Menata(p) Pilpres yang Demokratis

Senin, 19 November 2018 - 08:06 WIB
Menata(p) Pilpres yang...
Menata(p) Pilpres yang Demokratis
A A A
Yuniar Riza Hakiki
Peneliti pada Pusat Studi Hukum Konstitusi (PSHK) FH UII

PEMILIHAN Presiden dan Wakil Presiden (Pilpres) 2019 ha­nya diikuti 2 pa­sangan calon (paslon). Wajah baru hanya muncul pada calon wakil presiden (cawapres), yaitu KH Ma’ruf Amin dan Sandiaga Uno. Adapun calon presiden (capres) merupakan figur lama yang pernah berkontestasi da­lam Pemilu 2014.

Tersedianya 2 paslon yang didominasi muka lama ini terjadi karena beberapa sebab, pertama, dimonopolinya rekrutmen bakal capres dan cawapres oleh partai politik (parpol); kedua, rekrutmen ba­kal capres dan cawapres yang ti­dak demokratis dan terbuka; dan ketiga, masih berlakunya ambang batas pencalonan presiden (presidential theshold ).

Ketiga penyebab tersebut me­ru­pakan persoalan klasik yang belum tampak iktikad perbaikannya. Pasal 6A ayat (2) UUD NRI 1945 masih menutup kesempatan pencalonan bakal capres dan cawapres melalui ja­lur perseorangan meski upaya uji materi telah berkali-kali di­la­yangkan ke Mahkamah Kons­ti­tusi (MK).

Begitu pun amanat Pa­sal 29 ayat (2) UU Nomor 2/2011 (UU Parpol) untuk me­rek­rut bakal capres dan cawapres secara demokratis dan ter­bu­ka juga tidak terlaksana seca­ra konsekuen. Justru para elite dan petinggi partai yang lebih mendominasi dalam proses pencalonan bakal capres dan ca­wapres. Apalagi dengan masih eksisnya kebijakan presidential threshold, itu mengakumulasi krisis alternatif paslon.

Ancaman Golput
Menyadari keadaan ini, pe­rubahan mendasar memang ti­dak mungkin dilakukan untuk Pil­pres 2019 lantaran tahapan-tahapannya tengah berjalan. Untuk itu, dengan tersedianya pilihan paslon yang sangat ter­batas ini, beban tiap paslon be­serta tim pemenangan justru ti­dak ringan. Mereka harus mem­bangun antusiasme rakyat un­tuk berpartisipasi aktif dalam suksesi kepemimpinan di te­ngah terbatasnya alternatif pas­lon dan minimnya figur baru.

Faktanya ting­kat par­ti­si­pasi pemilih dalam 2 periode pilpres terbukti makin turun. Pilpres 2009, tingkat partisipasi pemilih hanya men­capai 74,81%, merosot cukup besar bila dibandingkan dengan Pil­pres 2004 yang mencapai 79,76% (KPU,2009). Begitu pun Pilpres 2014, partisipasi pe­­milih hanya mencapai 69,78%, turun 5,03% dari Pil­pres 2009 (KPU, 2014). Tentu keadaan serupa tidak di­harapkan kembali terjadi pada Pilpres 2019. Jika hal ini di­biarkan, pemilu tidak lebih se­kadar agenda formal untuk me­legitimasi kekuasaan.

Pilpres Demokratis
Sejatinya demokrasi tidak cukup hanya dengan terea­li­sa­sinya tahapan-tahapan pemilu. Lebih dari itu, demokrasi harus menjamin penghormatan hak-hak sipil dan politik yang lebih luas (Larry Diamond:1999). Maka pilpres harus menjadi sa­lah satu agenda demokrasi yang betul-betul demokratis.

Indi­ka­tor demokratis tersebut seti­dak­nya ada 3 (tiga), pertama, mekanisme rekrutmen bakal capres dan cawapres yang melibatkan rakyat sehingga rakyat ti­dak hanya melegitimasi ke­kua­saan pada saat pemilu berlangsung. Kedua, terbatasnya dominasi elite atau petinggi parpol sehingga demokrasi ti­dak bergeser ke arah oligarki dan ketiga, terwujudnya pen­di­dikan politik bagi rakyat.

Untuk mencapai indikator yang pertama dan kedua, ke depan perlu merealisasi ga­gas­an pencalonan presiden dan wa­kil presiden melalui jalur per­se­orangan atau me­ne­rap­kan pe­milu pendahuluan seba­gai­ma­na yang lazim di­prak­tikkan di Amerika Serikat (AS). Penca­lonan melalui jalur per­se­orang­an ini dapat membuka ke­sem­pat­an bagi warga negara yang ti­dak menaruh minat me­nya­lur­kan hak politiknya me­la­lui par­pol.

Adapun untuk indikator yang ketiga, pada masa kam­pa­nye ini tiap tim pemenangan paslon seharusnya mencegah dan menghindari aktivitas kam­panye yang kontra­pro­duk­tif seperti memainkan isu SARA, menyerang pribadi pas­lon lawan melalui ujaran ke­bencian dan berita bohong (hoax) serta pendekatan kampa­nye yang bersifat koruptif (money politics ). Demikian juga agar sajian kampanye tidak se­ka­dar adu kiasan kata seperti “ceb­ong”, “kampret”, “politik sontoloyo”, “tampang Boyolali” hingga “politik genderuwo”, maka masa kampanye se­baik­nya dimanfaatkan dengan akti­vitas yang produktif.

Tampaknya rakyat tengah menanti persaingan gagasan program, kebijakan hingga strategi pembangunan negara dalam berbagai aspek dari masing-masing paslon. Ja­ngan sampai isu penegakan dan pembaharuan hukum, pe­merataan pembangunan, po­litik luar negeri, kedaulatan negara, pengelolaan sumber daya alam (SDA), pelindungan warga negara baik di dalam dan di luar negeri justru absen da­lam nafas-nafas kampanye.

Me­lalui ikhtiar ini, penulis op­timistis agenda pilpres betul-betul dapat menjadi sarana pendidikan politik bagi rakyat. Dan mimpi atas pilpres yang demokratis akan lekas ter­wujud.
(thm)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.5548 seconds (0.1#10.140)