Dilema Turki

Rabu, 12 September 2018 - 07:48 WIB
Dilema Turki
Dilema Turki
A A A
Dinna Wisnu PhD
Pengamat Hubungan Internasional
@dinnawisnu

SEPERTI seorang pelari maraton, Turki tampak terengah-engah kehabisan napas menjelang garis akhir. Kedudukan organisasi teroris Haya’t Tahrir al-Sham yang terpojok di Provinsi Idlib dianggap sebagai tanda-tanda akan berkurangnya konflik bersenjata dan kemungkinan akan lahirnya proses negosiasi dan diplomasi untuk menyelesaikan konflik di Suriah.

Krisis ekonomi dalam negeri, ancaman gelombang pengungsi dari Provinsi Idlib, dan ancaman sanksi ekonomi AS menyebabkan posisi Turki dalam percaturan politik internasional semakin lemah. Turki dulu adalah negara yang dapat memengaruhi nasib pihak-pihak yang bersengketa dalam perang proksi di Suriah, tetapi nasibnya saat ini justru akan ditekan oleh pihak-pihak tersebut bila tidak dapat menyelesaikan tiga masalah pokok di atas.

Turki adalah salah satu negara yang tingkat pertumbuhannya tertinggi kedua di dunia pada 2010, menyusul China (Tiongkok) sebelum perang Suriah bermula pada 2011. Tingkat pertumbuhan ekonomi Turki adalah 9,2% pada 2010, 8,8% pada 2011, namun langsung turun tajam 2,2% pada 2012.

Angka itu kemudian kembali tumbuh tinggi karena didorong oleh tingkat konsumsi yang cukup masif walaupun melubangi neraca negara yang semakin luas defisitnya. Dana asing yang mengalir melalui surat obligasi dan pasar saham menambal lubang itu, namun dengan risiko mudahnya dana-dana asing itu “pergi” hanya karena sentimen-sentimen seperti yang terjadi tiga bulan belakangan ini.

Defisit yang berjalan tentu terkait dengan produktivitas yang rendah di dalam negeri, namun keterlibatan Turki dalam perang di Suriah juga menjadi salah satu sebab pengeluaran Turki membengkak. Turki awalnya berusaha menjaga hubungan baik dengan Suriah, terutama Presiden Assad.

Dua negara memiliki hubungan bilateral yang baik. Turki misalnya menjembatani negosiasi antara Suriah dan Israel pada 2007 terkait konflik di Dataran Tinggi Golan. Israel tidak memiliki hubungan diplomatik dengan Suriah, namun berhubungan baik dengan Turki.

Suriah dan Turki juga mendirikan Dewan Kerja Sama Tingkat Tinggi Quadripartit pada Juni 2010 bersama Yordania dan Lebanon demi menciptakan zona pergerakan bebas barang dan orang-orang.

Turki mulai terlibat ketika mulai membuka perbatasan dan wilayahnya untuk pengungsian pada Maret 2011. Awalnya jumlah pengungsi adalah 250 orang dan ditampung di wilayah Hatay dan kemudian menjadi 10.000 orang pada Juni.

Turki adalah satu di antara penanda tangan Konvensi 1951 tentang Pengungsi di mana ada kewajiban untuk menerima dan memberikan status pengungsi bagi warga yang mencari perlindungan. Turki saat ini menampung lebih dari 3,7 juta pengungsi dari Suriah.

Kehadiran jutaan pengungsi itu juga membuat Turki menjadi basis berdirinya organisasi-organisasi perlawanan atau pemberontak melawan Pemerintah Suriah. Turki juga pada akhirnya terlibat dalam mengondisikan dan membantu organisasi-organisasi itu berkembang seiring dengan banjirnya bantuan militer dari negara-negara Barat, terutama AS dan Eropa, kepada kelompok-kelompok pemberontak. Hal ini yang menyebabkan ketegangan dengan Pemerintah Suriah menjadi semakin tajam.

Turki juga menerima bantuan dana dari beberapa negara untuk menghidupi para pengungsi selain uang dari kantong mereka sendiri. Otoritas Penanggulangan Bencana dan Kejahatan Turki (AFAD) adalah satu di antara pihak yang mengalokasikan program dan dana untuk pengungsi.

Sebelum perang, lembaga ini menghabiskan sekitar USD395 juta per tahun dan bertambah lebih dari 75% menjadi USD1,5 miliar pada 2011, dan USD1,7 miliar pada 2012 sebagai akibat langsung dari perang sipil Suriah. Turki telah mengalokasi pengeluaran lebih dari USD30 miliar pada 2018 ini di saat negara-negara lain mengurangi kontribusi sumbangannya.

Ada sisi positif dan negatif secara ekonomi karena kehadiran pengungsi di Turki. Sisi positifnya adalah tersedia para pekerja yang dapat mendorong perekonomian skala kecil di beberapa kota pengungsi.

Sebagian pengungsi juga dapat membuka toko-toko kecil untuk membiayai hidup mereka. Kegiatan-kegiatan kemanusiaan di sekitar kampung-kampung pengungsian juga menimbulkan efek domino yang positif bagi perekonomian lokal.

Sisi negatifnya, penduduk lokal merasa terjadi peningkatan pengangguran karena kompetisi dengan tenaga kerja pengungsi dari Suriah. Hal ini terjadi khususnya di sektor informal yang proporsinya lebih besar daripada sektor formal.

Para majikan di Turki lebih bersedia mempekerjakan para pengungsi Suriah dengan tingkat pendidikan yang sama dengan mayoritas warga Turki karena tidak perlu membayar pajak jaminan sosial. Karena itu, para pengungsi semakin banyak dipekerjakan di sektor informal, menggantikan penduduk Turki yang berkeahlian rendah.

Situasi mulai berubah total ketika Donald Trump memimpin Amerika Serikat. Keengganan AS untuk terlibat dalam perang Suriah secara konkret diterjemahkan dengan berkurangnya bantuan baik dana dan teknis kepada kelompok-kelompok pemberontak.

Di satu sisi, Rusia mulai terlibat membantu Suriah pada 2015 dan menimbulkan kehancuran kelompok pemberontak mulai dari kelompok radikal seperti ISIS hingga kelompok moderat seperti Front Perlawanan Suriah. Satu persatu basis pemberontak dapat dikuasai oleh Pemerintah Suriah dan sebagian besar tersisa di Provinsi Idlib Suriah.

KTT Rusia, Turki, dan Iran di Teheran minggu lalu sejatinya adalah membahas situasi terakhir di Idlib ini. Konferensi Astana tahun lalu telah menetapkan provinsi ini sebagai satu dari empat de-escalation zone.

Provinsi Idlib adalah yang terbesar selain Latakia, Aleppo, dan Hama. Menurut perjanjian, tidak ada pesawat tempur yang diizinkan untuk menerbangkan misi di wilayah yang termasuk dalam zona aman.

Namun, masalahnya, kelompok teroris juga memanfaatkan kesepakatan itu untuk berlindung bersama dengan kelompok-kelompok yang moderat. Kelompok moderat adalah kelompok pemberontak yang bersedia mengambil jalan negosiasi daripada kekerasan. Ini yang menjadi alasan bagi Pemerintah Suriah yang tentu didukung oleh Rusia untuk melakukan penguasaan total di provinsi tersebut.

Turki mengharapkan agar tidak ada penyerangan total di Provinsi Idlib karena khawatir terjadi gelombang pengungsi besar-besaran yang akan menyeberang ke Turki. Terpenuhinya harapan ini sangat tergantung dari belas kasihan atau niat baik dari Rusia dan Iran karena Turki tidak lagi memiliki dukungan AS seperti sebelumnya.

Dalam KTT Rusia, Turki, Iran itu sendiri, khususnya Rusia, mengambil jalan tengah yaitu dengan meminta Turki untuk memulai upaya diplomasi dengan kelompok pemberontak baik yang radikal dan moderat untuk mengarahkan mereka ke jalur diplomasi. Rusia dan Suriah tetap akan menyisir wilayah-wilayah yang sepi penduduk.

Apabila Turki gagal untuk menunaikan tugas tersebut, Rusia segera membantu Suriah membebaskan Provinsi Idlib dari kelompok-kelompok pemberontak. Tiga kepala negara juga membicarakan penggunaan mata uang selain dolar AS dalam perdagangan antarmereka.

AS dan Eropa sendiri telah menyatakan bahwa akan melakukan intervensi apabila ditemukan ada penggunaan senjata kimia. Apabila hal itu terjadi lagi, maka posisi politik Turki mungkin akan semakin sulit antara mendukung Suriah atau membantu AS yang sudah dijadikan musuh karena dianggap biang keladi rusuhnya ekonomi di Turki.

Turki juga menuduh AS membantu kelompok Kurdi untuk memiliki wilayah otonomi. Turki sendiri membutuhkan Eropa untuk membantu pemulihan ekonomi mereka. Dan, kita tahu hubungan perdagangan dengan Eropa sangat penting bagi Turki meski Eropa kerap memprotes pelanggaran HAM yang dilakukan oleh Turki.

Pengalaman Turki ini menggambarkan ragam dilema yang dialami Turki dan tarik-menarik kepentingan antarnegara terkait pemecahan konflik. Pada akhirnya negara-negara yang bertetangga dekat menjadi penanggung jawab utama. Pilihan Turki akan memengaruhi pula nuansa penanganan migran, konflik bersenjata, dan kerja sama ekonomi antarkubu-kubu politik global yang mulai mengental.
(poe)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.3512 seconds (0.1#10.140)