Obesitas Kota: Tantangan Capres

Senin, 27 Agustus 2018 - 08:15 WIB
Obesitas Kota: Tantangan Capres
Obesitas Kota: Tantangan Capres
A A A
Tantan Hermansah
Dosen Sosiologi Perkotaan; Sekjen P2MI

KOTA adalah ruang di mana sebagian besar anggota masyarakat tinggal, hidup, mencari nafkah, dan meneruskan keturunan. Di kota juga setiap individu membangun mimpi, menjaring sahabat, meraih cita-cita, mengakumulasi modal, dan akhirnya menyusun lempeng-lempeng peradaban. Karena itu, bisa dikatakan kota substansi kehidupan manusia.

Di kota-kota, lalu lintas ide perubahan saling berkontestasi untuk menemukan ruang dan (kadang juga) pengikut. Ide-ide dijangkarkan ke bumi, dikaitkan melangit, berdinamisasi dalam beragam gelombang arena dan medan. Setiap capaiannya itu kemudian disematkan sebagai kekuatan peradaban kemanusiaan.

Dengan begitu, membangun kota sesungguhnya tengah membangun kemanusiaan. Menyelesaikan masalah kota berarti menyelesaikan sebagian masalah kemanusiaan. Inilah yang harus dicermati para pemimpin, tidak terkecuali para kontestan pilkada, DPR/DPD, dan para calon presiden dan wakil presiden di setiap massa.

Sejak lama kota dan masyarakatnya ”paling berisik”. Dulu sebelum platform media sosial hadir, media massa adalah corong (warga) kota. Mereka berteriak, beropini, dan ”protes” mengatasnamakan masyarakat. Karena spektrumnya paling kuat dengan pusat kekuasaan, mereka lebih cepat didengar ketimbang yang lain, desa misalnya.

Sepanjang sejarah salah satu masalah kota yang pasti dihadapi oleh para pemimpin adalah obesitas kota. Obesitas kota yang dimaksud di sini adalah gaya dan sistem hidup kota yang mengundang dan menyedot energi di sekitarnya untuk masuk ke kota. Tidak jarang limpahan energi tersebut tidak benar-benar dibutuhkan oleh ”tubuh” kota sendiri. Akibatnya, sebagai tubuh yang kelebihan pasokan menghasilkan obesitas.

Obesitas kota tervisualisasikan dalam beragam wujud: kota yang makin meluas secara tata ruang, baik ke pinggir maupun ke atas menjulang. Energi melimpah menyebabkan kota berkinerja tinggi. Namun di sisi lain, banyak yang hidup di dalamnya tidak lagi produktif, baik karena sifat alamiahnya maupun kekurangan sistem yang mengelola sumber daya tersebut.

Citra kota yang makmur dan memakmurkan terus terkampanyekan dalam beragam tampilan. Kecantikannya (meski tidak jarang dibalut kesemuan) mampu menyedot energi di sekitarnya. Dengan begitu, pada satu sisi kota aktif menarik energi, tetapi di sisi lain banyak energi yang idle tidak produktif.

Dalam kerangka ini, skenario untuk mengelola kota agar tidak mengalami obesitas harus disegerakan. Sebab, gelembungan sumber daya yang tidak terkelola rentan disalahgunakan. Tentu pendekatan parsial yang hanya fokus kepada kotanya sendiri, tidak akan menyelesaikan inti dari permasalahan kota. Perlu cara pandang paripurna dan mendalam agar obesitas kota, baik yang masih potensial maupun yang sudah terjadi, bisa diatasi.

Berikut ini beberapa pemikiran atau ide yang bisa dipikirkan oleh para capres dalam mengelola kota pada masa mendatang. Pertama, gerakan bangun desa. Siapa pun presidennya, maka pembangunan desa harus dijadikan sama prioritasnya dengan kota. Jika desa-desa maju dan berkelanjutan, desa akan meminimalisasi urbanisasi. Bahkan bisa jadi, desa menjadi alternatif bagi mereka yang sudah di kota tapi idle kembali ke desa. Saat ini guyuran dana ke desa-desa cukup besar. Namun sayangnya, guyuran dana yang besar belum berjalin berkelindan dengan guyuran ide dan gagasan-gagasannya. Menuntut warga desa sendiri agar kreatif memanfaatkan dana desa tersebut jelas kurang pas. Para pemikir, intelektual, ahli, serta profesional banyaknya ada di kota. Mengapa mereka tidak diarahkan untuk menjadi bagian dari gerakan membangun desa?

Kedua, diet kota. Sebagai pendekatan untuk mengelola obesitas tubuh, maka pengelolaan asupan kota perlu didesain secara detil, rinci, sistematis, dan sistemik. Meski kota tidak bisa atau tidak boleh menolak sumber daya yang masuk ke wilayahnya, perlu ada desain tertentu bagi setiap kota untuk membolehkan/menidakbolehkan sumber daya apa yang masuk ke situ. Misalnya, makanan yang masuk sudah dalam bentuk yang dikemas sehingga tidak menghasilkan sampah yang banyak; orang-orang yang masuk harus memiliki kecakapan minimal apa, dengan jumlah berapa, dan seterusnya. Pemerintah kota, dengan demikian, dituntut untuk memiliki data komprehensif mengenai kebutuhan aktual warganya. Listing kebutuhan inilah yang kemudian dipublikasikan agar diketahui oleh semua orang yang bermaksud memenuhi kualifikasinya.

Ketiga, optimalisasi energi internal. Langkah lain adalah audit energi dan sumber daya internal yang tersedia. Dalam tubuh yang mengalami obesitas, misalnya, terdapat lemak berlebih yang bisa dioptimalisasikan untuk menjadi energi lain yang bermanfaat. Dengan sistem saat ini, pemerintah kota bisa memiliki akses kepada pergerakan sosial ekonomi warga, bahkan struktur pengeluarannya. Dengan demikian, pemerintah bisa mengetahui kapasitas sumber daya yang dimiliki sendiri di dalam. Untuk energi atau sumber daya yang ada bisa dioptimalkan dengan jalan meningkatkan kapasitasnya sehingga ada perubahan mendasar mulai dari mindset, karakter, relasi, dan kecakapan lain.
(whb)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.3537 seconds (0.1#10.140)