Eksternalitas: Pilihan Kebijakan
A
A
A
Candra Fajri Ananda
Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Brawijaya
EFEK defisit anggaran yang dialami BPJS Kesehatan pada akhirnya berhasil menyeret beberapa pihak lain untuk terlibat di dalam tata cara penyelesaiannya. Dalam paparannya di hadapan anggota DPR RI beberapa waktu lalu, Direktur BPJS Kesehatan mengatakan pihaknya tengah mengalami defisit kas anggaran sebesar Rp16,5 triliun di tahun berjalan (2018).
Angka sebesar itu merupakan agregat dari defisit tahun ini (Rencana Kerja Anggaran Tahunan/RKAT 2018) yang diperkirakan sekitar Rp12,1 triliun dan carry over 2017 sebesar Rp4,4 triliun. Adapun setelah direviu BPKP, defisitnya beringsut hanya sekitar Rp10,98 triliun.
Akar permasalahan defisit yang dialami BPJS Kesehatan disebutkan adanya gap antara biaya yang ditanggung dengan premi yang dibayar peserta BPJS. Laporan Direktur BPJS Kesehatan menyebutkan pada tahun 2016 biaya per orang yang ditanggung pada setiap bulannya sekitar Rp35.802, padahal premi per orangnya hanya sekitar Rp33.776.Kemudian pada tahun 2017 biaya per orangnya meningkat menjadi Rp39.744, tetapi premi per orang hanya sebesar Rp34.119. Jadi pada tahun 2016 ada gap Rp2.026 dan tahun 2017 meningkat menjadi Rp5.625.
Beberapa permasalahan struktural lain juga turut menghambat kinerja BPJS Kesehatan. Bisa dibilang apa yang tengah terjadi sekarang ini sudah cukup pelik. Ketua Dewan Jaminan Sosial Nasional (DJSN) menyebutkan masalah struktural pada iuran rutin peserta, terutama dari kalangan peserta mandiri.
Dari sekitar 199 juta peserta BPJS yang terdaftar, baru 107 juta peserta atau 54% di antaranya yang rutin membayar iuran. Jika dikalkulasi, angka tersebut baru setara Rp3,4 triliun. Makanya angka preminya sulit dinaikkan karena belum dilandasi kesadaran untuk senantiasa taat membayar.
Faktor lain juga berkaitan dengan sistem klaim asuransi yang terlalu “lunak”. Peserta yang baru sekali membayar pun sudah bisa melakukan klaim. Regulasi baru yang mencoba menunda hingga 14 hari setelah pendaftaran dan pembayaran pertama, klaim baru dilakukan.Tapi tidak sedikit peserta yang kemudian mulai lalai setelah mereka “ditolong” BPJS Kesehatan. Oleh karena itu cukup wajar jika BPJS banyak kebobolan.
Berbagai media sudah mengembuskan berita mengenai utang (tunggakan pembayaran) BPJS Kesehatan terhadap beberapa rumah sakit dan fasilitas kesehatan lain. Belum lagi dengan kerumitan saat melakukan klaim pada rumah sakit atau fasilitas kesehatan lainnya yang menjadi rujukan peserta.
Kelemahan pada sisi manajerial ini pula yang penulis yakini turut berimbas pada kepatuhan pembayaran premi. Oleh karena itu, untuk memperbaiki kondisi yang ada, harus sinkron antara pelayanan kesehatan yang diterima peserta dan manajemen keuangan di BPJS.
Kalau merujuk pada istilah orang Jawa, pelayanan dari BPJS Kesehatan seharusnya bisa sembodo, yakni seimbang antara kualitas pelayanan dengan harga yang dibayarkan (peserta) BPJS Kesehatan.
Eksternalitas, Cukai Rokok
Di dalam aktivitas ekonomi, selalu ada transaksi yang terjadi antara penjual dan pembeli sebagai pihak yang berkepentingan dalam pertukaran barang/jasa. Secara normatif, kedua aktor yang bertransaksi, yakni penjual dan pembeli, seyogianya mendapatkan manfaat bersama atas konsumsi barang/jasa tersebut.
Namun dalam praktiknya tidak semua jenis transaksi demikian, beberapa di antaranya hanya berpengaruh terbatas pada kedua pihak. Dalam beberapa hal bisa juga menyentuh pihak ketiga dan seterusnya. Nah, imbas atas transaksi dua pihak yang lantas turut berefek kepada pihak lain sering kali disebut eksternalitas.
Eksternalitas itu bisa menjalar pada dua sifat, yakni positif dan negatif. Untuk eksternalitas yang ber-genre positif bisa terus dikembangbiakkan agar nilai manfaatnya bisa semakin bertambah. Misalnya akibat permintaan produk dari sebuah industri di daerah X terus meningkat, semakin banyak penduduk di sekitar industri yang mulai terlibat pada aktivitas produksi.
Adapun untuk eksternalitas yang bersifat negatif, produksi atau konsumsi atas barang tersebut seharusnya perlu dibatasi. Sebab sifat dari eksternalitas negatif cenderung destruktif. Sebagai contoh terkait dengan produksi rokok.
Di satu sisi rokok memang banyak menghasilkan pertumbuhan ekonomi seiring dengan produksinya yang terus menggeliat dan terus menyerap tenaga kerja lokal. Namun di sisi yang lain, konsumsi rokok juga bisa menyebabkan munculnya efek-efek negatif baik kepada konsumennya (perokok aktif) atau lingkungan sekitarnya (perokok pasif). Oleh karena itu dalam proses usahanya, perusahaan rokok dibebani dua jenis pungutan oleh pemerintah secara sekaligus, yakni pajak perusahaan dan cukai rokok.
Secara konseptual, pajak rokok dibebankan kepada produsennya, sedangkan beban cukainya diserahkan kepada konsumen. Akan tetapi dalam praktiknya banyak produsen yang “mengakali” agar pajak juga dititipkan kepada konsumen entah bagaimana caranya sehingga profit yang mereka terima secara riil itu sudah bersih dari unsur pajak.
Kemudian untuk cukai, karena mereka sudah tidak ikut menanggung besaran biayanya, produsen rokok akan bertindak skeptis karena secara alamiah tidak ikut mengurangi profitnya. Kecuali jika tarif cukai terus-menerus dinaikkan karena khawatir akan sulit terjangkau oleh daya beli masyarakat.
Dalam perkembangan terbarunya, pemerintah akan menggunakan perolehan cukai untuk menutup defisit yang dialami BPJS. Lahirnya kebijakan ini (seperti biasa) ditanggapi secara paradoksal. Bahkan yang menarik, diskursus mengenai cukai rokok ini menyasar pada banyak hal.
Yang paling menarik adalah apakah penggunaan hasil cukai ini nanti akan turut mengganggu besaran APBD mengingat daerah juga menerima bagi hasil cukai tembakau? Berikutnya adalah apakah BPJS Kesehatan nanti akan semakin berharap pada semakin besarnya penerimaan cukai tembakau, yang dalam satu sisi berarti juga meningkatkan konsumsi rokok?
Ihwal mengenai dampak ke pendapatan daerah turut menjadi pembahasan karena berdasarkan UU No 39 Tahun 2007 Pasal 66A, ada jatah 2% dari cukai yang dihasilkan yang diperuntukkan sebagai dana bagi hasil (DCT) kepada provinsi penghasil.
Nantinya proporsinya akan kembali dideterminasikan kepada kabupaten/kota penghasil dan nonpenghasil. Dana tersebut digunakan untuk mendanai peningkatan kualitas bahan baku, pembinaan industri, pembinaan lingkungan sosial, sosialisasi ketentuan di bidang cukai, dan/atau pemberantasan barang kena cukai ilegal.
Jika pernyataan Dirjen Otonomi Daerah Kemendagri yang menyatakan bahwa cukai rokok merupakan pendapatan daerah terbesar itu benar, daerah akan kehilangan dananya secara signifikan demi membantu pendanaan BPJS Kesehatan. Diperkirakan cukai rokok tahun ini yang mengalir ke kantong BPJS Kesehatan adalah sebesar Rp5 triliun.
Presiden Joko Widodo pada saat memublikasikan perpres yang membahas cukai rokok ini meyakini bahwa tindakannya saat ini sudah tepat. Karena ini nanti manfaatnya juga menyinggung daerah.
Beberapa pengamat juga sependapat karena melihat realisasi penggunaan DCT belum terlalu optimal. Alasannya bisa karena sudah di-earmark (diatur dalam PMK) sehingga daerah tidak terlalu banyak terlibat dalam perencanaan, juga bisa karena memang daerah tidak terlalu “berniat” untuk mengoptimalkan DCT sesuai ekspektasi.
Malahan pada 2017 kemarin nilai penerimaan dari cukai tembakau yang terkumpul sekitar Rp145,47 triliun, lebih rendah ketimbang dana yang harus dikeluarkan pemerintah untuk mengatasi penyakit-penyakit kronis yang ditimbulkan dari konsumsi rokok seperti kanker, jantung, diabetes, dan gangguan kehamilan.
Nilai kerugian yang ditanggung pemerintah karena penyakit-penyakit itu sendiri ditaksir sekitar Rp160 triliun. Artinya praktik pengelolaan hasil-hasil cukai tembakau belum sinkron dengan tujuan dari pengenaan cukai itu sendiri.
Intervensi pemerintah untuk membatasi perokok melalui kenaikan harga cukai juga tidak cukup berhasil. Justru cukai (melalui konsumsi rokok) termasuk menjadi kontributor terbesar penyebab kemiskinan baik di desa maupun kota karena faktor harga dan pola konsumsi masyarakat yang semakin menganggap rokok sebagai pesaing dari komoditas beras untuk konsumsi yang tergolong primer.
Selain berpotensi menggerogoti pendapatan daerah, cukai rokok juga menjadi kontroversi karena dikhawatirkan akan membuat BPJS Kesehatan (dan pemerintah) akan semakin banyak berharap pada kian meningkatnya penerimaan dari cukai rokok. Tentu hal ini menjadi sebuah keanehan karena itu sama saja dengan berharap akan ada pertumbuhan konsumen rokok secara berkala.
Oleh karena itu kebijakan penggunaan cukai rokok untuk BPJS Kesehatan mestinya diimbangi dengan kehati-hatian. Sebab jika merujuk pada ketimpangan penerimaan dan kerugian atas konsumsi rokok di atas, manfaat penggunaan cukai rokok untuk BPJS Kesehatan bisa jadi hanya bersifat semu.
Pemerintah sendiri sudah memberikan bailout kepada BPJS Kesehatan sebesar Rp4,99 triliun yang dalam waktu dekat ini sudah bisa dicairkan. BPJS Kesehatan sendiri selaku unsur pemangku kepentingan negara yang sifatnya nirlaba memang akan terus salah kaprah jika tidak mampu mengelola dengan baik input dan output pembiayaannya.
Maka ada baiknya jika BPJS Kesehatan berani melakukan gebrakan struktural yang menyinggung soal pelayanan kesehatan yang ditawarkan beserta membangun kesadaran untuk taat pembayaran kepada peserta. Yang lebih utama lagi BPJS Kesehatan perlu semakin aktif untuk turut memitigasi bahaya-bahaya kesehatan yang tidak terawat melalui program promotif dan preventif kesehatan seperti yang sudah sering kali diupayakan.
Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Brawijaya
EFEK defisit anggaran yang dialami BPJS Kesehatan pada akhirnya berhasil menyeret beberapa pihak lain untuk terlibat di dalam tata cara penyelesaiannya. Dalam paparannya di hadapan anggota DPR RI beberapa waktu lalu, Direktur BPJS Kesehatan mengatakan pihaknya tengah mengalami defisit kas anggaran sebesar Rp16,5 triliun di tahun berjalan (2018).
Angka sebesar itu merupakan agregat dari defisit tahun ini (Rencana Kerja Anggaran Tahunan/RKAT 2018) yang diperkirakan sekitar Rp12,1 triliun dan carry over 2017 sebesar Rp4,4 triliun. Adapun setelah direviu BPKP, defisitnya beringsut hanya sekitar Rp10,98 triliun.
Akar permasalahan defisit yang dialami BPJS Kesehatan disebutkan adanya gap antara biaya yang ditanggung dengan premi yang dibayar peserta BPJS. Laporan Direktur BPJS Kesehatan menyebutkan pada tahun 2016 biaya per orang yang ditanggung pada setiap bulannya sekitar Rp35.802, padahal premi per orangnya hanya sekitar Rp33.776.Kemudian pada tahun 2017 biaya per orangnya meningkat menjadi Rp39.744, tetapi premi per orang hanya sebesar Rp34.119. Jadi pada tahun 2016 ada gap Rp2.026 dan tahun 2017 meningkat menjadi Rp5.625.
Beberapa permasalahan struktural lain juga turut menghambat kinerja BPJS Kesehatan. Bisa dibilang apa yang tengah terjadi sekarang ini sudah cukup pelik. Ketua Dewan Jaminan Sosial Nasional (DJSN) menyebutkan masalah struktural pada iuran rutin peserta, terutama dari kalangan peserta mandiri.
Dari sekitar 199 juta peserta BPJS yang terdaftar, baru 107 juta peserta atau 54% di antaranya yang rutin membayar iuran. Jika dikalkulasi, angka tersebut baru setara Rp3,4 triliun. Makanya angka preminya sulit dinaikkan karena belum dilandasi kesadaran untuk senantiasa taat membayar.
Faktor lain juga berkaitan dengan sistem klaim asuransi yang terlalu “lunak”. Peserta yang baru sekali membayar pun sudah bisa melakukan klaim. Regulasi baru yang mencoba menunda hingga 14 hari setelah pendaftaran dan pembayaran pertama, klaim baru dilakukan.Tapi tidak sedikit peserta yang kemudian mulai lalai setelah mereka “ditolong” BPJS Kesehatan. Oleh karena itu cukup wajar jika BPJS banyak kebobolan.
Berbagai media sudah mengembuskan berita mengenai utang (tunggakan pembayaran) BPJS Kesehatan terhadap beberapa rumah sakit dan fasilitas kesehatan lain. Belum lagi dengan kerumitan saat melakukan klaim pada rumah sakit atau fasilitas kesehatan lainnya yang menjadi rujukan peserta.
Kelemahan pada sisi manajerial ini pula yang penulis yakini turut berimbas pada kepatuhan pembayaran premi. Oleh karena itu, untuk memperbaiki kondisi yang ada, harus sinkron antara pelayanan kesehatan yang diterima peserta dan manajemen keuangan di BPJS.
Kalau merujuk pada istilah orang Jawa, pelayanan dari BPJS Kesehatan seharusnya bisa sembodo, yakni seimbang antara kualitas pelayanan dengan harga yang dibayarkan (peserta) BPJS Kesehatan.
Eksternalitas, Cukai Rokok
Di dalam aktivitas ekonomi, selalu ada transaksi yang terjadi antara penjual dan pembeli sebagai pihak yang berkepentingan dalam pertukaran barang/jasa. Secara normatif, kedua aktor yang bertransaksi, yakni penjual dan pembeli, seyogianya mendapatkan manfaat bersama atas konsumsi barang/jasa tersebut.
Namun dalam praktiknya tidak semua jenis transaksi demikian, beberapa di antaranya hanya berpengaruh terbatas pada kedua pihak. Dalam beberapa hal bisa juga menyentuh pihak ketiga dan seterusnya. Nah, imbas atas transaksi dua pihak yang lantas turut berefek kepada pihak lain sering kali disebut eksternalitas.
Eksternalitas itu bisa menjalar pada dua sifat, yakni positif dan negatif. Untuk eksternalitas yang ber-genre positif bisa terus dikembangbiakkan agar nilai manfaatnya bisa semakin bertambah. Misalnya akibat permintaan produk dari sebuah industri di daerah X terus meningkat, semakin banyak penduduk di sekitar industri yang mulai terlibat pada aktivitas produksi.
Adapun untuk eksternalitas yang bersifat negatif, produksi atau konsumsi atas barang tersebut seharusnya perlu dibatasi. Sebab sifat dari eksternalitas negatif cenderung destruktif. Sebagai contoh terkait dengan produksi rokok.
Di satu sisi rokok memang banyak menghasilkan pertumbuhan ekonomi seiring dengan produksinya yang terus menggeliat dan terus menyerap tenaga kerja lokal. Namun di sisi yang lain, konsumsi rokok juga bisa menyebabkan munculnya efek-efek negatif baik kepada konsumennya (perokok aktif) atau lingkungan sekitarnya (perokok pasif). Oleh karena itu dalam proses usahanya, perusahaan rokok dibebani dua jenis pungutan oleh pemerintah secara sekaligus, yakni pajak perusahaan dan cukai rokok.
Secara konseptual, pajak rokok dibebankan kepada produsennya, sedangkan beban cukainya diserahkan kepada konsumen. Akan tetapi dalam praktiknya banyak produsen yang “mengakali” agar pajak juga dititipkan kepada konsumen entah bagaimana caranya sehingga profit yang mereka terima secara riil itu sudah bersih dari unsur pajak.
Kemudian untuk cukai, karena mereka sudah tidak ikut menanggung besaran biayanya, produsen rokok akan bertindak skeptis karena secara alamiah tidak ikut mengurangi profitnya. Kecuali jika tarif cukai terus-menerus dinaikkan karena khawatir akan sulit terjangkau oleh daya beli masyarakat.
Dalam perkembangan terbarunya, pemerintah akan menggunakan perolehan cukai untuk menutup defisit yang dialami BPJS. Lahirnya kebijakan ini (seperti biasa) ditanggapi secara paradoksal. Bahkan yang menarik, diskursus mengenai cukai rokok ini menyasar pada banyak hal.
Yang paling menarik adalah apakah penggunaan hasil cukai ini nanti akan turut mengganggu besaran APBD mengingat daerah juga menerima bagi hasil cukai tembakau? Berikutnya adalah apakah BPJS Kesehatan nanti akan semakin berharap pada semakin besarnya penerimaan cukai tembakau, yang dalam satu sisi berarti juga meningkatkan konsumsi rokok?
Ihwal mengenai dampak ke pendapatan daerah turut menjadi pembahasan karena berdasarkan UU No 39 Tahun 2007 Pasal 66A, ada jatah 2% dari cukai yang dihasilkan yang diperuntukkan sebagai dana bagi hasil (DCT) kepada provinsi penghasil.
Nantinya proporsinya akan kembali dideterminasikan kepada kabupaten/kota penghasil dan nonpenghasil. Dana tersebut digunakan untuk mendanai peningkatan kualitas bahan baku, pembinaan industri, pembinaan lingkungan sosial, sosialisasi ketentuan di bidang cukai, dan/atau pemberantasan barang kena cukai ilegal.
Jika pernyataan Dirjen Otonomi Daerah Kemendagri yang menyatakan bahwa cukai rokok merupakan pendapatan daerah terbesar itu benar, daerah akan kehilangan dananya secara signifikan demi membantu pendanaan BPJS Kesehatan. Diperkirakan cukai rokok tahun ini yang mengalir ke kantong BPJS Kesehatan adalah sebesar Rp5 triliun.
Presiden Joko Widodo pada saat memublikasikan perpres yang membahas cukai rokok ini meyakini bahwa tindakannya saat ini sudah tepat. Karena ini nanti manfaatnya juga menyinggung daerah.
Beberapa pengamat juga sependapat karena melihat realisasi penggunaan DCT belum terlalu optimal. Alasannya bisa karena sudah di-earmark (diatur dalam PMK) sehingga daerah tidak terlalu banyak terlibat dalam perencanaan, juga bisa karena memang daerah tidak terlalu “berniat” untuk mengoptimalkan DCT sesuai ekspektasi.
Malahan pada 2017 kemarin nilai penerimaan dari cukai tembakau yang terkumpul sekitar Rp145,47 triliun, lebih rendah ketimbang dana yang harus dikeluarkan pemerintah untuk mengatasi penyakit-penyakit kronis yang ditimbulkan dari konsumsi rokok seperti kanker, jantung, diabetes, dan gangguan kehamilan.
Nilai kerugian yang ditanggung pemerintah karena penyakit-penyakit itu sendiri ditaksir sekitar Rp160 triliun. Artinya praktik pengelolaan hasil-hasil cukai tembakau belum sinkron dengan tujuan dari pengenaan cukai itu sendiri.
Intervensi pemerintah untuk membatasi perokok melalui kenaikan harga cukai juga tidak cukup berhasil. Justru cukai (melalui konsumsi rokok) termasuk menjadi kontributor terbesar penyebab kemiskinan baik di desa maupun kota karena faktor harga dan pola konsumsi masyarakat yang semakin menganggap rokok sebagai pesaing dari komoditas beras untuk konsumsi yang tergolong primer.
Selain berpotensi menggerogoti pendapatan daerah, cukai rokok juga menjadi kontroversi karena dikhawatirkan akan membuat BPJS Kesehatan (dan pemerintah) akan semakin banyak berharap pada kian meningkatnya penerimaan dari cukai rokok. Tentu hal ini menjadi sebuah keanehan karena itu sama saja dengan berharap akan ada pertumbuhan konsumen rokok secara berkala.
Oleh karena itu kebijakan penggunaan cukai rokok untuk BPJS Kesehatan mestinya diimbangi dengan kehati-hatian. Sebab jika merujuk pada ketimpangan penerimaan dan kerugian atas konsumsi rokok di atas, manfaat penggunaan cukai rokok untuk BPJS Kesehatan bisa jadi hanya bersifat semu.
Pemerintah sendiri sudah memberikan bailout kepada BPJS Kesehatan sebesar Rp4,99 triliun yang dalam waktu dekat ini sudah bisa dicairkan. BPJS Kesehatan sendiri selaku unsur pemangku kepentingan negara yang sifatnya nirlaba memang akan terus salah kaprah jika tidak mampu mengelola dengan baik input dan output pembiayaannya.
Maka ada baiknya jika BPJS Kesehatan berani melakukan gebrakan struktural yang menyinggung soal pelayanan kesehatan yang ditawarkan beserta membangun kesadaran untuk taat pembayaran kepada peserta. Yang lebih utama lagi BPJS Kesehatan perlu semakin aktif untuk turut memitigasi bahaya-bahaya kesehatan yang tidak terawat melalui program promotif dan preventif kesehatan seperti yang sudah sering kali diupayakan.
(poe)