Istana di Penjara
A
A
A
Bisa jadi kemewahan kamar tahanan Fahmi Darmawansyah setara dengan kamar Artalyta Suryani alias Ayin. Kedua terpidana kasus suap ini telah menyeret kepala rutan/lapas masing-masing. Setelah kasus kamar mewahnya terbongkar pada 2010 lalu Artalyta menumbangkan jabatan kepala rutan Pondok Bambu, sedangkan Fahmi menyeret kepala Lapas Sukamiskin.
Keduanya pastilah tidak gratisan membangun “istana” di dalam penjara. Dalam kasus Fahmi, ditemukan barang bukti berupa uang ratusan juta dan mobil mewah yang telah disita Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sebagai barang bukti (KORAN SINDO, 22/7/18).
Rutan ataupun lapas ditujukan agar orang yang dipenjara kapok berbuat salah ataupun keliru serta dapat kembali ke jalan yang benar. Namun dalam kasus yang berkaitan dengan korupsi, agaknya tidak demikian. Mungkin saja besaran yang dicuri dari kas negeri ini sebagian dialokasikan untuk mengantisipasi agar mereka tetap nyaman di penjara. Dampaknya, penjara tidak dapat mengubah mereka menjadi insyaf. Bahkan terkesan penjara justru menjadi kerajaan tersendiri yang dapat memberikan kesejahteraan kepada sejumlah pihak lain di dalamnya.
Diskriminatif
Bila Plautus (945) mendengar perihal ini, dirinya akan membenarkan bahwa homo homini lupus terus berkembang kendati penataan hukum dan pemenjaraan orang bersalah telah dibuat. Jika dulu keperkasaan diukur oleh kesaktian kanuragan, sekarang diukur oleh kekuasaan dan keuangan. Yang berkuasa dan ber-uang pastilah memiliki potensi untuk mendapat perlakuan istimewa. Boleh jadi penjara dianggap sebagai tempat peristirahatan yang bisa ditinggalkan kapan saja asalkan ketika ada pemeriksaan dirinya berada di dalamnya.
Godaan yang besar bisa bersentuhan dengan kesejahteraan sipir. Kebutuhan yang terus merangkak naik agaknya bisa mengganggu penegakan nilai yang harus dipegang teguh seperti Dananjaya (1986) tuliskan.
Upaya mengubah perilaku narapidana berubah dengan perubahan perilaku dirinya sejalan dengan tuntutan kebutuhan. Tidak mengherankan bila kalapas pun rela menerima mobil mewah dan sejumlah uang besar. Mungkin juga sejumlah sipir di bawahnya menerima manfaat dari praktik tersebut. Akhirnya kekuasaan dirinya kalah oleh napi perkasa dan berubah menjadi pelayan publik secara diskriminatif.
Reformasi
Bila keistimewaan fasilitas sudah dapat dilakukan, keistimewaan lainnya pastilah dapat diwujudkan. Dalam lapas pemilihan pimpinan napi pun dapat dilakukan dengan landasan kesanggupan keuangan, bukan dengan otot. Penguasanya bukan hanya dapat mengatur personal sesama napi dan sejumlah oknum sipir serta roda bisnis di luar sana. Dengan kekuasaan dan uangnya, segala yang haram di balik jeruji menjadi bisa dinikmati. Tidak mengherankan bila dari lembaga angker tersebut napi bisa keluar masuk dengan sedikit kebijakan dilahirkan.
Pemilik hak istimewa di atas diperkirakan bisa keluar lapas dengan alasan periksa kesehatan di bawah pengawalan ketat. Atau mungkin hiburan di luar dengan kamuflase tertentu. Tidak juga tertutup kemungkinan mengundang anak buah di luaran sana untuk rapat di dalam penjara dengan dalih membesuk.
Bila hal demikian benar adanya, lapas tidak lagi dapat diandalkan untuk mengubah perilaku tidak baik menjadi baik. Maka pantas saja jika orang yang terkena operasi tangkap tangan (OTT) dan mengenakan rompi KPK masih dapat tersenyum lebar dan melambaikan tangan karena mungkin sudah bisa memprediksi keadaan di dalam lapas.
Dengan gambaran di atas, penjara perlu direformasi secara radikal. Secara struktural, lapas patut dikoneksikan dengan lembaga lain agar dapat saling mengoreksi dan mengawasi. Dengan demikian otoritas pimpinan di dalamnya menjadi berkurang agar ketika memutuskan untuk memberikan keistimewaan kepada napi menjadi birokratis, lama, dan mahal. Reward dan punishment pun perlu ditegakkan dengan benar.
Bisa jadi lantaran kesejahteraan yang dianggap tidak sepadan dengan beban kerjanya, sipir rela melacurkan diri untuk memperoleh
tambahan penghasilan dari napi. Pimpinan pun menjadi lamban menggunakan punishment karena merasa tidak memberikan reward yang memadai sampai akhirnya KPK melakukan OTT seperti kasus di Lapas Sukamiskin.
Secara kultural, penanaman kebanggaan menjadi aparat yang baik diletakkan pada kesanggupan menolak iming-iming apa pun dari napi. Dengan demikian pemberian fasilitas yang berlebihan dapat dikurangi. Untuk sipir yang patuh agaknya harus mendapat reward dalam kariernya, sementara yang tidak harus diberi sanksi.
Kondisi ini harus dapat dikembangkan dalam kehidupan sosialnya agar semangat menjadi kaya tidak membesar bila berujung melanggar aturan yang harus dipatuhinya. Dukungan internal lembaga serta dukungan keluarga perlu terus dipompakan agar loyalitas sipir terhadap pekerjaannya tidak pernah padam.
Secara eksternal, suntikan fatwa dari para pemuka agama serta pemuka masyarakat yang dikuatkan riset akademisi menjadi penting agar tekad para sipir untuk mengubah prilaku napi menjadi lebih baik dapat terus bertahan.
Kekompakan semua pihak pastilah sangat dinantikan agar penjara tidak dijadikan istana oleh sejumlah oknum napi dengan memberikan kesejahteraan kepada sebagian oknum sipir. Hal demikian akan membangun kecemburuan bukan hanya kepada sejumlah napi yang lain namun juga kepada sipir lain yang dengan susah payah mengawal dan patuh aturan.
Penangkapan Kalapas Sukamiskin semoga menjadi pelajaran berharga agar semua pihak turut mengawal aturan dan filosofis dihadirkannya penjara. Dengan pemahaman dan kesadaran dari kasus di atas, semoga tidak ada lagi istana dalam penjara yang menyakitkan bagi napi lain serta melukai hati rakyat yang mendambakan keadilan dan perbaikan kehidupan negeri ini.
Keduanya pastilah tidak gratisan membangun “istana” di dalam penjara. Dalam kasus Fahmi, ditemukan barang bukti berupa uang ratusan juta dan mobil mewah yang telah disita Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sebagai barang bukti (KORAN SINDO, 22/7/18).
Rutan ataupun lapas ditujukan agar orang yang dipenjara kapok berbuat salah ataupun keliru serta dapat kembali ke jalan yang benar. Namun dalam kasus yang berkaitan dengan korupsi, agaknya tidak demikian. Mungkin saja besaran yang dicuri dari kas negeri ini sebagian dialokasikan untuk mengantisipasi agar mereka tetap nyaman di penjara. Dampaknya, penjara tidak dapat mengubah mereka menjadi insyaf. Bahkan terkesan penjara justru menjadi kerajaan tersendiri yang dapat memberikan kesejahteraan kepada sejumlah pihak lain di dalamnya.
Diskriminatif
Bila Plautus (945) mendengar perihal ini, dirinya akan membenarkan bahwa homo homini lupus terus berkembang kendati penataan hukum dan pemenjaraan orang bersalah telah dibuat. Jika dulu keperkasaan diukur oleh kesaktian kanuragan, sekarang diukur oleh kekuasaan dan keuangan. Yang berkuasa dan ber-uang pastilah memiliki potensi untuk mendapat perlakuan istimewa. Boleh jadi penjara dianggap sebagai tempat peristirahatan yang bisa ditinggalkan kapan saja asalkan ketika ada pemeriksaan dirinya berada di dalamnya.
Godaan yang besar bisa bersentuhan dengan kesejahteraan sipir. Kebutuhan yang terus merangkak naik agaknya bisa mengganggu penegakan nilai yang harus dipegang teguh seperti Dananjaya (1986) tuliskan.
Upaya mengubah perilaku narapidana berubah dengan perubahan perilaku dirinya sejalan dengan tuntutan kebutuhan. Tidak mengherankan bila kalapas pun rela menerima mobil mewah dan sejumlah uang besar. Mungkin juga sejumlah sipir di bawahnya menerima manfaat dari praktik tersebut. Akhirnya kekuasaan dirinya kalah oleh napi perkasa dan berubah menjadi pelayan publik secara diskriminatif.
Reformasi
Bila keistimewaan fasilitas sudah dapat dilakukan, keistimewaan lainnya pastilah dapat diwujudkan. Dalam lapas pemilihan pimpinan napi pun dapat dilakukan dengan landasan kesanggupan keuangan, bukan dengan otot. Penguasanya bukan hanya dapat mengatur personal sesama napi dan sejumlah oknum sipir serta roda bisnis di luar sana. Dengan kekuasaan dan uangnya, segala yang haram di balik jeruji menjadi bisa dinikmati. Tidak mengherankan bila dari lembaga angker tersebut napi bisa keluar masuk dengan sedikit kebijakan dilahirkan.
Pemilik hak istimewa di atas diperkirakan bisa keluar lapas dengan alasan periksa kesehatan di bawah pengawalan ketat. Atau mungkin hiburan di luar dengan kamuflase tertentu. Tidak juga tertutup kemungkinan mengundang anak buah di luaran sana untuk rapat di dalam penjara dengan dalih membesuk.
Bila hal demikian benar adanya, lapas tidak lagi dapat diandalkan untuk mengubah perilaku tidak baik menjadi baik. Maka pantas saja jika orang yang terkena operasi tangkap tangan (OTT) dan mengenakan rompi KPK masih dapat tersenyum lebar dan melambaikan tangan karena mungkin sudah bisa memprediksi keadaan di dalam lapas.
Dengan gambaran di atas, penjara perlu direformasi secara radikal. Secara struktural, lapas patut dikoneksikan dengan lembaga lain agar dapat saling mengoreksi dan mengawasi. Dengan demikian otoritas pimpinan di dalamnya menjadi berkurang agar ketika memutuskan untuk memberikan keistimewaan kepada napi menjadi birokratis, lama, dan mahal. Reward dan punishment pun perlu ditegakkan dengan benar.
Bisa jadi lantaran kesejahteraan yang dianggap tidak sepadan dengan beban kerjanya, sipir rela melacurkan diri untuk memperoleh
tambahan penghasilan dari napi. Pimpinan pun menjadi lamban menggunakan punishment karena merasa tidak memberikan reward yang memadai sampai akhirnya KPK melakukan OTT seperti kasus di Lapas Sukamiskin.
Secara kultural, penanaman kebanggaan menjadi aparat yang baik diletakkan pada kesanggupan menolak iming-iming apa pun dari napi. Dengan demikian pemberian fasilitas yang berlebihan dapat dikurangi. Untuk sipir yang patuh agaknya harus mendapat reward dalam kariernya, sementara yang tidak harus diberi sanksi.
Kondisi ini harus dapat dikembangkan dalam kehidupan sosialnya agar semangat menjadi kaya tidak membesar bila berujung melanggar aturan yang harus dipatuhinya. Dukungan internal lembaga serta dukungan keluarga perlu terus dipompakan agar loyalitas sipir terhadap pekerjaannya tidak pernah padam.
Secara eksternal, suntikan fatwa dari para pemuka agama serta pemuka masyarakat yang dikuatkan riset akademisi menjadi penting agar tekad para sipir untuk mengubah prilaku napi menjadi lebih baik dapat terus bertahan.
Kekompakan semua pihak pastilah sangat dinantikan agar penjara tidak dijadikan istana oleh sejumlah oknum napi dengan memberikan kesejahteraan kepada sebagian oknum sipir. Hal demikian akan membangun kecemburuan bukan hanya kepada sejumlah napi yang lain namun juga kepada sipir lain yang dengan susah payah mengawal dan patuh aturan.
Penangkapan Kalapas Sukamiskin semoga menjadi pelajaran berharga agar semua pihak turut mengawal aturan dan filosofis dihadirkannya penjara. Dengan pemahaman dan kesadaran dari kasus di atas, semoga tidak ada lagi istana dalam penjara yang menyakitkan bagi napi lain serta melukai hati rakyat yang mendambakan keadilan dan perbaikan kehidupan negeri ini.
(nag)