Menyoal Defisit Neraca Perdagangan
A
A
A
Eko Setiobudi
Praktisi Ekonomi
NERACA Perdagangan Indonesia (NPI) kembali mengalami defisit pada Agustus 2018. Data Badan Pusat Statistik (BPS) menyebutkan bahwa defisit neraca perdagangan tersebut nilainya USD1,02 miliar. Defisit ini terjadi karena impor Indonesia pada Agustus 2018 sebesar USD16,8 miliar, sedangkan ekspor Indonesia di bulan yang sama tercatat USD15,82 miliar. Komposisi penyumbang defisit, yakni sektor migas sebesar USD8,03 miliar, sementara sektor nonmigas justru surplus USD4 miliar.
Defisit ini semakin menambah panjang defisit neraca perdagangan Indonesia dari Januari hingga Agustus, yakni sebesar USD4,09 miliar. Sebagaimana diketahui, pada Januari, neraca perdagangan Indonesia mengalami defisit sebesar USD56 juta, Februari defisit sebesar USD52,9 juta, Maret surplus sebesar USD1,12 miliar, April defisit sebesar USD1,63 miliar, lalu Mei defisit sebesar USD1,52 miliar, dan Juni surplus sebesar USD1,74 miliar. Pada Juli terjadi defisit sebesar USD2,03 miliar dan Agustus kembali defisit sebesar USD1,02 miliar.
Sisi Impor
Impor bahan bakar minyak (BBM) lagi-lagi menjadi salah satu penyumbang utama defisit neraca perdagangan. Artinya, konsumsi BBM dalam negeri masih sangat tinggi dan memiliki ketergantungan terhadap impor meskipun pemerintah sudah melaksanakan regulasi penghapusan BBM bersubsidi dan mengalihkannya pada sektor infrastruktur serta menganut skema harga pasar untuk BBM.
Namun, langkah pemerintah seharusnya tidak parsial. Dibutuhkan langkah-langkah fundamental untuk melakukan tata kelola migas karena konsumsi dalam negeri yang cenderung meningkat dari tahun ke tahun. Pemerintah harus segera melakukan tata kelola sektor migas nasional yang antara lain dilakukan dengan peningkatan produksi migas nasional dan pembangunan kilang untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri. Tentunya dengan pendekatan proporsionalitas pada konsumsi BBM setiap daerah yang berbeda-beda pola dan jumlah konsumsinya.
Variabel lain yang tidak boleh dilupakan adalah keberanian pemerintah untuk mengeluarkan political will terkait dengan pemanfaatan energi alternatif. Bagaimanapun pemanfaatan energi alternatif memang terus digalakkan oleh pemerintah. Namun, tanpa political will yang jelas dan tegas, masyarakat masih enggan untuk beralih dari energi berbasis fosil kepada energi alternatif seperti biodiesel, gas alam, dan lain sebagainya. Karena, hal ini menyangkut dengan kebiasaan masyarakat selama puluhan tahun yang sudah telanjur nyaman dan familier dengan energi berbasis fosil.
Artinya, dibutuhkan kerangka kebijakan dan road map yang jelas, baik menyangkut dengan produksi, konsumsi, alokasi, pengawasan dan kebijakan evaluasi untuk mengukur seberapa efektifnya political will terkait dengan penggunaan energi alternatif tersebut.
Sisi Ekspor
Hal lain yang tidak kalah penting adalah menyangkut dengan ekspor Indonesia. Nilai ekspor pada April sebesar USD14,5 miliar, Mei sebesar USD16,2 miliar, Juni sebesar USD13 miliar, lalu Juli sebesar USD16,2 miliar, dan Agustus sebesar USD15,82 miliar. Dari data tersebut bisa dilihat bahwa ekspor memiliki tren yang positif dan cenderung mengalami peningkatan meskipun nilainya kecil.
Ekspor sebesar USD15,82 miliar disumbang oleh industri pengolahan sebesar 74,47% (USD11,78 miliar), migas sebesar 8,75% (USD1,38 miliar), tambang 14,88% (USD2,35 miliar), dan pertanian 1,80% (USD0,30 miliar). Komoditas yang menyumbang penurunan ekspor di antaranya industri pengolahan yang menyumbang 0,48%.
Pada sisi lain, pelemahan nilai tukar rupiah terhadap dolar AS seharusnya mampu mendongkrak ekspor nasional. Sayangnya, gejolak pelemahan ekonomi dunia yang ditandai dengan penurunan daya beli global juga berkontribusi terhadap stagnasi nilai ekspor nasional, selain komoditas nasional yang “dianggap” kurang bisa berkompetisi di pasar dunia. Oleh sebab itu, momentum pelemahan rupiah terhadap dolar AS harus dimanfaatkan semaksimal mungkin. Karena, nilai tukar rupiah yang melemah akan membuat nilai produk ekspor Indonesia menjadi lebih kompetitif, khususnya dari sisi harga.
Fakta mengenai perang dagang antara AS dan China dalam geoekonomi global harus dijadikan sebagai tantangan, bukan hambatan. Sebagaimana diketahui, perang dagang memang tengah menggema setelah Presiden Amerika Serikat Donald Trump mengenakan bea masuk terhadap baja dan alumunium. Trump juga membuat kebijakan bea masuk khusus untuk produk-produk asal China, yang notabene adalah mitra dagang terbesar AS. Sementara China juga bertekad membalas langkah AS dengan melakukan hal yang sama.
Memanfaatkan momentum pelemahan nilai tukar rupiah serta perang dagang memang sangat mungkin. Pasalnya, AS dan China adalah dua negara mitra dagang atau tujuan ekspor terbesar bagi Indonesia. Data BPS menyebutkan bahwa negara-negara tujuan ekspor terbesar untuk produk nonmigas pada Agustus 2018 adalah ke China dengan nilai USD 2,11 miliar, disusul Amerika Serikat USD1,60 miliar dan Jepang USD1,48 miliar. Kontribusi ketiganya mencapai 35,95%. Sementara ekspor ke Uni Eropa atau dari 28 negara di dalamnya hanya sebesar USD1,52 miliar.
Oleh sebab itu, tren defisit neraca perdagangan selama periode Januari-Agustus 2018 harus dijadikan momentum untuk menjaga dan memperbaiki stabilitas perekonomian dalam negeri khususnya dengan orientasi memperkuat daya tahan ekonomi nasional di tengah gejolak geoekonomi yang cenderung tidak pasti.
Hal ini antara lain bisa dilakukan dengan (1) menjaga iklim investasi khususnya dengan pola menarik investasi pada industri berorientasi ekspor, (2) memperbaiki kinerja dan tata kelola industri dan ekspor sehingga mampu meningkatkan daya saing komoditi nasional di pasar dunia, (3) mempermudah perizinan, memberikan insentif pajak, khususnya pada investasi-investasi yang berorientasi ekspor serta mempercepat kebijakan Tingkat Komponen Dalam Negeri (TKDN) terhadap semua produk yang dipasarkan di Indonesia, dalam rangka mendorong tumbuhnya industri lokal serta memperbesar penyerapan tenaga kerja lokal.
Jika semua hal tersebut bisa dilakukan secara komprehensif dan kontinu, cita-cita menjadi negara maju dengan daya topang industri dalam negeri serta membuka investasi pada sektor-sektor yang bernilai tambah tinggi, baik secara teknologi produksi maupun pergeseran dari ekspor bahan mentah menjadi ekspor barang menjadi akan sangat mudah diwujudkan. Selain itu, produk-produk yang bernilai tambah tinggi mampu meningkatkan daya saing ekspor produk-produk Indonesia di pasar global. Alhasil, pasar-pasar baru bagi produk-produk Indonesia dapat terbuka lebar. Dan, ekspor kita tidak selalu bergantung pada “belas kasihan” negara lain dalam bentuk penurunan atau insentif impor yang berikan negara-negara lain kepada Indonesia sebagaimana yang banyak terjadi selama ini.
Praktisi Ekonomi
NERACA Perdagangan Indonesia (NPI) kembali mengalami defisit pada Agustus 2018. Data Badan Pusat Statistik (BPS) menyebutkan bahwa defisit neraca perdagangan tersebut nilainya USD1,02 miliar. Defisit ini terjadi karena impor Indonesia pada Agustus 2018 sebesar USD16,8 miliar, sedangkan ekspor Indonesia di bulan yang sama tercatat USD15,82 miliar. Komposisi penyumbang defisit, yakni sektor migas sebesar USD8,03 miliar, sementara sektor nonmigas justru surplus USD4 miliar.
Defisit ini semakin menambah panjang defisit neraca perdagangan Indonesia dari Januari hingga Agustus, yakni sebesar USD4,09 miliar. Sebagaimana diketahui, pada Januari, neraca perdagangan Indonesia mengalami defisit sebesar USD56 juta, Februari defisit sebesar USD52,9 juta, Maret surplus sebesar USD1,12 miliar, April defisit sebesar USD1,63 miliar, lalu Mei defisit sebesar USD1,52 miliar, dan Juni surplus sebesar USD1,74 miliar. Pada Juli terjadi defisit sebesar USD2,03 miliar dan Agustus kembali defisit sebesar USD1,02 miliar.
Sisi Impor
Impor bahan bakar minyak (BBM) lagi-lagi menjadi salah satu penyumbang utama defisit neraca perdagangan. Artinya, konsumsi BBM dalam negeri masih sangat tinggi dan memiliki ketergantungan terhadap impor meskipun pemerintah sudah melaksanakan regulasi penghapusan BBM bersubsidi dan mengalihkannya pada sektor infrastruktur serta menganut skema harga pasar untuk BBM.
Namun, langkah pemerintah seharusnya tidak parsial. Dibutuhkan langkah-langkah fundamental untuk melakukan tata kelola migas karena konsumsi dalam negeri yang cenderung meningkat dari tahun ke tahun. Pemerintah harus segera melakukan tata kelola sektor migas nasional yang antara lain dilakukan dengan peningkatan produksi migas nasional dan pembangunan kilang untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri. Tentunya dengan pendekatan proporsionalitas pada konsumsi BBM setiap daerah yang berbeda-beda pola dan jumlah konsumsinya.
Variabel lain yang tidak boleh dilupakan adalah keberanian pemerintah untuk mengeluarkan political will terkait dengan pemanfaatan energi alternatif. Bagaimanapun pemanfaatan energi alternatif memang terus digalakkan oleh pemerintah. Namun, tanpa political will yang jelas dan tegas, masyarakat masih enggan untuk beralih dari energi berbasis fosil kepada energi alternatif seperti biodiesel, gas alam, dan lain sebagainya. Karena, hal ini menyangkut dengan kebiasaan masyarakat selama puluhan tahun yang sudah telanjur nyaman dan familier dengan energi berbasis fosil.
Artinya, dibutuhkan kerangka kebijakan dan road map yang jelas, baik menyangkut dengan produksi, konsumsi, alokasi, pengawasan dan kebijakan evaluasi untuk mengukur seberapa efektifnya political will terkait dengan penggunaan energi alternatif tersebut.
Sisi Ekspor
Hal lain yang tidak kalah penting adalah menyangkut dengan ekspor Indonesia. Nilai ekspor pada April sebesar USD14,5 miliar, Mei sebesar USD16,2 miliar, Juni sebesar USD13 miliar, lalu Juli sebesar USD16,2 miliar, dan Agustus sebesar USD15,82 miliar. Dari data tersebut bisa dilihat bahwa ekspor memiliki tren yang positif dan cenderung mengalami peningkatan meskipun nilainya kecil.
Ekspor sebesar USD15,82 miliar disumbang oleh industri pengolahan sebesar 74,47% (USD11,78 miliar), migas sebesar 8,75% (USD1,38 miliar), tambang 14,88% (USD2,35 miliar), dan pertanian 1,80% (USD0,30 miliar). Komoditas yang menyumbang penurunan ekspor di antaranya industri pengolahan yang menyumbang 0,48%.
Pada sisi lain, pelemahan nilai tukar rupiah terhadap dolar AS seharusnya mampu mendongkrak ekspor nasional. Sayangnya, gejolak pelemahan ekonomi dunia yang ditandai dengan penurunan daya beli global juga berkontribusi terhadap stagnasi nilai ekspor nasional, selain komoditas nasional yang “dianggap” kurang bisa berkompetisi di pasar dunia. Oleh sebab itu, momentum pelemahan rupiah terhadap dolar AS harus dimanfaatkan semaksimal mungkin. Karena, nilai tukar rupiah yang melemah akan membuat nilai produk ekspor Indonesia menjadi lebih kompetitif, khususnya dari sisi harga.
Fakta mengenai perang dagang antara AS dan China dalam geoekonomi global harus dijadikan sebagai tantangan, bukan hambatan. Sebagaimana diketahui, perang dagang memang tengah menggema setelah Presiden Amerika Serikat Donald Trump mengenakan bea masuk terhadap baja dan alumunium. Trump juga membuat kebijakan bea masuk khusus untuk produk-produk asal China, yang notabene adalah mitra dagang terbesar AS. Sementara China juga bertekad membalas langkah AS dengan melakukan hal yang sama.
Memanfaatkan momentum pelemahan nilai tukar rupiah serta perang dagang memang sangat mungkin. Pasalnya, AS dan China adalah dua negara mitra dagang atau tujuan ekspor terbesar bagi Indonesia. Data BPS menyebutkan bahwa negara-negara tujuan ekspor terbesar untuk produk nonmigas pada Agustus 2018 adalah ke China dengan nilai USD 2,11 miliar, disusul Amerika Serikat USD1,60 miliar dan Jepang USD1,48 miliar. Kontribusi ketiganya mencapai 35,95%. Sementara ekspor ke Uni Eropa atau dari 28 negara di dalamnya hanya sebesar USD1,52 miliar.
Oleh sebab itu, tren defisit neraca perdagangan selama periode Januari-Agustus 2018 harus dijadikan momentum untuk menjaga dan memperbaiki stabilitas perekonomian dalam negeri khususnya dengan orientasi memperkuat daya tahan ekonomi nasional di tengah gejolak geoekonomi yang cenderung tidak pasti.
Hal ini antara lain bisa dilakukan dengan (1) menjaga iklim investasi khususnya dengan pola menarik investasi pada industri berorientasi ekspor, (2) memperbaiki kinerja dan tata kelola industri dan ekspor sehingga mampu meningkatkan daya saing komoditi nasional di pasar dunia, (3) mempermudah perizinan, memberikan insentif pajak, khususnya pada investasi-investasi yang berorientasi ekspor serta mempercepat kebijakan Tingkat Komponen Dalam Negeri (TKDN) terhadap semua produk yang dipasarkan di Indonesia, dalam rangka mendorong tumbuhnya industri lokal serta memperbesar penyerapan tenaga kerja lokal.
Jika semua hal tersebut bisa dilakukan secara komprehensif dan kontinu, cita-cita menjadi negara maju dengan daya topang industri dalam negeri serta membuka investasi pada sektor-sektor yang bernilai tambah tinggi, baik secara teknologi produksi maupun pergeseran dari ekspor bahan mentah menjadi ekspor barang menjadi akan sangat mudah diwujudkan. Selain itu, produk-produk yang bernilai tambah tinggi mampu meningkatkan daya saing ekspor produk-produk Indonesia di pasar global. Alhasil, pasar-pasar baru bagi produk-produk Indonesia dapat terbuka lebar. Dan, ekspor kita tidak selalu bergantung pada “belas kasihan” negara lain dalam bentuk penurunan atau insentif impor yang berikan negara-negara lain kepada Indonesia sebagaimana yang banyak terjadi selama ini.
(pur)