Mengakreditasi PAUD dan PNF
A
A
A
Biyanto
Dosen UIN Sunan Ampel dan Anggota BAN PAUD dan PNF
SATUAN pendidikan mulai pendidikan anak usia dini (PAUD), pendidikan dasar dan menegah, hingga perguruan tinggi (PT), semakin menyadari pentingnya akreditasi. Pendidikan nonformal (PNF) dalam berbagai bentuknya, seperti Lembaga Kursus dan Pelatihan (LKP), Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat (PKBM), dan Sanggar Kegiatan Belajar (SKB), juga menjadikan akreditasi sebagai mekanisme penjaminan mutu.
Untuk melaksanakan tugas akreditasi PAUD dan PNF, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) membentuk Badan Akreditasi Nasional (BAN) PAUD dan PNF. Data Direktorat Jenderal PAUD dan Dikmas Kemendikbud menyebutkan bahwa pada 2017 jumlah populasi PAUD dan PNF mencapai 258.146 satuan dengan rincian PAUD (228.140), LKP (18.744), PKBM (11.262), dan SKB (297).
Dari total jumlah PAUD dan PNF, satuan pendidikan yang belum terakreditasi mencapai 228.540 (88.42%). Dengan kata lain, satuan pendidikan PAUD dan PNF yang terakreditasi masih sangat sedikit. Data tersebut sekaligus menjadi tantangan BAN PAUD dan PNF.
Untuk mengejar ketertinggalan lembaga yang belum terakreditasi, pada 2018 Kemendikbud mengalokasikan pembiayaan akreditasi sebanyak 30.275 satuan pendidikan. Jumlah ini meningkat drastis dibanding kuota akreditasi pada 2017 yang hanya 10.913 satuan.
Peningkatkan alokasi pembiayaan akreditasi menunjukkan bahwa pemerintah ingin memastikan legalitas dan penjaminan mutu satuan pendidikan PAUD dan PNF. Dengan demikian, satuan pendidikan PAUD dan PNF seharusnya menyiapkan diri untuk akreditasi.
Pendidikan PAUD dan PNF sejatinya memiliki peran penting dalam mewujudkan generasi emas bangsa. Layanan pendidikan bermutu saat anak berusia emas (golden age) penting menjadi perhatian semua pihak. Apalagi pemerintah sedang merancang bangun generasi emas 2045.
Jika penjaminan mutu pendidikan PAUD dan PNF dilakukan secara berkelanjutan, maka pasti akan memberi konstribusi bagi capaian generasi emas saat memasuki abad XXI. Pada abad XXI itulah generasi bangsa harus memiliki empat kompetensi (4C), yakni; berpikir kritis (critical thinking), komunikatif (communicative), kreatif (creative), dan kolaboratif (collaborative).
Harus diakui, sebagian PAUD dan PNF belum memandang penting akreditasi. Akreditasi PAUD dan PNF dinilai belum memiliki pengaruh sosial (social effect). Kondisi itu jelas berbeda dengan pengaruh sosial akreditasi untuk satuan pendidikan dasar dan menengah serta perguruan tinggi.
Padahal semestinya tidak ada alasan bagi PAUD dan PNF untuk menghindari proses akreditasi. Jika ada PAUD dan PNF enggan mengajukan akreditasi, maka hal itu bukan hanya melanggar peraturan perundang-undangan. Lebih dari itu, satuan pendidikan tersebut berarti tidak memberikan pertanggungjawaban dalam kaitan dengan proses penjaminan mutunya pada stakeholders.
Melalui mekanisme akreditasi dapat dipastikan bahwa satuan pendidikan telah menerapkan konsep penjaminan mutu yang berkelanjutan. Penjaminan mutu merupakan penetapan standar pengelolaan pendidikan secara konsisten dan berkelanjutan sehingga stakeholders memperoleh kepuasan sesuai kebutuhan.
Hasil penelitian tim dosen Universitas Gadjah Mada (2007) menegaskan bahwa kebutuhan stakeholders pendidikan yang terutama adalah kebutuhan sosial, dunia kerja, dan profesional. Hal itu menunjukkan bahwa pihak yang berkepentingan dengan mutu layanan pendidikan bukan hanya peserta didik, melainkan juga masyarakat dan pengguna lulusan (user).
Yang perlu ditekankan, sistem penjaminan mutu harus dilakukan secara berkelanjutan (continous improvement). Hal itu penting agar penjaminan mutu menjadi gerakan hingga membentuk budaya semua ekosistem pendidikan.
Dengan demikian orientasi penjaminan mutu tidak boleh sekadar memenuhi kebutuhan pada saat penilaian akreditasi. Akreditasi satuan pendidikan tidak boleh sekedar pemenuhan kebutuhan standar minimal pendidikan (compliance). Akreditasi harus benar-benar memotret performansi satuan pendidikan (performance).
Agar akreditasi bergerak dari pemenuhan kebutuhan delapan Standar Nasional Pendidikan (SNP) ke performansi, satuan pendidikan harus melampaui standar minimal. Komitmen ini penting karena harus diakui, butir-butir instrumen dalam akreditasi masih lebih banyak berkaitan dengan soal-soal administrasi.
Instrumen akreditasi belum secara komprehensif memotret performansi dan budaya mutu satuan pendidikan. Inilah tantangan badan akreditasi masing-masing level untuk membuat perangkat akreditasi yang tidak sekedar memotret compliance, tetapi memastikan performance satuan pendidikan.
Untuk menghasilkan potret performansi satuan pendidikan dalam penerapan budaya mutu jelas dibutuhkan asesor yang berkualitas. Asesor merupakan ujung tombak proses akreditasi. Karena itu, program peningkatan kapasitas asesor sebagai juru potret satuan pendidikan penting.
Apalagi dalam menjalankan tugas asesor harus menggunakan aplikasi online, yakni Sistem Penilaian Akreditasi (Sispena). Pada 2018, Sispena wajib diterapkan dalam sistem akreditasi PAUD dan PNF. Melalui Sispena, pelaksanaan akreditasi diharapkan lebih efektif, terpercaya, cepat, dan murah.
Melalui aplikasi Sispena, mekanisme akreditasi tidak lagi menggunakan borang dan tanpa kertas (paperless). Mekanisme manual dan tumpukan borang akreditasi diganti dengan sistem daring (online). Dengan demikian, asesor dan satuan pendidikan harus terampil menggunakan aplikasi akreditasi melalui Sispena. Itu berarti asesor dan satuan pendidikan harus melek teknologi, informasi, dan komunitasi (TIK).
Harus dipahami, akreditasi merupakan mekanisme yang efektif untuk menilai budaya mutu setiap satuan pendidikan. Akreditasi juga bermanfaat untuk menilai standar mutu layanan yang diberikan satuan pendidikan pada peserta didik, pemerintah, masyarakat, dan pengguna lulusan.
Itu berarti setiap satuan pendidikan, termasuk PAUD dan PNF, harus mengikuti proses akreditasi untuk memastikan legalitas dan penjaminan budaya mutu lembaga. Melalui akreditasi yang berkualitas pada PAUD dan PNF berarti secara tidak langsung kita turut menyiapkan masa depan generasi emas bangsa.
Dosen UIN Sunan Ampel dan Anggota BAN PAUD dan PNF
SATUAN pendidikan mulai pendidikan anak usia dini (PAUD), pendidikan dasar dan menegah, hingga perguruan tinggi (PT), semakin menyadari pentingnya akreditasi. Pendidikan nonformal (PNF) dalam berbagai bentuknya, seperti Lembaga Kursus dan Pelatihan (LKP), Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat (PKBM), dan Sanggar Kegiatan Belajar (SKB), juga menjadikan akreditasi sebagai mekanisme penjaminan mutu.
Untuk melaksanakan tugas akreditasi PAUD dan PNF, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) membentuk Badan Akreditasi Nasional (BAN) PAUD dan PNF. Data Direktorat Jenderal PAUD dan Dikmas Kemendikbud menyebutkan bahwa pada 2017 jumlah populasi PAUD dan PNF mencapai 258.146 satuan dengan rincian PAUD (228.140), LKP (18.744), PKBM (11.262), dan SKB (297).
Dari total jumlah PAUD dan PNF, satuan pendidikan yang belum terakreditasi mencapai 228.540 (88.42%). Dengan kata lain, satuan pendidikan PAUD dan PNF yang terakreditasi masih sangat sedikit. Data tersebut sekaligus menjadi tantangan BAN PAUD dan PNF.
Untuk mengejar ketertinggalan lembaga yang belum terakreditasi, pada 2018 Kemendikbud mengalokasikan pembiayaan akreditasi sebanyak 30.275 satuan pendidikan. Jumlah ini meningkat drastis dibanding kuota akreditasi pada 2017 yang hanya 10.913 satuan.
Peningkatkan alokasi pembiayaan akreditasi menunjukkan bahwa pemerintah ingin memastikan legalitas dan penjaminan mutu satuan pendidikan PAUD dan PNF. Dengan demikian, satuan pendidikan PAUD dan PNF seharusnya menyiapkan diri untuk akreditasi.
Pendidikan PAUD dan PNF sejatinya memiliki peran penting dalam mewujudkan generasi emas bangsa. Layanan pendidikan bermutu saat anak berusia emas (golden age) penting menjadi perhatian semua pihak. Apalagi pemerintah sedang merancang bangun generasi emas 2045.
Jika penjaminan mutu pendidikan PAUD dan PNF dilakukan secara berkelanjutan, maka pasti akan memberi konstribusi bagi capaian generasi emas saat memasuki abad XXI. Pada abad XXI itulah generasi bangsa harus memiliki empat kompetensi (4C), yakni; berpikir kritis (critical thinking), komunikatif (communicative), kreatif (creative), dan kolaboratif (collaborative).
Harus diakui, sebagian PAUD dan PNF belum memandang penting akreditasi. Akreditasi PAUD dan PNF dinilai belum memiliki pengaruh sosial (social effect). Kondisi itu jelas berbeda dengan pengaruh sosial akreditasi untuk satuan pendidikan dasar dan menengah serta perguruan tinggi.
Padahal semestinya tidak ada alasan bagi PAUD dan PNF untuk menghindari proses akreditasi. Jika ada PAUD dan PNF enggan mengajukan akreditasi, maka hal itu bukan hanya melanggar peraturan perundang-undangan. Lebih dari itu, satuan pendidikan tersebut berarti tidak memberikan pertanggungjawaban dalam kaitan dengan proses penjaminan mutunya pada stakeholders.
Melalui mekanisme akreditasi dapat dipastikan bahwa satuan pendidikan telah menerapkan konsep penjaminan mutu yang berkelanjutan. Penjaminan mutu merupakan penetapan standar pengelolaan pendidikan secara konsisten dan berkelanjutan sehingga stakeholders memperoleh kepuasan sesuai kebutuhan.
Hasil penelitian tim dosen Universitas Gadjah Mada (2007) menegaskan bahwa kebutuhan stakeholders pendidikan yang terutama adalah kebutuhan sosial, dunia kerja, dan profesional. Hal itu menunjukkan bahwa pihak yang berkepentingan dengan mutu layanan pendidikan bukan hanya peserta didik, melainkan juga masyarakat dan pengguna lulusan (user).
Yang perlu ditekankan, sistem penjaminan mutu harus dilakukan secara berkelanjutan (continous improvement). Hal itu penting agar penjaminan mutu menjadi gerakan hingga membentuk budaya semua ekosistem pendidikan.
Dengan demikian orientasi penjaminan mutu tidak boleh sekadar memenuhi kebutuhan pada saat penilaian akreditasi. Akreditasi satuan pendidikan tidak boleh sekedar pemenuhan kebutuhan standar minimal pendidikan (compliance). Akreditasi harus benar-benar memotret performansi satuan pendidikan (performance).
Agar akreditasi bergerak dari pemenuhan kebutuhan delapan Standar Nasional Pendidikan (SNP) ke performansi, satuan pendidikan harus melampaui standar minimal. Komitmen ini penting karena harus diakui, butir-butir instrumen dalam akreditasi masih lebih banyak berkaitan dengan soal-soal administrasi.
Instrumen akreditasi belum secara komprehensif memotret performansi dan budaya mutu satuan pendidikan. Inilah tantangan badan akreditasi masing-masing level untuk membuat perangkat akreditasi yang tidak sekedar memotret compliance, tetapi memastikan performance satuan pendidikan.
Untuk menghasilkan potret performansi satuan pendidikan dalam penerapan budaya mutu jelas dibutuhkan asesor yang berkualitas. Asesor merupakan ujung tombak proses akreditasi. Karena itu, program peningkatan kapasitas asesor sebagai juru potret satuan pendidikan penting.
Apalagi dalam menjalankan tugas asesor harus menggunakan aplikasi online, yakni Sistem Penilaian Akreditasi (Sispena). Pada 2018, Sispena wajib diterapkan dalam sistem akreditasi PAUD dan PNF. Melalui Sispena, pelaksanaan akreditasi diharapkan lebih efektif, terpercaya, cepat, dan murah.
Melalui aplikasi Sispena, mekanisme akreditasi tidak lagi menggunakan borang dan tanpa kertas (paperless). Mekanisme manual dan tumpukan borang akreditasi diganti dengan sistem daring (online). Dengan demikian, asesor dan satuan pendidikan harus terampil menggunakan aplikasi akreditasi melalui Sispena. Itu berarti asesor dan satuan pendidikan harus melek teknologi, informasi, dan komunitasi (TIK).
Harus dipahami, akreditasi merupakan mekanisme yang efektif untuk menilai budaya mutu setiap satuan pendidikan. Akreditasi juga bermanfaat untuk menilai standar mutu layanan yang diberikan satuan pendidikan pada peserta didik, pemerintah, masyarakat, dan pengguna lulusan.
Itu berarti setiap satuan pendidikan, termasuk PAUD dan PNF, harus mengikuti proses akreditasi untuk memastikan legalitas dan penjaminan budaya mutu lembaga. Melalui akreditasi yang berkualitas pada PAUD dan PNF berarti secara tidak langsung kita turut menyiapkan masa depan generasi emas bangsa.
(thm)