Menata(p) Pilpres yang Demokratis
A
A
A
Yuniar Riza Hakiki
Peneliti pada Pusat Studi Hukum Konstitusi (PSHK) FH UII
PEMILIHAN Presiden dan Wakil Presiden (Pilpres) 2019 hanya diikuti 2 pasangan calon (paslon). Wajah baru hanya muncul pada calon wakil presiden (cawapres), yaitu KH Ma’ruf Amin dan Sandiaga Uno. Adapun calon presiden (capres) merupakan figur lama yang pernah berkontestasi dalam Pemilu 2014.
Tersedianya 2 paslon yang didominasi muka lama ini terjadi karena beberapa sebab, pertama, dimonopolinya rekrutmen bakal capres dan cawapres oleh partai politik (parpol); kedua, rekrutmen bakal capres dan cawapres yang tidak demokratis dan terbuka; dan ketiga, masih berlakunya ambang batas pencalonan presiden (presidential theshold ).
Ketiga penyebab tersebut merupakan persoalan klasik yang belum tampak iktikad perbaikannya. Pasal 6A ayat (2) UUD NRI 1945 masih menutup kesempatan pencalonan bakal capres dan cawapres melalui jalur perseorangan meski upaya uji materi telah berkali-kali dilayangkan ke Mahkamah Konstitusi (MK).
Begitu pun amanat Pasal 29 ayat (2) UU Nomor 2/2011 (UU Parpol) untuk merekrut bakal capres dan cawapres secara demokratis dan terbuka juga tidak terlaksana secara konsekuen. Justru para elite dan petinggi partai yang lebih mendominasi dalam proses pencalonan bakal capres dan cawapres. Apalagi dengan masih eksisnya kebijakan presidential threshold, itu mengakumulasi krisis alternatif paslon.
Ancaman Golput
Menyadari keadaan ini, perubahan mendasar memang tidak mungkin dilakukan untuk Pilpres 2019 lantaran tahapan-tahapannya tengah berjalan. Untuk itu, dengan tersedianya pilihan paslon yang sangat terbatas ini, beban tiap paslon beserta tim pemenangan justru tidak ringan. Mereka harus membangun antusiasme rakyat untuk berpartisipasi aktif dalam suksesi kepemimpinan di tengah terbatasnya alternatif paslon dan minimnya figur baru.
Faktanya tingkat partisipasi pemilih dalam 2 periode pilpres terbukti makin turun. Pilpres 2009, tingkat partisipasi pemilih hanya mencapai 74,81%, merosot cukup besar bila dibandingkan dengan Pilpres 2004 yang mencapai 79,76% (KPU,2009). Begitu pun Pilpres 2014, partisipasi pemilih hanya mencapai 69,78%, turun 5,03% dari Pilpres 2009 (KPU, 2014). Tentu keadaan serupa tidak diharapkan kembali terjadi pada Pilpres 2019. Jika hal ini dibiarkan, pemilu tidak lebih sekadar agenda formal untuk melegitimasi kekuasaan.
Pilpres Demokratis
Sejatinya demokrasi tidak cukup hanya dengan terealisasinya tahapan-tahapan pemilu. Lebih dari itu, demokrasi harus menjamin penghormatan hak-hak sipil dan politik yang lebih luas (Larry Diamond:1999). Maka pilpres harus menjadi salah satu agenda demokrasi yang betul-betul demokratis.
Indikator demokratis tersebut setidaknya ada 3 (tiga), pertama, mekanisme rekrutmen bakal capres dan cawapres yang melibatkan rakyat sehingga rakyat tidak hanya melegitimasi kekuasaan pada saat pemilu berlangsung. Kedua, terbatasnya dominasi elite atau petinggi parpol sehingga demokrasi tidak bergeser ke arah oligarki dan ketiga, terwujudnya pendidikan politik bagi rakyat.
Untuk mencapai indikator yang pertama dan kedua, ke depan perlu merealisasi gagasan pencalonan presiden dan wakil presiden melalui jalur perseorangan atau menerapkan pemilu pendahuluan sebagaimana yang lazim dipraktikkan di Amerika Serikat (AS). Pencalonan melalui jalur perseorangan ini dapat membuka kesempatan bagi warga negara yang tidak menaruh minat menyalurkan hak politiknya melalui parpol.
Adapun untuk indikator yang ketiga, pada masa kampanye ini tiap tim pemenangan paslon seharusnya mencegah dan menghindari aktivitas kampanye yang kontraproduktif seperti memainkan isu SARA, menyerang pribadi paslon lawan melalui ujaran kebencian dan berita bohong (hoax) serta pendekatan kampanye yang bersifat koruptif (money politics ). Demikian juga agar sajian kampanye tidak sekadar adu kiasan kata seperti “cebong”, “kampret”, “politik sontoloyo”, “tampang Boyolali” hingga “politik genderuwo”, maka masa kampanye sebaiknya dimanfaatkan dengan aktivitas yang produktif.
Tampaknya rakyat tengah menanti persaingan gagasan program, kebijakan hingga strategi pembangunan negara dalam berbagai aspek dari masing-masing paslon. Jangan sampai isu penegakan dan pembaharuan hukum, pemerataan pembangunan, politik luar negeri, kedaulatan negara, pengelolaan sumber daya alam (SDA), pelindungan warga negara baik di dalam dan di luar negeri justru absen dalam nafas-nafas kampanye.
Melalui ikhtiar ini, penulis optimistis agenda pilpres betul-betul dapat menjadi sarana pendidikan politik bagi rakyat. Dan mimpi atas pilpres yang demokratis akan lekas terwujud.
Peneliti pada Pusat Studi Hukum Konstitusi (PSHK) FH UII
PEMILIHAN Presiden dan Wakil Presiden (Pilpres) 2019 hanya diikuti 2 pasangan calon (paslon). Wajah baru hanya muncul pada calon wakil presiden (cawapres), yaitu KH Ma’ruf Amin dan Sandiaga Uno. Adapun calon presiden (capres) merupakan figur lama yang pernah berkontestasi dalam Pemilu 2014.
Tersedianya 2 paslon yang didominasi muka lama ini terjadi karena beberapa sebab, pertama, dimonopolinya rekrutmen bakal capres dan cawapres oleh partai politik (parpol); kedua, rekrutmen bakal capres dan cawapres yang tidak demokratis dan terbuka; dan ketiga, masih berlakunya ambang batas pencalonan presiden (presidential theshold ).
Ketiga penyebab tersebut merupakan persoalan klasik yang belum tampak iktikad perbaikannya. Pasal 6A ayat (2) UUD NRI 1945 masih menutup kesempatan pencalonan bakal capres dan cawapres melalui jalur perseorangan meski upaya uji materi telah berkali-kali dilayangkan ke Mahkamah Konstitusi (MK).
Begitu pun amanat Pasal 29 ayat (2) UU Nomor 2/2011 (UU Parpol) untuk merekrut bakal capres dan cawapres secara demokratis dan terbuka juga tidak terlaksana secara konsekuen. Justru para elite dan petinggi partai yang lebih mendominasi dalam proses pencalonan bakal capres dan cawapres. Apalagi dengan masih eksisnya kebijakan presidential threshold, itu mengakumulasi krisis alternatif paslon.
Ancaman Golput
Menyadari keadaan ini, perubahan mendasar memang tidak mungkin dilakukan untuk Pilpres 2019 lantaran tahapan-tahapannya tengah berjalan. Untuk itu, dengan tersedianya pilihan paslon yang sangat terbatas ini, beban tiap paslon beserta tim pemenangan justru tidak ringan. Mereka harus membangun antusiasme rakyat untuk berpartisipasi aktif dalam suksesi kepemimpinan di tengah terbatasnya alternatif paslon dan minimnya figur baru.
Faktanya tingkat partisipasi pemilih dalam 2 periode pilpres terbukti makin turun. Pilpres 2009, tingkat partisipasi pemilih hanya mencapai 74,81%, merosot cukup besar bila dibandingkan dengan Pilpres 2004 yang mencapai 79,76% (KPU,2009). Begitu pun Pilpres 2014, partisipasi pemilih hanya mencapai 69,78%, turun 5,03% dari Pilpres 2009 (KPU, 2014). Tentu keadaan serupa tidak diharapkan kembali terjadi pada Pilpres 2019. Jika hal ini dibiarkan, pemilu tidak lebih sekadar agenda formal untuk melegitimasi kekuasaan.
Pilpres Demokratis
Sejatinya demokrasi tidak cukup hanya dengan terealisasinya tahapan-tahapan pemilu. Lebih dari itu, demokrasi harus menjamin penghormatan hak-hak sipil dan politik yang lebih luas (Larry Diamond:1999). Maka pilpres harus menjadi salah satu agenda demokrasi yang betul-betul demokratis.
Indikator demokratis tersebut setidaknya ada 3 (tiga), pertama, mekanisme rekrutmen bakal capres dan cawapres yang melibatkan rakyat sehingga rakyat tidak hanya melegitimasi kekuasaan pada saat pemilu berlangsung. Kedua, terbatasnya dominasi elite atau petinggi parpol sehingga demokrasi tidak bergeser ke arah oligarki dan ketiga, terwujudnya pendidikan politik bagi rakyat.
Untuk mencapai indikator yang pertama dan kedua, ke depan perlu merealisasi gagasan pencalonan presiden dan wakil presiden melalui jalur perseorangan atau menerapkan pemilu pendahuluan sebagaimana yang lazim dipraktikkan di Amerika Serikat (AS). Pencalonan melalui jalur perseorangan ini dapat membuka kesempatan bagi warga negara yang tidak menaruh minat menyalurkan hak politiknya melalui parpol.
Adapun untuk indikator yang ketiga, pada masa kampanye ini tiap tim pemenangan paslon seharusnya mencegah dan menghindari aktivitas kampanye yang kontraproduktif seperti memainkan isu SARA, menyerang pribadi paslon lawan melalui ujaran kebencian dan berita bohong (hoax) serta pendekatan kampanye yang bersifat koruptif (money politics ). Demikian juga agar sajian kampanye tidak sekadar adu kiasan kata seperti “cebong”, “kampret”, “politik sontoloyo”, “tampang Boyolali” hingga “politik genderuwo”, maka masa kampanye sebaiknya dimanfaatkan dengan aktivitas yang produktif.
Tampaknya rakyat tengah menanti persaingan gagasan program, kebijakan hingga strategi pembangunan negara dalam berbagai aspek dari masing-masing paslon. Jangan sampai isu penegakan dan pembaharuan hukum, pemerataan pembangunan, politik luar negeri, kedaulatan negara, pengelolaan sumber daya alam (SDA), pelindungan warga negara baik di dalam dan di luar negeri justru absen dalam nafas-nafas kampanye.
Melalui ikhtiar ini, penulis optimistis agenda pilpres betul-betul dapat menjadi sarana pendidikan politik bagi rakyat. Dan mimpi atas pilpres yang demokratis akan lekas terwujud.
(thm)