Istana di Penjara

Kamis, 26 Juli 2018 - 08:15 WIB
Istana di Penjara
Istana di Penjara
A A A
Bisa jadi keme­wah­an kamar ta­han­an Fah­mi Dar­ma­wan­syah setara dengan ka­mar Artalyta Suryani alias Ayin. Kedua terpidana kasus suap ini telah menyeret kepala ru­tan/lapas masing-masing. Se­­telah kasus kamar mewahnya ter­­bongkar pada 2010 lalu A­r­ta­lyta menumbangkan jabatan ke­­pa­la rutan Pondok Bambu, se­­dangkan Fahmi menyeret ke­pa­la Lapas Sukamiskin.

Ke­dua­nya pastilah tidak gra­tisan mem­­bangun “istana” di da­lam pen­­jara. Dalam kasus Fah­­mi, di­te­­mukan barang bukti be­rupa uang ratusan juta dan mo­bil me­wah yang telah disita Ko­misi Pem­berantasan Ko­rup­si (KPK) se­bagai barang bukti (KORAN SINDO, 22/7/18).

Rutan ataupun lapas di­tu­ju­kan agar orang yang dipenjara ka­pok berbuat salah ataupun ke­liru serta dapat kembali ke ja­lan yang benar. Namun dalam ka­sus yang berkaitan dengan ko­rupsi, agaknya tidak de­mi­kian. Mungkin saja besaran yang dicuri dari kas negeri ini se­ba­gian dialokasikan untuk meng­antisipasi agar mereka te­tap nyaman di penjara. Dam­pak­nya, penjara tidak dapat meng­ubah mereka menjadi in­syaf. Bahkan terkesan penjara jus­tru menjadi kerajaan ter­sen­di­ri yang dapat memberikan ke­se­jahteraan kepada sejumlah pi­hak lain di dalamnya.

Diskriminatif

Bila Plautus (945) men­de­ngar perihal ini, dirinya akan mem­benarkan bahwa homo ho­mi­ni lupus terus berkembang ken­dati penataan hukum dan pe­menjaraan orang bersalah te­lah dibuat. Jika dulu ke­per­ka­sa­an diukur oleh kesaktian ka­nu­ra­gan, sekarang diukur oleh ke­kua­saan dan keuangan. Yang ber­kuasa dan ber-uang pastilah me­miliki potensi untuk men­da­pat perlakuan istimewa. Boleh ja­di penjara dianggap sebagai tem­pat peristirahatan yang bisa di­t­inggalkan kapan saja asalkan ke­tika ada pemeriksaan dirinya ber­ada di dalamnya.

Godaan yang besar bisa ber­sen­tuhan dengan kese­jah­te­ra­an sipir. Kebutuhan yang terus me­rangkak naik agaknya bisa meng­­gang­gu penegakan nilai yang ha­rus dipegang teguh se­per­­ti Da­nan­­jaya (1986) tu­lis­kan.

Upa­ya meng­ubah perilaku na­ra­pi­dana ber­ubah dengan per­ubah­an pe­ri­la­ku dirinya se­ja­­lan de­ngan tun­tut­an ke­bu­tuh­an. Ti­dak meng­herankan bi­la ka­la­pas pun rela me­ne­rima mo­bil me­wah dan se­jum­lah uang be­sar. Mung­kin ju­ga se­jum­lah sipir di ba­wah­­nya me­ne­ri­ma man­­f­aat dari prak­tik ter­se­but. Ak­hir­nya ke­kua­sa­an di­­r­i­nya ka­lah oleh na­pi per­kasa dan ber­­ubah men­jadi p­e­la­yan pub­lik se­cara diskriminatif.

Reformasi

Bila keistimewaan fa­silitas su­dah dapat di­la­kukan, ke­is­ti­me­wa­­an lainn­ya pastilah da­pat di­­wujudkan. Da­lam la­pas pe­mi­lih­an pim­pin­an napi pun d­a­pat di­la­ku­kan dengan lan­dasan ke­­sang­gupan ke­uang­an, bukan de­­ngan otot. Pe­ngua­sa­nya bu­kan hanya dapat meng­atur per­so­­nal sesama napi dan se­jumlah ok­­num sipir serta ro­da bisnis di luar sana. Dengan ke­kuasaan dan uangnya, segala yang ha­ram di balik jeruji men­jadi bisa di­nik­mati. Tidak meng­h­e­­ran­kan bila da­ri lembaga ang­ker ter­sebut na­pi bisa keluar ma­suk de­ngan se­di­­kit ke­bi­jak­an dilahirkan.

Pemilik hak istimewa di atas di­perkirakan bisa keluar la­pas de­ngan alasan periksa ke­­se­hat­an di bawah penga­wal­an ketat. Atau mungkin hi­bur­an di luar de­ngan kamuflase ter­­tentu. Ti­dak juga tertutup ke­mungkinan meng­undang anak buah di luar­an sana untuk ra­pat di dalam pen­­jara dengan da­lih mem­be­suk.

Bila hal de­mi­kian benar ada­nya, lapas ti­dak lagi dapat di­an­dalkan un­tuk mengubah pe­ri­laku tidak baik menjadi baik. Ma­ka pan­tas saja jika orang yang terkena ope­rasi tangkap ta­ngan (OTT) dan me­nge­na­kan rom­pi KPK ma­sih dapat ter­­se­nyum lebar dan me­lam­baikan ta­ngan karena mung­kin su­dah bi­sa mem­prediksi ke­adaan di da­lam lapas.

Dengan gambaran di atas, pe­n­jara perlu di­r­­eformasi se­ca­ra ra­di­­­k­­al. Secara stru­k­tu­ral, la­pas patut di­ko­nek­­sikan dengan lem­b­a­­ga lain agar dapat sa­­ling me­ngoreksi dan meng­­a­wasi. De­ngan de­­mi­­kian otoritas pim­pin­­an di dalamnya men­ja­di ber­­k­u­rang agar ke­ti­ka me­mu­tus­­kan untuk mem­be­ri­kan ke­is­­t­i­me­waan kepada na­pi men­ja­di bi­rokratis, lama, dan mahal. Re­­ward dan pu­nish­ment pun per­­l­u di­tegakkan de­ngan benar.

Bi­sa ja­di lantaran ke­sejahteraan yang dianggap ti­dak sepadan de­ngan beban ker­janya, sipir re­la m­ela­cur­kan diri untuk mem­per­oleh
tam­bahan penghasilan da­ri na­­pi. Pimpinan pun men­ja­di lam­ban menggunakan pu­nish­­ment karena merasa tidak mem­­berikan reward yang me­ma­­dai sampai akhirnya KPK me­­lakukan OTT seperti kasus di Lapas Sukamiskin.

Secara kultural, penanaman ke­­banggaan menjadi aparat yang baik diletakkan pada ke­sang­­gupan menolak iming-iming apa pun dari napi. D­e­ngan d­e­mikian pem­berian fa­si­li­tas yang ber­le­bih­an dapat di­ku­rangi. U­ntuk si­pir yang patuh agak­­nya harus men­dapat re­ward da­lam ka­rier­nya, se­men­ta­ra yang tidak harus di­beri sank­si.

Kon­disi ini harus da­pat di­k­­em­bang­kan dalam ke­hi­­dup­an so­sial­nya agar semangat men­­ja­di ka­ya tidak membesar bi­la ber­ujung melanggar aturan yang ha­rus dipatuhinya. D­u­kung­­an in­ter­nal lembaga serta du­­kungan ke­luarga perlu terus di­­p­om­pak­an agar loyalitas sipir ter­­hadap pe­kerjaannya tidak per­­nah padam.

Secara eksternal, suntikan fat­­wa dari para pemuka agama ser­­ta pemuka masyarakat yang di­­kuatkan riset akademisi men­ja­­di penting agar tekad para si­pir un­tuk mengubah prilaku na­pi men­jadi lebih baik dapat terus ber­­tahan.

Kekompakan semua pi­­hak pastilah sangat di­nan­ti­kan agar penjara tidak dijadikan is­t­­ana oleh sejumlah oknum na­pi dengan memberikan ke­se­jah­te­­raan kepada sebagian ok­num si­pir. Hal demikian akan mem­ba­ngun kecemburuan bu­kan ha­nya kepada sejumlah na­pi yang lain namun juga kepada si­pir lain yang dengan susah pa­yah me­nga­wal dan patuh atur­an.

Pe­nang­kapan Kalapas Su­ka­mis­kin se­moga menjadi pe­l­a­jar­an ber­har­ga agar semua pihak tu­rut me­ngawal aturan dan fi­lo­so­fis di­ha­dirkannya penjara. De­ngan pe­mahaman dan ke­sa­dar­an dari ka­sus di atas, semoga ti­dak ada la­gi istana dalam pe­n­ja­ra yang me­nyakitkan bagi na­pi lain serta me­lukai hati rakyat yang me­n­dam­bakan keadilan dan per­baik­an kehidupan ne­ge­ri ini.
(nag)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.3283 seconds (0.1#10.140)