Ormas Islam dan Hari Pahlawan

Sabtu, 10 November 2018 - 08:01 WIB
Ormas Islam dan Hari Pahlawan
Ormas Islam dan Hari Pahlawan
A A A
Mohamad Fadhilah Zein
Anggota Komisi Infokom MUI

NAHDLATUl Ulama (NU) menjadi or­mas keagamaan, yang senantiasa mem­­buktikan diri sebagai pen­ja­ga Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Dalam per­ja­lanan sejarahnya, NU tampil di depan untuk membela na­sio­nalisme dan agama. Bahkan, tindakan paling “radikal” yang pernah dilakukan Hadhratus Syaikh Hasyim Asyíari selaku pendiri NU adalah mengeluarkan Resolusi Jihad. Isinya, mem­pertahankan kemer­de­ka­an RI dari kembalinya penjajah di Bumi Pertiwi adalah fardhu ain bagi setiap muslim dan war­ga NU.

Resolusi Jihad ini di­pr­o­kla­masikan pada 22 Oktober 1945, dan menyebabkan pe­cah­nya perang heroik 10 No­vem­ber 1945 di Surabaya. Ini menjadi sikap tegas NU yang meng­ha­dirkan dua dampak, yakni politik dan militer. Secara politik, Re­so­lusi Jihad mem­be­ri­kan ke­absah­an pembelaan se­cara agama ter­hadap bangsa dan negara. Se­dangkan secara militer, Resolusi Jihad mem­ba­kar semangat Jihad fi Sabilillah bagi siapa pun yang saat itu ber­tempur di Surabaya. Tanggal 10 November pun diperingati se­tiap tahun sebagai hari pah­lawan.

Para kiai NU dan jamaahnya terlibat dalam mem­per­ta­han­kan kemerdekaan RI. Mereka tergabung dalam laskar Hiz­bullah yang memang berlatar belakang nahdhiyyin. Di dae­rah, para kiai kampung mem­ben­tuk Laskar Sabilillah yang ke­ba­nyakan komandan ter­ting­gi me­re­ka juga memimpin NU.

Muhammadiyah juga seba­gai ormas terbesar memiliki pe­ran­an sangat besar bagi ke­mer­dekaan RI. Sebelum pecah pe­rang Surabaya, lahir Partai Ma­jelis Syuro Muslimin Indo­ne­sia (Masyumi) dari rahim Kongres Umat Islam Indonesia yang ber­langsung pada 7-8 No­vember 1945. Kongres ter­se­but ber­lang­sung di Gedung Mua­llimin Mu­hammadiyah, Yogyakarta.

Ini juga sum­bang­an besar dari war­ga Mu­ham­ma­diyah dan se­jum­lah ormas lainnya, untuk melahir­kan par­tai politik sebagai wadah per­juangan yang lebih moderat. Perjuangan Muhammadi­yah adalah memainkan pe­ran­an yang saling terkait, yaitu (1) sebagai reformis keagamaan, (2) sebagai pelaku perubahan sosial, dan (3) sebagai kekuatan politik, yang datang dari impli­kasi filosofis modernisme Islam yang dianut. (Alfian, 2010:5).

Kiai Ahmad Dahlan adalah aktor politik utama dalam tu­buh organisasi Muham­ma­di­yah yang memiliki kepriha­tin­an kuat membebaskan umat Islam dari penjajahan. Ahmad Dahlan memperjuangkan ide-ide kemerdekaannya melalui pem­ba­ha­ruan lang­sung. Perjuangannya lebih menge­de­pan­kan pada pe­me­cahan pro­­blem so­sial se­ca­ra nya­ta, ter­­uta­ma di sek­tor ekonomi dan pe­n­di­di­kan.

Selain Ahmad Dah­lan, to­koh Muham­­ma­di­yah lain­nya yang me­mi­liki pe­ran­an men­jaga kemerdeka­an adalah Kas­man Singo­dimedjo. Dia adalah di­plo­mat ulung yang terkenal de­ngan lobi tu­juh kata dasar ne­ga­ra Indo­ne­sia. Ketika an­cam­an dari go­longan non­mus­lim me­mi­sah­kan diri dari RI ka­re­na tujuh kata tercantum dalam Piagam Jakarta, Kas­man hadir me­nye­lamatkan ke­utuh­an NKRI.

Dia menjadi to­koh po­li­tik senior yang men­ja­dikan Islam sebagai dasar perjuangan, namun dia pula yang melobi tokoh-tokoh muslim untuk bersedia meng­hapus tu­juh kata dalam dasar negara. Persatuan Islam (Persis) pun memiliki sumbangan bagi per­juangan kemerdekaan RI. Organisasi yang lahir di Ban­dung ini ikut memelopori Par­tai Masyumi dan meng­ha­dang ancaman rongrongan Partai Komunis Indonesia (PKI). Orga­nisasi ini bahkan menjadi anggota istimewa ketika Mas­yumi dideklarasikan.

Persis didirikan oleh A Has­san, namun organisasi ini juga mengantarkan Muhammad Natsir menjadi tokoh Islam na­sional. Bagi Natsir, Persis ada­lah “dapur” pertama yang meng­godoknya menjadi se­orang pemimpin ter­ke­muka di negara ini. Da­lam pandangan Nat­sir, di era kemerdeka­an, umat Islam meng­hadapi tiga hal pelik, yakni menjawab tan­tangan kebudayaan lokal non­mus­lim,memegang teguh ke­ya­kinan dan amalan Islam, dan me­nye­suai­kan diri terhadap pi­kiran dan teknologi modern.

Tiga hal ter­sebut me­mo­si­si­kan Natsir me­la­lui Per­sis un­tuk men­ja­wab ber­ba­gai tan­tangan umat Islam. Natsir dikenal de­ngan intelek­tua­li­tas­nya yang tinggi dalam per­­de­batan, ce­ra­­mah, diskusi, dan per­ha­tian­nya ter­ha­dap umat dan negara. Pan­dangannya ter­hadap ke­bang­saan adalah penting­nya integrasi nilai-nilai Islam tra­di­sio­nal dan modern.

Ormas lain yang juga me­mi­liki sum­bangan besar bagi ke­mer­dekaan RI ada­lah Al Was­hli­yah. Orga­ni­sa­si yang lahir di Su­matera Utara ini memiliki ko­mit­men mempertahankan ke­mer­de­­ka­an RI yang telah di­pro­kla­masikan pada 17 Agus­tus 1945. Pada 9 Oktober 1945, Pengurus Besar (PB) Al Was­hli­yah me­ngi­rim su­rat kawat (te­legram) ke­pa­da Pre­siden RI Soe­karno dan Gubernur Su­ma­tera Utara Tk Mohd Hasan.

Isi te­le­gram­nya adalah komit­men mem­per­ta­hankan kemer­de­ka­an RI. Telegram itu menjadi penting karena penjajah Belanda dan Jepang berusaha meng­anek­sasi kembali sejumlah wilayah di RI pascaproklamasi. Be­berapa wilayah melakukan per­lawanan hingga titik darah penghabisan agar Bumi Pertiwi tidak kembali dijajah.

Al Washliyah sendiri mela­ku­kan perlawanan terhadap pa­sukan Jepang yang berusaha merebut Kota Tebingtinggi pa­da 13 Desember 1945. Tidak ka­lah heroiknya dengan per­tem­puran Surabaya, Laskar Al Washliyah pun mengobarkan semangat perlawanan. Di an­ta­ra mereka bergabung de­ngan Laskar Hizbullah yang sejak awal memang menguman­dang­kan jihad fi sabilillah.

Pemaparan di atas hanya se­gelintir dari ratusan ormas yang ada di Indonesia, yang di­sa­jikan dalam tulisan ini. Ini mem­buktikan bahwa umat me­miliki sejarah panjang da­lam merebut dan memper­ta­hankan keutuhan dan ke­dau­latan NKRI. Tegas dan penuh toleransi adalah karakter ormas Islam yang mewarnai se­jarah perjalanan bangsa. Di ba­wah bimbingan ulama, per­ja­lanan bangsa dan negara se­nan­tiasa diwarnai dengan per­juangan tak kenal henti.

Ini juga membuktikan rak­yat Indonesia tidak lepas dari per­juang­an serta semangat jihad para ulama terdahulu. Ma­yori­tas mereka adalah ula­ma besar yang saat itu memilih mem­per­juang­kan kemer­de­ka­an bangsa dan negara demi meng­ubah na­sib rakyat men­ja­di lebih baik. Pen­jajahan yang datang silih ber­ganti, mulai Belanda, Je­pang, hing­ga ne­ga­ra sekutu, mem­buat ulama bang­kit untuk tidak hanya ber­bicara teori-teori ke­agama­an, tetapi juga turut bersimbah darah merebut dan mem­per­ta­han­kan kemer­de­ka­an.

Pengorbanan para ulama itu tentu tidak boleh sia-sia. Ke­wajiban rakyat Indonesia saat ini adalah menjaga ke­mer­de­ka­an dan kedaulatan NKRI dalam segala ancaman dan bahaya. Wajibnya menjaga NKRI sama dengan wajibnya melak­sa­na­kan syariat agama. Selamat Hari Pahlawan.
(thm)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.3434 seconds (0.1#10.140)