperti Barrack Obama dan George W Bush, juga pernah melakukan micro-targeting yang berbasis big data sebagai strategi kampanye terbukti sukses. Selain di Amerika Serikat, penggunaan big data juga berhasil memenangkan Narendra Modi pada Pemilu India 2014. Bahkan, pada Pemilu Kenya 2013, Uhuru Kenyatta juga menggandeng Cambridge Analytica untuk mengolah data pemilihnya guna mewujudkan kampanye yang tepat sasaran.***
Big Data di Indonesia.
Di Indonesia, penggunaan big data sudah mulai terlihat meskipun belum masif. Masih relatif mahalnya biaya operasional untuk membangun sistem big data jadi penghambat utamanya. Sebagai provinsi dengan APBD terbesar di Indonesia, DKI Jakarta saja baru mulai memasuki tahap perencanaan dalam pembuatan sistem big data untuk menunjang optimalisasi pendapatan daerah, pencegahan korupsi, dan transformasi kebijakan yang berpihak pada rakyat. Dalam politik praktis, beberapa partai politik sudah mulai merevolusi strategi kampanyenya. Seperti salah satunya Partai Golkar yang dalam Rakornas Bappilu lalu mulai mengkaji metode micro-targeting untuk mengetahui keinginan masyarakat sampai pada tingkatan terkecil.
Perkembangan teknologi yang telah memasuki fase dewasa membuat penggunaan big data dalam kampanye politik tak lagi terelakkan. Setidaknya terdapat dua faktor utama mengapapenggunaan big data di Indonesia begitu strategis dan mendesak.
Pertama, tingginya jumlah pengguna internet di Indonesia. Big Data yang mayoritasnya memanfaatkan sumber data dari internet dan media sosial, membuat tingkat aksesibilitas masyarakat pada internet menjadi tolok ukur efektivitas metode ini. Semakin tinggi jumlah pengguna internet di suatu wilayah atau negara, maka semakin tinggi pula keakuratan analisnya.
Mengacu pada data Global Digital Report 2018 yang dibuat oleh WeAreSocial dan Hootsuite, pengguna internet di Indonesia telah mencapai 132 juta orang, atau setengah dari penduduk Indonesia. Berdasarkan survei tersebut, masyarakat Indonesia rata-rata butuh waktu 9 jam 33 menit per harinya untuk mengakses internet. Bahkan, Indonesia juga menduduki peringkat ketiga dunia sebagai negara dengan durasi menggunakan media sosial terlama, yakni 3 jam 23 menit setiap harinya. Dari fakta tersebut dapat dikatakan bahwa pemilih di Indonesia sangat potensial untuk ditinjau dan dianalisis menggunakan big data.
Kedua, penggunaan big dataakan membuat kampanye politik lebih rasional. Saat ini kita tengah dihadapkan fakta bahwa kampanye yang digunakan para politisi cenderung tidak substansial, destruktif, dan tidak mendidik. Para kandidat dan timnya masih senang memakai strategi saling serang sentimen negatif yang jauh dari pertarungan ide dan gagasan. Narasi kampanye yang dibangun cenderung tanpa fakta, data, dan solusi yang memadai.
Penggunaan big data secara optimal tentunya akan mereduksi kampanye yang tidak substansial dengan lahirnya ide dan gagasan baru yang sistematis, terencana, dan tepat sasaran. Narasi kampanye yang diperoleh dari analisis big data ini akan mendorong terciptanya kampanye politik yang moderen, ilmiah dan dapat menciptakan janji-janji kampanye yang tak hanya sekadar normatif, namun juga menyentuh ranah program yang aplikatif di masyarakat.
Meninjau dua faktor utama di atas, perlu kiranya analisis big data mulai diaplikasikan secara maksimal oleh semua aktor politik, baik para capres-cawapres, calon kepala daerah, dan calon legislatif di seluruh tingkatan, baik DPR RI hingga DPRD Provinsi dan Kabupaten/Kota. Sudah saatnya menciptakan revolusi strategi kampanye yang berbasis pendekatan ilmiah dan teknologi sesuai perkembangan zaman dan kebutuhan masyarakat. Harapannya, kontestasi politik dan demokrasi kita kedepan akan semakin berkualitas dengan lebih mengutamakan esensi ketimbang sensasi belaka.
Analis Media dan Politik Indonesia Indicator
DEWASA ini, kehadiran teknologi dan media sosial yang berkembang pesat telah mengubah bagaimana cara publik menilai para kandidat pemimpinnya. Sebaliknya, perkembangan ini juga mengubah cara kandidat dalam memahami karakteristik calon pemilihnya. Oleh sebab itu, tidak cukup bagi seorang kandidat hanya bertumpu pada strategi kampanye konvensional. Dibutuhkan pendekatan kampanye yang revolusioner dan relevan dengan perubahan zaman. Pemanfaatan strategi kampanye melalui teknologi berbasis big data bisa jadi salah satu solusi yang efektif dalam mendongkrak elektabilitas.
Menurut analis industri Doug Laney (2001), big data adalah sebuah teknologi baru di dunia informasi yang memungkinkan proses penyimpanan, pengolahan, dan analisis data, yang bervolume besar, pertumbuhannya cepat, bentuknya bervariasi, dan kompleksitas tinggi. Pertumbuhan data yang telah diproduksi di tingkat global kini hampir tak terbayangkan jumlahnya. Artinya, big data memiliki potensi tinggi untuk dimanfaatkan dalam berbagai sektor, baik bisnis, pemerintahan, dan termasuk juga politik sebagai strategi baru dalam kampanye.
Melalui big data, seorang kandidat tidak hanya bisa memetakan demografi pemilih namun juga preferensi politik, preferensi media, isu yang berkembang, opini dan sentimen publik, framing media, hingga segala hal terkait aktivitas pemilih di media sosial. Berbagai fasilitas yang ditawarkan dalam analisis big data ini nanti bisa menjadi sebuah kajian strategis yang komprehensif untuk pengambilan keputusan. Penggunaan big data secara konsisten akan bisa mewujudkan kampanye terukur lantaran adanya data yang mampu mengidentifikasi pemilih secara lebih dalam dan akurat.
Penggunaan data Facebook oleh Cambridge Analytica yang memenangkan Donald Trump dalam Pilpres Amerika Serikat pada 2016 menjadi salah satu bukti efektivitas analisis big data dalam kontestasi politik. Strategi micro-targeting yang mampu mengidentifikasi setiap isu secara detail di berbagai wilayah di Amerika berhasil membantu Trump dalam memetakan penduduk mana saja yang bisa dipengaruhi melalui konten-konten berdampak pada peningkatan posisi elektoralnya.
Strategi kampanye Trump yang fokus pada kebutuhan setiap individu ketimbang kelompok besar ini berdampak pada berhasilnya Trump mengamankan suaranya di banyak wilayah basis Partai Republik serta mencuri banyak suara di wilayah basis tradisional Partai Demokrat, seperti di Pennsylvania dan Florida. Strategi ini nyatanya mampu membalikkan prediksi lembaga survei yang sebelumnya banyak mengunggulkan Hillary Clinton.
Big data sebenarnya bukanlah hal baru di Amerika Serikat. Dua presiden terdahulu, seperti Barrack Obama dan George W Bush, juga pernah melakukan micro-targeting yang berbasis big data sebagai strategi kampanye terbukti sukses. Selain di Amerika Serikat, penggunaan big data juga berhasil memenangkan Narendra Modi pada Pemilu India 2014. Bahkan, pada Pemilu Kenya 2013, Uhuru Kenyatta juga menggandeng Cambridge Analytica untuk mengolah data pemilihnya guna mewujudkan kampanye yang tepat sasaran.***
Big Data di Indonesia.
Di Indonesia, penggunaan big data sudah mulai terlihat meskipun belum masif. Masih relatif mahalnya biaya operasional untuk membangun sistem big data jadi penghambat utamanya. Sebagai provinsi dengan APBD terbesar di Indonesia, DKI Jakarta saja baru mulai memasuki tahap perencanaan dalam pembuatan sistem big data untuk menunjang optimalisasi pendapatan daerah, pencegahan korupsi, dan transformasi kebijakan yang berpihak pada rakyat. Dalam politik praktis, beberapa partai politik sudah mulai merevolusi strategi kampanyenya. Seperti salah satunya Partai Golkar yang dalam Rakornas Bappilu lalu mulai mengkaji metode micro-targeting untuk mengetahui keinginan masyarakat sampai pada tingkatan terkecil.
Perkembangan teknologi yang telah memasuki fase dewasa membuat penggunaan big data dalam kampanye politik tak lagi terelakkan. Setidaknya terdapat dua faktor utama mengapapenggunaan big data di Indonesia begitu strategis dan mendesak.
Pertama, tingginya jumlah pengguna internet di Indonesia. Big Data yang mayoritasnya memanfaatkan sumber data dari internet dan media sosial, membuat tingkat aksesibilitas masyarakat pada internet menjadi tolok ukur efektivitas metode ini. Semakin tinggi jumlah pengguna internet di suatu wilayah atau negara, maka semakin tinggi pula keakuratan analisnya.
Mengacu pada data Global Digital Report 2018 yang dibuat oleh WeAreSocial dan Hootsuite, pengguna internet di Indonesia telah mencapai 132 juta orang, atau setengah dari penduduk Indonesia. Berdasarkan survei tersebut, masyarakat Indonesia rata-rata butuh waktu 9 jam 33 menit per harinya untuk mengakses internet. Bahkan, Indonesia juga menduduki peringkat ketiga dunia sebagai negara dengan durasi menggunakan media sosial terlama, yakni 3 jam 23 menit setiap harinya. Dari fakta tersebut dapat dikatakan bahwa pemilih di Indonesia sangat potensial untuk ditinjau dan dianalisis menggunakan big data.
Kedua, penggunaan big dataakan membuat kampanye politik lebih rasional. Saat ini kita tengah dihadapkan fakta bahwa kampanye yang digunakan para politisi cenderung tidak substansial, destruktif, dan tidak mendidik. Para kandidat dan timnya masih senang memakai strategi saling serang sentimen negatif yang jauh dari pertarungan ide dan gagasan. Narasi kampanye yang dibangun cenderung tanpa fakta, data, dan solusi yang memadai.
Penggunaan big data secara optimal tentunya akan mereduksi kampanye yang tidak substansial dengan lahirnya ide dan gagasan baru yang sistematis, terencana, dan tepat sasaran. Narasi kampanye yang diperoleh dari analisis big data ini akan mendorong terciptanya kampanye politik yang moderen, ilmiah dan dapat menciptakan janji-janji kampanye yang tak hanya sekadar normatif, namun juga menyentuh ranah program yang aplikatif di masyarakat.
Meninjau dua faktor utama di atas, perlu kiranya analisis big data mulai diaplikasikan secara maksimal oleh semua aktor politik, baik para capres-cawapres, calon kepala daerah, dan calon legislatif di seluruh tingkatan, baik DPR RI hingga DPRD Provinsi dan Kabupaten/Kota. Sudah saatnya menciptakan revolusi strategi kampanye yang berbasis pendekatan ilmiah dan teknologi sesuai perkembangan zaman dan kebutuhan masyarakat. Harapannya, kontestasi politik dan demokrasi kita kedepan akan semakin berkualitas dengan lebih mengutamakan esensi ketimbang sensasi belaka.
(pur)