Piala Dunia, Pediaspora dan Peluang Indonesia

Senin, 23 Juli 2018 - 07:43 WIB
Piala Dunia, Pediaspora dan Peluang Indonesia
Piala Dunia, Pediaspora dan Peluang Indonesia
A A A
Luthfi Nur Rosyidi

Dosen Universitas Airlangga, Kandidat PhD Universitas Kopenhagen, Ketua PPI Denmark

PIALA Dunia 2018 di Rusia telah ber­akhir. Pesta em­pat tahunan ini telah menahbiskan Prancis se­bagai jawara. Seperti biasa, war­ganet (netizen) menang­ga­pi kejayaan Prancis dengan ber­bagai ma­cam komentar. Mu­lai dari pi­lih­an strategi tim hingga ke­he­batan individu pe­main. Tidak ketinggalan, latar belakang tiap pemain pun men­jadi so­rotan. Salah satu yang ramai di­bicarakan adalah fakta bahwa 15 pemain Pran­cis yang mem­perkuat ne­ga­ra­nya kali ini ada­lah keturunan Afrika.

Samuel Umtiti, bek a­n­dal­an sang juara, dilahirkan di Ka­merun, sedangkan kiper Steve Mandanda dilahirkan di Re­pu­blik Demokratik Kongo. Orang tua Paul Pogba si jen­deral la­pa­ngan dan salah satu pencetak gol di final berasal dari Guinea, sedangkan orang tua N’Golo Kante berasal dari Mali. Blaise Matuidi, pemain sayap si Ayam Jago keturunan Angola, se­dangkan peraih penghargaan pemain muda terbaik dalam turnamen ini, Kylian Mbappe, beribu orang Aljazair yang me­nikah de­ngan orang Kamerun. Ma­sih ada lagi, Presnel Kim­pembe dan Ste­ven Nzonzi ke­tu­run­an Kongo, se­dang­kan Corentin To­lis­so berasal dari To­go. Demikian se­te­­rusnya hingga le­bih dari dua pertiga skuad sang juara teriden­ti­fi­kasi se­ba­gai keturunan Afrika. Data ini belum mem­per­hi­tung­kan pemain ketu­run­an pediaspora non-Afrika.

Skuad yang multietnis bu­kan hanya dimiliki oleh Pra­n­cis, tapi juga kontestan lain. Pada awal perhelatan Piala Du­nia 2018, World Economic Fo­rum pernah merilis data bahwa 1 dari 10 pemain yang tu­rut serta dalam pesta bola di Rusia adalah imigran yang di­lahirkan di luar negara yang di­belanya. Bahkan 62% pe­main Maroko dilahirkan di luar ne­gara tersebut seba­gai­mana juga lebih dari 30% pem­ain Swiss, Portugal, dan Se­negal me­miliki riwayat se­ru­pa. Ge­nerasi kedua pe­dias­po­ra lebih banyak lagi ten­tu­nya. Para pemain yang lahir dari orang tua imigran jauh me­lebihi data statistik di atas.

Fenomena ini sebenarnya telah kita temukan mulai dua dasawarsa belakangan ini. Banyak sekali nama Timur Te­ngah menghiasi punggung para pemain yang membela ne­gara-negara Eropa. Nama Mezut Ozil, Samir Nasri, Ben­zema, Ibramovic, Sami Khe­dira, atau Zinedine Zidane ten­­tu sudah tidak asing. Bel­gia pu­nya Radja Nainggolan yang berayahkan orang Batak.

Institusionalisasi

Salah satu teori yang me­nge­muka untuk men­jelaskan ber­bagai fenomena sosial ada­lah teori institusionalisasi. Teori ini menjelaskan bahwa ma­nusia akan cenderung me­la­kukan imitasi dan adopsi ter­­hadap aturan, norma, ni­lai, ke­yakinan tempat dia ber­ada. Adopsi dan imitasi ini yang kemudian membentuk ke­­ya­kin­an dan perilaku ten­tang apa yang bisa dan yang tidak bisa mereka lakukan. Para pe­neliti psikologi men­je­laskan bahwa bukan hanya perilaku, tapi juga motivasi dan prestasi individu sangat dipengaruhi lingkungannya.

Jika kita mencoba menilik fe­nomena banyaknya pe­dias­pora atau keturunan pe­dias­po­ra yang berprestasi di bi­dang tertentu setelah mereka hidup di negara baru, akan sa­ngat menarik jika dilihat dari sudut pandang teori ins­ti­tu­sionalisasi ini. Setelah mereka mengalami, berinteraksi, dan mendapatkan pendidikan for­­mal dan informal di negara baru, ternyata para pe­dias­pora ini tidak kalah dalam hal pres­tasi, apa pun bidang yang me­reka geluti.

Generasi pertama pe­dias­pora mungkin butuh upaya lebih untuk berakulturasi dan mengadopsi nilai, cara hidup, dan pola pikir dari negara ba­ru­nya. Namun anak mereka yang mendapatkan pen­di­dikan di lingkungan baru sejak dini tidak akan terlalu men­­da­pat­kan kesulitan un­tuk ber­adap­tasi. Mereka akan dengan mu­dah berbaur dan berkompetisi secara setara dengan pen­du­duk asli negara tersebut.

Hal ini berlaku bu­kan hanya di bidang olah­raga, tapi juga di berbagai bi­dang lain. Dalam ra­nah aka­demis misalnya, ba­nyak sekali guru besar di ber­bagai univ­er­sitas kenamaan di Eropa (mau­pun di Amerika) yang memiliki nama khas In­dia ataupun China. Mereka ke­banyakan adalah warga India dan China yang berpuluh ta­hun yang lalu berdiaspora, ber­pindah dari negara mereka.

Hal ini mematahkan ang­gap­an bahwa salah satu ras memiliki keunggulan dari ras lain. Bangsa Asia tidaklah ka­lah secara fisik maupun int­­e­lektual saat mereka men­da­patkan lingkungan yang sama untuk bertumbuh dengan bang­­sa dari Aria misalnya. Jus­­t­ru lingkungan dan pen­di­­dikan yang membentuk pola pikir dan kemudian me­micu mo­ti­vasi, tindakan dan ke­biasaan inilah yang mem­be­dakan pres­tasi individu de­ngan latar be­lakang etnis ber­beda.

Dua Cara

Dengan sudut pandang teo­ri institusionalisasi di atas, ada dua strategi utama yang bisa jadi alternatif bagi Indo­nesia sebagai sebuah bangsa. Pertama tentu dengan meng­ha­dirkan lingkungan yang tepat untuk tumbuh ber­kem­bang warga negaranya. Hal ini tidaklah mudah karena meli­bat­kan perubahan dalam ba­nyak aspek kehidupan. Se­ma­kin rumit lagi ketika kita sadar bahwa kita sangat di­pe­nga­ruhi lingkungan awal kita. Se­ba­gaimana diterangkan teori ins­titusionalisasi, ada ke­cen­de­rungan untuk meniru apa saja yang sudah ada.

Kabar baiknya, teori ins­titutionalisasi selain fokus pada hal-hal yang membuat in­dividu dan organisasi ter­lem­bagakan (bergerak dan ber­pola dengan cara yang sama se­cara terus-menerus), juga mem­pelajari bagaimana me­ng­ubah­nya. Dari perubahan-per­ubahan besar yang terjadi di­dapati bahwa ada pemicu dan aktor yang berperan meng­­ge­rakkan perubahan ter­sebut. Artinya mengubah suatu ne­gara yang sudah me­miliki ka­rak­ter dan bentuk yang te­r­lem­bagakan secara men­dalam tetaplah dimung­kinkan.

Meskipun demikian se­jarah mencatat bahwa ti­dak­lah mudah untuk mengubah men­tal sebuah bangsa. Se­telah le­bih dari 70 tahun lepas dari pen­jajahan, kita belum juga se­penuhnya beranjak dari ber­bagai hal yang sudah ter­lem­baga selama dalam masa pen­ja­jahan. Berbagai upaya di­la­ku­kan, ber­ba­gai aktor per­ubah­an da­tang silih berganti men­­jadi harapan, te­tapi perge­seran yang ada tak selaju yang dicita-citakan. Hal ini di sisi lain juga mem­buktikan be­ta­pa kuatnya teori ins­ti­tu­sionalisasi berlaku bagi kita se­bagai sebuah bangsa.

Strategi kedua yang bisa di­ambil, bahkan sebenarnya bisa berjalan bersamaan de­ngan strategi mengubah diri sebagai sebuah bangsa, ada­lah dengan mendorong warga negara In­donesia untuk berani ber­dias­pora. Selain itu di­ba­rengi de­ngan me­lan­jut­kan upaya me­la­kukan per­ubahan-perubahan positif, juga mengam­pa­nye­kan ke­pa­da warga untuk pin­dah ke negara-negara maju dan ting­gal di sana.

Beberapa ne­gara maju pu­nya per­ma­sa­lah­an de­ngan pertumbuhan pe­n­du­duk yang minus, se­suatu yang justru ber­tolak be­lakang de­ngan yang terjadi di In­d­o­nesia. Ke­datangan orang In­do­nesia di negara tersebut bisa ber­dam­pak positif bagi ke­dua pihak. Kebutuhan ang­kat­an kerja se­bagai penggerak eko­nomi di ne­gara tujuan akan teratasi, se­dangkan pen­da­­tang juga akan men­da­patkan keuntungan.

Dalam jangka panjang, hal ini juga akan ber­manfaat bagi negara pe­dias­pora karena me­reka dan ke­tu­runannya akan menjadi duta ekonomi negara ke depannya, juga duta di ber­bagai sektor lain. Jadi, mau melihat nama Bam­bang, Joko, Binsar, Pus­p­ayoga, dan se­macamnya meng­hiasi pung­gung pemain yang ber­laga di Piala Dunia? Ayo galakkan diaspora!
(kri)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 1.1395 seconds (0.1#10.140)