Menyasar Korupsi Korporasi
A
A
A
Asep N Mulyana
Asisten Khusus Jaksa Agung RI
OPERASI Tangkap Tangan (OTT) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) baru-baru ini tidak saja menangkap sejumlah oknum pejabat di lingkungan Pemerintahan Kabupaten Bekasi, melainkan juga mengamankan beberapa oknum dari sebuah perusahaan swasta terkemuka. Menurut Wakil Ketua KPK Saut Situmorang, hasil pengembangan penyidikan nantinya akan menjadi bahan pertimbangan, apakah akan menggunakan jerat pidana korupsi korporasi atau tidak dalam penanganan perkara tersebut.
Penangkapan oknum pejabat pemerintahan dan swasta terkait suap dalam pengurusan perizinan bukan baru pertama kali, melainkan juga terjadi dalam pengurusan izin tambang yang melibatkan Gubernur Sulawesi Tenggara Nur Alam, izin tata ruang yang melibatkan Bupati Bogor Rachmat Yasin, dan sederetan kasus lainnya. Fenomena itu menunjukkan bahwa korupsi telah bermetamorfosa dari kejahatan orang perorangan yang memiliki kedudukan terhormat (white collar crime) secara berjamaah dan acap kali juga melibatkan aktor-aktor politik (top hat crime) menjadi kejahatan korporasi (corporate crime).
Kejahatan Korporasi
Black’s Law Dictionary mengartikan kejahatan korporasi sebagai any criminal offence committed by and hence chargeable to a corporation because of activities of its officers or employees (e.g., price fixing, toxic waste dumping), often referred to as "white collar crime". Mengingat sifatnya yang abstrak maka pada hakikatnya kejahatan korporasi merupakan tindak pidana yang dilakukan organ-organ perusahaan sehingga akibat dari perbuatan pegawai dan karyawannya tersebut dapat dibebankan pertanggungjawaban pada suatu korporasi.
Menurut Steven Box, terjadinya kejahatan korporasi dapat dipahami melalui variabel dan motivasi yang dikarenakan adanya kontradiksi antara aktivitas korporasi dan lingkungannya. Motif-motif itu pada umumnya berupa persaingan (competition), karyawan (employees), dan konsumen (consumers), yang mengubah moralitas bisnis menjadi kebebasan untuk mencari keuntungan semaksimal mungkin dengan berbagai cara. Atas dasar itulah maka setidaknya terdapat 3 (tiga) tipologi dari kejahatan korporasi (Steven Box, 1983: 22).
Pertama, criminal corporation (corporatie’s misdaad), yang dapat diterjemahkan sebagai korporasi jahat. Dalam hal ini, sebuah perusahaan sengaja didirikan sebagai sarana untuk melakukan kejahatan, bahkan acap kali merupakan kamuflase untuk menyembunyikan kejahatan yang sesungguhnya. Praktik criminal corporation antara lain ditandai dengan pendirian paper company, yaitu suatu perusahaan abal-abal dengan struktur organisasi atau kepengurusan layaknya sebuah badan usaha pada umumnya.
Kedua, crime for corporation, di mana suatu kejahatan ditujukan untuk kepentingan korporasi dengan menjadikan korporasi sebagai tempat penampungan hasil kejahatan. Pemahaman keliru dari prinsip ekonomi untuk mendapatkan keuntungan yang sebesar-besarnya dengan pengeluaran seminimal mungkin menjadi salah satu pendorong utama dari pendirian korporasi sebagai penampung hasil kejahatan.
Ketiga, crime againts corporation, yaitu kejahatan yang dilakukan oleh para karyawan atau pekerja terhadap korporasi yang menimbulkan kerugian terhadap korporasi. Penggelapan ataupun pencurian aset perusahaan oleh karyawan merupakan salah satu contoh gamblang untuk menggambarkan tipe kejahatan ini.
Menurut hemat penulis, sejatinya crime againts corporation bukan merupakan kejahatan korporasi, melainkan lebih tepat disebut sebagai kejahatan karyawan (employee crimes ). Hal ini dikarenakan korporasi menjadi korban kejahatan yang dilakukan karyawan ataupun organ perusahaannya sendiri.
Menyasar Korupsi Korporasi
Beberapa pola korupsi dan modus operandi kejahatan korporasi pada hakikatnya merupakan fenomena state atau elite capture di mana pengaruh entitas korporasi yang begitu besar dapat memengaruhi dan mengontrol proses perumusan kebijakan publik. World Bank menjabarkan state capture dalam bentuk suap kepada anggota legislatif, pejabat negara, lembaga peradilan, pejabat bank sentral, serta sumbangan kampanye ilegal untuk partai politik. Kesemuanya itu untuk memengaruhi proses legislasi, mendapatkan proyek, memengaruhi keputusan hukum, proses perizinan dan pemberian rekomendasi, negosiasi dalam penetapan besaran nilai pajak maupun korupsi lainnya yang menyebabkan kerugian keuangan negara.
Salah satu elemen penting untuk dapat meminta pertanggungjawaban pidana terhadap korporasi terletak pada apakah perbuatan materiil entitas perusahaan semata-mata ditujukan untuk dan atas nama perseroan. Mendasarkan pada kerangka teoritik dan pengalaman empiris penulis maka setidaknya terdapat 3 (tiga) persoalan yang harus diperhatikan penyidik ketika akan menyasar keterlibatan korporasi dalam suatu kejahatan.
Pertama, kesesuaian antara perbuatan dan bidang usaha. Ketika penyuapan atau kejahatan yang dilakukan oleh entitas perusahaan, termasuk dalam ruang lingkup bidang usaha perusahaan serta ditujukan untuk memuluskan pekerjaan atau proyek-proyek milik perusahaan maka perbuatan itu merupakan kejahatan korporasi. Dalam hal ini, penyidik harus meneliti dengan cermat anggaran dasar perseroan maupun profile company sehingga dapat diketahui kesesuaian antara perbuatan jahat entitas perusahaan dan bidang usaha perseroan.
Kedua, aliran dana suatu kejahatan melalui suatu perusahaan. Ketika hasil kejahatan yang dilakukan entitas perusahaan masuk melalui rekening perusahaan maka dapat dikategorikan sebagai crime for corporation. Begitu pula halnya ketika asal-usul uang suap itu berasal dari dana perusahaan maka dapat dikategorikan sebagai kejahatan korporasi. Oleh karenanya, penyidik harus memeriksa rekening dan dokumen keuangan perusahaan sehingga dapat diperoleh hubungan kausalitas antara kejahatan yang dilakukan dan aliran keluar masuknya uang (cash flow ) perusahaan.
Ketiga, perbuatan jahat dilakukan oleh directing mind. Apakah kejahatan yang dilakukan oleh entitas perusahaan merupakan tindakan pribadi ataukah sebagai kejahatan korporasi, itu sangat tergantung pada kedudukan fungsionalnya dalam struktur organisasi perusahaan. Hal ini sejalan dengan teori identifikasi (directing minds theory ) yang diadopsi di Inggris sejak 1915, di mana kesalahan dari anggota direksi atau organ perusahaan yang memiliki kewenangan tertentu dalam suatu perusahaan dapat dibebankan kepada korporasi (Harry D Gould, 209: 701) Oleh karenanya, ketika penyuapan dilakukan atau melibatkan mereka yang memiliki kedudukan dalam pengambilan suatu keputusan perseroan maka pada hakikatnya tindakan penyelewengan tersebut dapat dikategorikan sebagai kejahatan korporasi.
Pembubaran Perseroan
Upaya KPK untuk menyasar keterlibatan entitas perseroan dalam penanganan perkara tindak pidana korupsi patut diapresiasi sebagai bentuk komitmen dan langkah progresif Aparat Penegak Hukum (APH) dalam penanganan korupsi yang melibatkan subyek hukum korporasi. Penanganan korupsi korporasi bukan baru kali ini dilakukan, karena sebelumnya KPK juga pernah memerkarakan PT Nidya Karya dan PT Tuah Sejati serta PT Duta Graha Indah.
Praktik penegakan hukum terhadap korporasi juga telah berulang kali dilakukan institusi kejaksaan, yang terlebih dahulu dan lebih berpengalaman dalam memerkarakan korporasi. Pengalaman empiris dan success story Kejaksaan RI dalam penanganan perkara tindak pidana korupsi terhadap PT Giri Jaladhi Wana (PT GJW) pada 2011 telah diikuti dengan penanganan perkara korupsi korporasi oleh satuan kerja Kejaksaan di Sumatera Utara, Bengkulu, Papua, dan berbagai daerah lainnya.
Institusi kejaksaan juga telah melengkapi berbagai perangkat hukum dengan menerbitkan Peraturan Jaksa Agung No 028/A/JA/10/2014 tanggal 1 Oktober 2014 tentang Pedoman Penanganan Perkara Pidana dengan Subyek Hukum Korporasi. Begitu pula sebelumnya telah diterbitkan berbagai Surat Edaran Jaksa Agung, yang dijadikan petunjuk teknis dan petunjuk pelaksanaan bagi para jaksa dalam menangani perkara tindak pidana korporasi
Di samping itu, bahkan tidak hanya melalui instrumen hukum pidana, namun institusi Kejaksaan RI juga menggunakan instrumen hukum perdata dalam rangka membubarkan perseroan yang diduga melakukan penyimpangan. Salah satunya dapat dilihat dari upaya Kejaksaan Tinggi Bengkulu yang mengajukan permohonan pembubaran PT Wijaya Cipta Perdana (WCP) ke Pengadilan Negeri Bengkulu dengan mendasarkan pada ketentuan Pasal 146 ayat (1) Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas. Atas permohonan Jaksa tersebut, selanjutnya Pengadilan Negeri Bengkulu menetapkan pembubaran PT WCP karena terbukti melanggar kepentingan umum dan atau melanggar peraturan perundang-undangan.
Penetapan Pengadilan Negeri Bengkulu No 144/Pdt.P/2016/PN Bgl tersebut menarik untuk dicermati, karena di dalamnya juga menetapkan Jaksa sebagai likuidator untuk melikuidasi PT WCP. Penetapan likuidator merupakan konsekuensi logis dari pembubaran suatu perseroan, sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 142 ayat (1) huruf c dan ayat (2) huruf a Undang-Undang tentang Perseroan Terbatas, namun harus diakui masih menimbulkan kegamangan dalam implementasinya.
Satu poin penting yang perlu dicatat bahwa semangat untuk memproses korporasi yang diduga melakukan penyimpangan hendaknya diikuti dengan penyiapan aturan organik sebagai peraturan pelaksanaannya. Dengan demikian, akan terdapat Standar Operating Procedure , yang menjadi landas pijak bagi APH dalam menindaklanjuti setiap penetapan dan atau putusan hakim yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap (inkracht van gewijsde).
Persoalan lain yang tidak kalah penting terkait peningkatan profesionalisme APH untuk secara bersungguh-sungguh dan berkomitmen dalam memberantas berbagai bentuk penyimpangan maupun kejahatan korporasi. Peningkatan kapasitas intelektual, wawasan, dan keterampilan APH dalam menjalankan prosedur hukum menjadi sebuah keniscayaan yang seharusnya terus dilakukan mengingat pesatnya dinamika aktivitas kehidupan masyarakat karena sejatinya hukum tidak bekerja dalam ruang hampa.
Asisten Khusus Jaksa Agung RI
OPERASI Tangkap Tangan (OTT) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) baru-baru ini tidak saja menangkap sejumlah oknum pejabat di lingkungan Pemerintahan Kabupaten Bekasi, melainkan juga mengamankan beberapa oknum dari sebuah perusahaan swasta terkemuka. Menurut Wakil Ketua KPK Saut Situmorang, hasil pengembangan penyidikan nantinya akan menjadi bahan pertimbangan, apakah akan menggunakan jerat pidana korupsi korporasi atau tidak dalam penanganan perkara tersebut.
Penangkapan oknum pejabat pemerintahan dan swasta terkait suap dalam pengurusan perizinan bukan baru pertama kali, melainkan juga terjadi dalam pengurusan izin tambang yang melibatkan Gubernur Sulawesi Tenggara Nur Alam, izin tata ruang yang melibatkan Bupati Bogor Rachmat Yasin, dan sederetan kasus lainnya. Fenomena itu menunjukkan bahwa korupsi telah bermetamorfosa dari kejahatan orang perorangan yang memiliki kedudukan terhormat (white collar crime) secara berjamaah dan acap kali juga melibatkan aktor-aktor politik (top hat crime) menjadi kejahatan korporasi (corporate crime).
Kejahatan Korporasi
Black’s Law Dictionary mengartikan kejahatan korporasi sebagai any criminal offence committed by and hence chargeable to a corporation because of activities of its officers or employees (e.g., price fixing, toxic waste dumping), often referred to as "white collar crime". Mengingat sifatnya yang abstrak maka pada hakikatnya kejahatan korporasi merupakan tindak pidana yang dilakukan organ-organ perusahaan sehingga akibat dari perbuatan pegawai dan karyawannya tersebut dapat dibebankan pertanggungjawaban pada suatu korporasi.
Menurut Steven Box, terjadinya kejahatan korporasi dapat dipahami melalui variabel dan motivasi yang dikarenakan adanya kontradiksi antara aktivitas korporasi dan lingkungannya. Motif-motif itu pada umumnya berupa persaingan (competition), karyawan (employees), dan konsumen (consumers), yang mengubah moralitas bisnis menjadi kebebasan untuk mencari keuntungan semaksimal mungkin dengan berbagai cara. Atas dasar itulah maka setidaknya terdapat 3 (tiga) tipologi dari kejahatan korporasi (Steven Box, 1983: 22).
Pertama, criminal corporation (corporatie’s misdaad), yang dapat diterjemahkan sebagai korporasi jahat. Dalam hal ini, sebuah perusahaan sengaja didirikan sebagai sarana untuk melakukan kejahatan, bahkan acap kali merupakan kamuflase untuk menyembunyikan kejahatan yang sesungguhnya. Praktik criminal corporation antara lain ditandai dengan pendirian paper company, yaitu suatu perusahaan abal-abal dengan struktur organisasi atau kepengurusan layaknya sebuah badan usaha pada umumnya.
Kedua, crime for corporation, di mana suatu kejahatan ditujukan untuk kepentingan korporasi dengan menjadikan korporasi sebagai tempat penampungan hasil kejahatan. Pemahaman keliru dari prinsip ekonomi untuk mendapatkan keuntungan yang sebesar-besarnya dengan pengeluaran seminimal mungkin menjadi salah satu pendorong utama dari pendirian korporasi sebagai penampung hasil kejahatan.
Ketiga, crime againts corporation, yaitu kejahatan yang dilakukan oleh para karyawan atau pekerja terhadap korporasi yang menimbulkan kerugian terhadap korporasi. Penggelapan ataupun pencurian aset perusahaan oleh karyawan merupakan salah satu contoh gamblang untuk menggambarkan tipe kejahatan ini.
Menurut hemat penulis, sejatinya crime againts corporation bukan merupakan kejahatan korporasi, melainkan lebih tepat disebut sebagai kejahatan karyawan (employee crimes ). Hal ini dikarenakan korporasi menjadi korban kejahatan yang dilakukan karyawan ataupun organ perusahaannya sendiri.
Menyasar Korupsi Korporasi
Beberapa pola korupsi dan modus operandi kejahatan korporasi pada hakikatnya merupakan fenomena state atau elite capture di mana pengaruh entitas korporasi yang begitu besar dapat memengaruhi dan mengontrol proses perumusan kebijakan publik. World Bank menjabarkan state capture dalam bentuk suap kepada anggota legislatif, pejabat negara, lembaga peradilan, pejabat bank sentral, serta sumbangan kampanye ilegal untuk partai politik. Kesemuanya itu untuk memengaruhi proses legislasi, mendapatkan proyek, memengaruhi keputusan hukum, proses perizinan dan pemberian rekomendasi, negosiasi dalam penetapan besaran nilai pajak maupun korupsi lainnya yang menyebabkan kerugian keuangan negara.
Salah satu elemen penting untuk dapat meminta pertanggungjawaban pidana terhadap korporasi terletak pada apakah perbuatan materiil entitas perusahaan semata-mata ditujukan untuk dan atas nama perseroan. Mendasarkan pada kerangka teoritik dan pengalaman empiris penulis maka setidaknya terdapat 3 (tiga) persoalan yang harus diperhatikan penyidik ketika akan menyasar keterlibatan korporasi dalam suatu kejahatan.
Pertama, kesesuaian antara perbuatan dan bidang usaha. Ketika penyuapan atau kejahatan yang dilakukan oleh entitas perusahaan, termasuk dalam ruang lingkup bidang usaha perusahaan serta ditujukan untuk memuluskan pekerjaan atau proyek-proyek milik perusahaan maka perbuatan itu merupakan kejahatan korporasi. Dalam hal ini, penyidik harus meneliti dengan cermat anggaran dasar perseroan maupun profile company sehingga dapat diketahui kesesuaian antara perbuatan jahat entitas perusahaan dan bidang usaha perseroan.
Kedua, aliran dana suatu kejahatan melalui suatu perusahaan. Ketika hasil kejahatan yang dilakukan entitas perusahaan masuk melalui rekening perusahaan maka dapat dikategorikan sebagai crime for corporation. Begitu pula halnya ketika asal-usul uang suap itu berasal dari dana perusahaan maka dapat dikategorikan sebagai kejahatan korporasi. Oleh karenanya, penyidik harus memeriksa rekening dan dokumen keuangan perusahaan sehingga dapat diperoleh hubungan kausalitas antara kejahatan yang dilakukan dan aliran keluar masuknya uang (cash flow ) perusahaan.
Ketiga, perbuatan jahat dilakukan oleh directing mind. Apakah kejahatan yang dilakukan oleh entitas perusahaan merupakan tindakan pribadi ataukah sebagai kejahatan korporasi, itu sangat tergantung pada kedudukan fungsionalnya dalam struktur organisasi perusahaan. Hal ini sejalan dengan teori identifikasi (directing minds theory ) yang diadopsi di Inggris sejak 1915, di mana kesalahan dari anggota direksi atau organ perusahaan yang memiliki kewenangan tertentu dalam suatu perusahaan dapat dibebankan kepada korporasi (Harry D Gould, 209: 701) Oleh karenanya, ketika penyuapan dilakukan atau melibatkan mereka yang memiliki kedudukan dalam pengambilan suatu keputusan perseroan maka pada hakikatnya tindakan penyelewengan tersebut dapat dikategorikan sebagai kejahatan korporasi.
Pembubaran Perseroan
Upaya KPK untuk menyasar keterlibatan entitas perseroan dalam penanganan perkara tindak pidana korupsi patut diapresiasi sebagai bentuk komitmen dan langkah progresif Aparat Penegak Hukum (APH) dalam penanganan korupsi yang melibatkan subyek hukum korporasi. Penanganan korupsi korporasi bukan baru kali ini dilakukan, karena sebelumnya KPK juga pernah memerkarakan PT Nidya Karya dan PT Tuah Sejati serta PT Duta Graha Indah.
Praktik penegakan hukum terhadap korporasi juga telah berulang kali dilakukan institusi kejaksaan, yang terlebih dahulu dan lebih berpengalaman dalam memerkarakan korporasi. Pengalaman empiris dan success story Kejaksaan RI dalam penanganan perkara tindak pidana korupsi terhadap PT Giri Jaladhi Wana (PT GJW) pada 2011 telah diikuti dengan penanganan perkara korupsi korporasi oleh satuan kerja Kejaksaan di Sumatera Utara, Bengkulu, Papua, dan berbagai daerah lainnya.
Institusi kejaksaan juga telah melengkapi berbagai perangkat hukum dengan menerbitkan Peraturan Jaksa Agung No 028/A/JA/10/2014 tanggal 1 Oktober 2014 tentang Pedoman Penanganan Perkara Pidana dengan Subyek Hukum Korporasi. Begitu pula sebelumnya telah diterbitkan berbagai Surat Edaran Jaksa Agung, yang dijadikan petunjuk teknis dan petunjuk pelaksanaan bagi para jaksa dalam menangani perkara tindak pidana korporasi
Di samping itu, bahkan tidak hanya melalui instrumen hukum pidana, namun institusi Kejaksaan RI juga menggunakan instrumen hukum perdata dalam rangka membubarkan perseroan yang diduga melakukan penyimpangan. Salah satunya dapat dilihat dari upaya Kejaksaan Tinggi Bengkulu yang mengajukan permohonan pembubaran PT Wijaya Cipta Perdana (WCP) ke Pengadilan Negeri Bengkulu dengan mendasarkan pada ketentuan Pasal 146 ayat (1) Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas. Atas permohonan Jaksa tersebut, selanjutnya Pengadilan Negeri Bengkulu menetapkan pembubaran PT WCP karena terbukti melanggar kepentingan umum dan atau melanggar peraturan perundang-undangan.
Penetapan Pengadilan Negeri Bengkulu No 144/Pdt.P/2016/PN Bgl tersebut menarik untuk dicermati, karena di dalamnya juga menetapkan Jaksa sebagai likuidator untuk melikuidasi PT WCP. Penetapan likuidator merupakan konsekuensi logis dari pembubaran suatu perseroan, sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 142 ayat (1) huruf c dan ayat (2) huruf a Undang-Undang tentang Perseroan Terbatas, namun harus diakui masih menimbulkan kegamangan dalam implementasinya.
Satu poin penting yang perlu dicatat bahwa semangat untuk memproses korporasi yang diduga melakukan penyimpangan hendaknya diikuti dengan penyiapan aturan organik sebagai peraturan pelaksanaannya. Dengan demikian, akan terdapat Standar Operating Procedure , yang menjadi landas pijak bagi APH dalam menindaklanjuti setiap penetapan dan atau putusan hakim yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap (inkracht van gewijsde).
Persoalan lain yang tidak kalah penting terkait peningkatan profesionalisme APH untuk secara bersungguh-sungguh dan berkomitmen dalam memberantas berbagai bentuk penyimpangan maupun kejahatan korporasi. Peningkatan kapasitas intelektual, wawasan, dan keterampilan APH dalam menjalankan prosedur hukum menjadi sebuah keniscayaan yang seharusnya terus dilakukan mengingat pesatnya dinamika aktivitas kehidupan masyarakat karena sejatinya hukum tidak bekerja dalam ruang hampa.
(mhd)