Benih Diktator

Jum'at, 21 September 2018 - 07:46 WIB
Benih Diktator
Benih Diktator
A A A
Komaruddin Hidayat
Guru Besar Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah

MELIHAT indeks demokrasi Indonesia (IDI), terdapat indikasi bahwa masyarakat kita masih belum siap hidup dalam alam demokrasi. Masih senang menggunakan kekerasan dalam menyelesaikan masalah, baik kekerasan fisik maupun kekerasan verbal.

Ada dua macam potensi yang paradoksal, yang melekat pada setiap manusia, yaitu potensi untuk saling mengasihi, menyayangi, dan melindungi orang lain, sekaligus juga memiliki kecenderungan untuk menang sendiri dengan menindas orang lain yang dianggap mengganggu dan mengancam kepentingannya. Kedua kecenderungan ini volumenya relatif, tiap orang dan masyarakat berbeda-beda.

Faktor geografis, lingkungan sosial, pendidikan, status ekonomi dan budaya-politik sangat berpengaruh pada perkembangan pribadi seseorang, apakah akan mendukung nalurinya sebagai diktator ataukah sebaliknya, yaitu pribadi demokrat yang senang menghargai hak dan martabat orang lain.

Belakangan ini, beberapa masyarakat dan negara yang senang melakukan kekerasan fisik dan senjata dalam memperjuangkan kepentingannya sudah pasti mengondisikan suburnya budaya diktator, budaya yang tidak menghargai jalan damai dan rasional dalam memecahkan masalah sosial-politik. Ketika kalah, mereka akan melakukan pemberontakan dan perlawanan fisik.

Kalau nantinya menang dan jadi penguasa akan menjadi penguasa tiran, diktator. Kita prihatin membaca laporan IDI bahwa kekerasan fisik masih tinggi terjadi di Indonesia.

Bahkan dalam menyikapi perbedaan keyakinan dan mazhab dalam agama sekalipun, masih sering terjadi penindasan dan pengusiran secara fisik. Jika ditelusuri lebih dalam lagi, prinsip dan jalan musyawarah secara damai, sikap saling menghargai keyakinan agama, masih jauh.

Di sini, entah disadari ataukah tidak, paham keagamaan yang mereka peluk lebih mendukung sikap diktator. Kelompok yang berbeda pantas, bahkan sah, dimusnahkan.

Keyakinan dan paham keagamaannya cenderung membuatnya bersikap tiran. Orang yang berbeda agama itu berarti berada di jalan sesat, menjadi sekutu setan dalam melawan Tuhan, sedangkan musuh Tuhan berarti juga musuh orang yang beriman.

Bayangkan, kalau logika dangkal ini dominan dalam masyarakat maka tidak terelakkan faktor agama akan jadi sumber konflik, sementara yang namanya keyakinan beragama itu selalu plural. Di muka bumi, terdapat ratusan keyakinan beragama. Identitas dan semangat beragama bukannya jadi pendorong peradaban damai dan rasional, melainkan pemicu konflik dan emosional.

Dalam masyarakat dan negara yang menganut sistem demokrasi, paham keagamaan sekelompok orang kadang merupakan kritik dan antitesis terhadap prinsip-prinsip demokrasi. Demokrasi berangkat dari pengakuan dan penghargaan terhadap hak, martabat, dan kemerdekaan individu (individual right and freedom).

Pemilu (yang sehat dan benar) adalah salah satu instrumen untuk menyalurkan aspirasi rakyat dalam upaya menciptakan tatanan sosial dan pemerintahan yang melayani dan melindungi setiap warga negara. Jadi, dalam alam demokrasi, sumber kekuasaan dan undang-undang bernegara itu datang dari bawah, dari aspirasi rakyat.

Namun, sekelompok orang beragama menentang prinsip di atas. Kekuasaan dan undang-undang yang benar dan mesti diperjuangkan itu yang bersumber dari Tuhan. Yang jadi juru bicara Tuhan bukan anggota legislatif hasil pemilu, melainkan mereka yang mendalami dan menguasai kitab suci dan ilmu keagamaan serta sudah teruji akhlaknya mulia, tanpa cacat.

Di setiap agama memang ditemukan sekelompok orang "suci" yang menjadi panutan moral dan keilmuan umatnya. Hanya, sikap mereka terhadap dunia politik beda-beda.

Ada yang mengambil jarak tegas dari politik praktis. Mereka fokus pada kepemimpinan moral-spiritual. Ada lagi yang aktif dan gigih terlibat dalam politik praktis, untuk mengubah dan meluruskan sistem demokrasi yang dianggap sesat. Hukum Tuhan di atas hukum bikinan manusia.

Sebatas penalaran deduktif, argumen di atas kedengarannya valid. Tetapi jika ditelusuri lebih dalam dan lebih detail, banyak premis yang salah dan sangat tidak realistis.

Misalnya siapa yang memberi mandat bahwa seorang pendeta atau ulama adalah wakil paling otoritatif dari Tuhan? Bukankah musyawarah dan saling menghargai perbedaan dalam alam demokrasi itu juga ajaran Tuhan? Adakah dukungan best practise atau success story dalam sejarah bahwa jajaran ulama atau pendeta berhasil mengurus administrasi kenegaraan yang sedemikian kompleks?

Jadi, janganlah pemahaman keagamaan menambah suburnya budaya otoriter yang punya akar sejarah dalam perebutan kekuasaan di Nusantara ini. Paradigma Ken Arokisme mesti kita kubur dalam-dalam.

Mari kembangkan pendekatan damai, rasional, berorientasi pemecahan masalah bangsa, bukannya semata memenangkan pertarungan untuk meraih jabatan sesaat. Mari kita dewasakan kehidupan berdemokrasi, kecuali kita akan mengundang tampilnya diktator yang sangat bisa jadi akan mengantarkan hancurnya bangsa dan negara ini.
(poe)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.7067 seconds (0.1#10.140)