Piala Dunia, Pediaspora dan Peluang Indonesia
A
A
A
Luthfi Nur Rosyidi
Dosen Universitas Airlangga, Kandidat PhD Universitas Kopenhagen, Ketua PPI Denmark
PIALA Dunia 2018 di Rusia telah berakhir. Pesta empat tahunan ini telah menahbiskan Prancis sebagai jawara. Seperti biasa, warganet (netizen) menanggapi kejayaan Prancis dengan berbagai macam komentar. Mulai dari pilihan strategi tim hingga kehebatan individu pemain. Tidak ketinggalan, latar belakang tiap pemain pun menjadi sorotan. Salah satu yang ramai dibicarakan adalah fakta bahwa 15 pemain Prancis yang memperkuat negaranya kali ini adalah keturunan Afrika.
Samuel Umtiti, bek andalan sang juara, dilahirkan di Kamerun, sedangkan kiper Steve Mandanda dilahirkan di Republik Demokratik Kongo. Orang tua Paul Pogba si jenderal lapangan dan salah satu pencetak gol di final berasal dari Guinea, sedangkan orang tua N’Golo Kante berasal dari Mali. Blaise Matuidi, pemain sayap si Ayam Jago keturunan Angola, sedangkan peraih penghargaan pemain muda terbaik dalam turnamen ini, Kylian Mbappe, beribu orang Aljazair yang menikah dengan orang Kamerun. Masih ada lagi, Presnel Kimpembe dan Steven Nzonzi keturunan Kongo, sedangkan Corentin Tolisso berasal dari Togo. Demikian seterusnya hingga lebih dari dua pertiga skuad sang juara teridentifikasi sebagai keturunan Afrika. Data ini belum memperhitungkan pemain keturunan pediaspora non-Afrika.
Skuad yang multietnis bukan hanya dimiliki oleh Prancis, tapi juga kontestan lain. Pada awal perhelatan Piala Dunia 2018, World Economic Forum pernah merilis data bahwa 1 dari 10 pemain yang turut serta dalam pesta bola di Rusia adalah imigran yang dilahirkan di luar negara yang dibelanya. Bahkan 62% pemain Maroko dilahirkan di luar negara tersebut sebagaimana juga lebih dari 30% pemain Swiss, Portugal, dan Senegal memiliki riwayat serupa. Generasi kedua pediaspora lebih banyak lagi tentunya. Para pemain yang lahir dari orang tua imigran jauh melebihi data statistik di atas.
Fenomena ini sebenarnya telah kita temukan mulai dua dasawarsa belakangan ini. Banyak sekali nama Timur Tengah menghiasi punggung para pemain yang membela negara-negara Eropa. Nama Mezut Ozil, Samir Nasri, Benzema, Ibramovic, Sami Khedira, atau Zinedine Zidane tentu sudah tidak asing. Belgia punya Radja Nainggolan yang berayahkan orang Batak.
Institusionalisasi
Salah satu teori yang mengemuka untuk menjelaskan berbagai fenomena sosial adalah teori institusionalisasi. Teori ini menjelaskan bahwa manusia akan cenderung melakukan imitasi dan adopsi terhadap aturan, norma, nilai, keyakinan tempat dia berada. Adopsi dan imitasi ini yang kemudian membentuk keyakinan dan perilaku tentang apa yang bisa dan yang tidak bisa mereka lakukan. Para peneliti psikologi menjelaskan bahwa bukan hanya perilaku, tapi juga motivasi dan prestasi individu sangat dipengaruhi lingkungannya.
Jika kita mencoba menilik fenomena banyaknya pediaspora atau keturunan pediaspora yang berprestasi di bidang tertentu setelah mereka hidup di negara baru, akan sangat menarik jika dilihat dari sudut pandang teori institusionalisasi ini. Setelah mereka mengalami, berinteraksi, dan mendapatkan pendidikan formal dan informal di negara baru, ternyata para pediaspora ini tidak kalah dalam hal prestasi, apa pun bidang yang mereka geluti.
Generasi pertama pediaspora mungkin butuh upaya lebih untuk berakulturasi dan mengadopsi nilai, cara hidup, dan pola pikir dari negara barunya. Namun anak mereka yang mendapatkan pendidikan di lingkungan baru sejak dini tidak akan terlalu mendapatkan kesulitan untuk beradaptasi. Mereka akan dengan mudah berbaur dan berkompetisi secara setara dengan penduduk asli negara tersebut.
Hal ini berlaku bukan hanya di bidang olahraga, tapi juga di berbagai bidang lain. Dalam ranah akademis misalnya, banyak sekali guru besar di berbagai universitas kenamaan di Eropa (maupun di Amerika) yang memiliki nama khas India ataupun China. Mereka kebanyakan adalah warga India dan China yang berpuluh tahun yang lalu berdiaspora, berpindah dari negara mereka.
Hal ini mematahkan anggapan bahwa salah satu ras memiliki keunggulan dari ras lain. Bangsa Asia tidaklah kalah secara fisik maupun intelektual saat mereka mendapatkan lingkungan yang sama untuk bertumbuh dengan bangsa dari Aria misalnya. Justru lingkungan dan pendidikan yang membentuk pola pikir dan kemudian memicu motivasi, tindakan dan kebiasaan inilah yang membedakan prestasi individu dengan latar belakang etnis berbeda.
Dua Cara
Dengan sudut pandang teori institusionalisasi di atas, ada dua strategi utama yang bisa jadi alternatif bagi Indonesia sebagai sebuah bangsa. Pertama tentu dengan menghadirkan lingkungan yang tepat untuk tumbuh berkembang warga negaranya. Hal ini tidaklah mudah karena melibatkan perubahan dalam banyak aspek kehidupan. Semakin rumit lagi ketika kita sadar bahwa kita sangat dipengaruhi lingkungan awal kita. Sebagaimana diterangkan teori institusionalisasi, ada kecenderungan untuk meniru apa saja yang sudah ada.
Kabar baiknya, teori institutionalisasi selain fokus pada hal-hal yang membuat individu dan organisasi terlembagakan (bergerak dan berpola dengan cara yang sama secara terus-menerus), juga mempelajari bagaimana mengubahnya. Dari perubahan-perubahan besar yang terjadi didapati bahwa ada pemicu dan aktor yang berperan menggerakkan perubahan tersebut. Artinya mengubah suatu negara yang sudah memiliki karakter dan bentuk yang terlembagakan secara mendalam tetaplah dimungkinkan.
Meskipun demikian sejarah mencatat bahwa tidaklah mudah untuk mengubah mental sebuah bangsa. Setelah lebih dari 70 tahun lepas dari penjajahan, kita belum juga sepenuhnya beranjak dari berbagai hal yang sudah terlembaga selama dalam masa penjajahan. Berbagai upaya dilakukan, berbagai aktor perubahan datang silih berganti menjadi harapan, tetapi pergeseran yang ada tak selaju yang dicita-citakan. Hal ini di sisi lain juga membuktikan betapa kuatnya teori institusionalisasi berlaku bagi kita sebagai sebuah bangsa.
Strategi kedua yang bisa diambil, bahkan sebenarnya bisa berjalan bersamaan dengan strategi mengubah diri sebagai sebuah bangsa, adalah dengan mendorong warga negara Indonesia untuk berani berdiaspora. Selain itu dibarengi dengan melanjutkan upaya melakukan perubahan-perubahan positif, juga mengampanyekan kepada warga untuk pindah ke negara-negara maju dan tinggal di sana.
Beberapa negara maju punya permasalahan dengan pertumbuhan penduduk yang minus, sesuatu yang justru bertolak belakang dengan yang terjadi di Indonesia. Kedatangan orang Indonesia di negara tersebut bisa berdampak positif bagi kedua pihak. Kebutuhan angkatan kerja sebagai penggerak ekonomi di negara tujuan akan teratasi, sedangkan pendatang juga akan mendapatkan keuntungan.
Dalam jangka panjang, hal ini juga akan bermanfaat bagi negara pediaspora karena mereka dan keturunannya akan menjadi duta ekonomi negara ke depannya, juga duta di berbagai sektor lain. Jadi, mau melihat nama Bambang, Joko, Binsar, Puspayoga, dan semacamnya menghiasi punggung pemain yang berlaga di Piala Dunia? Ayo galakkan diaspora!
Dosen Universitas Airlangga, Kandidat PhD Universitas Kopenhagen, Ketua PPI Denmark
PIALA Dunia 2018 di Rusia telah berakhir. Pesta empat tahunan ini telah menahbiskan Prancis sebagai jawara. Seperti biasa, warganet (netizen) menanggapi kejayaan Prancis dengan berbagai macam komentar. Mulai dari pilihan strategi tim hingga kehebatan individu pemain. Tidak ketinggalan, latar belakang tiap pemain pun menjadi sorotan. Salah satu yang ramai dibicarakan adalah fakta bahwa 15 pemain Prancis yang memperkuat negaranya kali ini adalah keturunan Afrika.
Samuel Umtiti, bek andalan sang juara, dilahirkan di Kamerun, sedangkan kiper Steve Mandanda dilahirkan di Republik Demokratik Kongo. Orang tua Paul Pogba si jenderal lapangan dan salah satu pencetak gol di final berasal dari Guinea, sedangkan orang tua N’Golo Kante berasal dari Mali. Blaise Matuidi, pemain sayap si Ayam Jago keturunan Angola, sedangkan peraih penghargaan pemain muda terbaik dalam turnamen ini, Kylian Mbappe, beribu orang Aljazair yang menikah dengan orang Kamerun. Masih ada lagi, Presnel Kimpembe dan Steven Nzonzi keturunan Kongo, sedangkan Corentin Tolisso berasal dari Togo. Demikian seterusnya hingga lebih dari dua pertiga skuad sang juara teridentifikasi sebagai keturunan Afrika. Data ini belum memperhitungkan pemain keturunan pediaspora non-Afrika.
Skuad yang multietnis bukan hanya dimiliki oleh Prancis, tapi juga kontestan lain. Pada awal perhelatan Piala Dunia 2018, World Economic Forum pernah merilis data bahwa 1 dari 10 pemain yang turut serta dalam pesta bola di Rusia adalah imigran yang dilahirkan di luar negara yang dibelanya. Bahkan 62% pemain Maroko dilahirkan di luar negara tersebut sebagaimana juga lebih dari 30% pemain Swiss, Portugal, dan Senegal memiliki riwayat serupa. Generasi kedua pediaspora lebih banyak lagi tentunya. Para pemain yang lahir dari orang tua imigran jauh melebihi data statistik di atas.
Fenomena ini sebenarnya telah kita temukan mulai dua dasawarsa belakangan ini. Banyak sekali nama Timur Tengah menghiasi punggung para pemain yang membela negara-negara Eropa. Nama Mezut Ozil, Samir Nasri, Benzema, Ibramovic, Sami Khedira, atau Zinedine Zidane tentu sudah tidak asing. Belgia punya Radja Nainggolan yang berayahkan orang Batak.
Institusionalisasi
Salah satu teori yang mengemuka untuk menjelaskan berbagai fenomena sosial adalah teori institusionalisasi. Teori ini menjelaskan bahwa manusia akan cenderung melakukan imitasi dan adopsi terhadap aturan, norma, nilai, keyakinan tempat dia berada. Adopsi dan imitasi ini yang kemudian membentuk keyakinan dan perilaku tentang apa yang bisa dan yang tidak bisa mereka lakukan. Para peneliti psikologi menjelaskan bahwa bukan hanya perilaku, tapi juga motivasi dan prestasi individu sangat dipengaruhi lingkungannya.
Jika kita mencoba menilik fenomena banyaknya pediaspora atau keturunan pediaspora yang berprestasi di bidang tertentu setelah mereka hidup di negara baru, akan sangat menarik jika dilihat dari sudut pandang teori institusionalisasi ini. Setelah mereka mengalami, berinteraksi, dan mendapatkan pendidikan formal dan informal di negara baru, ternyata para pediaspora ini tidak kalah dalam hal prestasi, apa pun bidang yang mereka geluti.
Generasi pertama pediaspora mungkin butuh upaya lebih untuk berakulturasi dan mengadopsi nilai, cara hidup, dan pola pikir dari negara barunya. Namun anak mereka yang mendapatkan pendidikan di lingkungan baru sejak dini tidak akan terlalu mendapatkan kesulitan untuk beradaptasi. Mereka akan dengan mudah berbaur dan berkompetisi secara setara dengan penduduk asli negara tersebut.
Hal ini berlaku bukan hanya di bidang olahraga, tapi juga di berbagai bidang lain. Dalam ranah akademis misalnya, banyak sekali guru besar di berbagai universitas kenamaan di Eropa (maupun di Amerika) yang memiliki nama khas India ataupun China. Mereka kebanyakan adalah warga India dan China yang berpuluh tahun yang lalu berdiaspora, berpindah dari negara mereka.
Hal ini mematahkan anggapan bahwa salah satu ras memiliki keunggulan dari ras lain. Bangsa Asia tidaklah kalah secara fisik maupun intelektual saat mereka mendapatkan lingkungan yang sama untuk bertumbuh dengan bangsa dari Aria misalnya. Justru lingkungan dan pendidikan yang membentuk pola pikir dan kemudian memicu motivasi, tindakan dan kebiasaan inilah yang membedakan prestasi individu dengan latar belakang etnis berbeda.
Dua Cara
Dengan sudut pandang teori institusionalisasi di atas, ada dua strategi utama yang bisa jadi alternatif bagi Indonesia sebagai sebuah bangsa. Pertama tentu dengan menghadirkan lingkungan yang tepat untuk tumbuh berkembang warga negaranya. Hal ini tidaklah mudah karena melibatkan perubahan dalam banyak aspek kehidupan. Semakin rumit lagi ketika kita sadar bahwa kita sangat dipengaruhi lingkungan awal kita. Sebagaimana diterangkan teori institusionalisasi, ada kecenderungan untuk meniru apa saja yang sudah ada.
Kabar baiknya, teori institutionalisasi selain fokus pada hal-hal yang membuat individu dan organisasi terlembagakan (bergerak dan berpola dengan cara yang sama secara terus-menerus), juga mempelajari bagaimana mengubahnya. Dari perubahan-perubahan besar yang terjadi didapati bahwa ada pemicu dan aktor yang berperan menggerakkan perubahan tersebut. Artinya mengubah suatu negara yang sudah memiliki karakter dan bentuk yang terlembagakan secara mendalam tetaplah dimungkinkan.
Meskipun demikian sejarah mencatat bahwa tidaklah mudah untuk mengubah mental sebuah bangsa. Setelah lebih dari 70 tahun lepas dari penjajahan, kita belum juga sepenuhnya beranjak dari berbagai hal yang sudah terlembaga selama dalam masa penjajahan. Berbagai upaya dilakukan, berbagai aktor perubahan datang silih berganti menjadi harapan, tetapi pergeseran yang ada tak selaju yang dicita-citakan. Hal ini di sisi lain juga membuktikan betapa kuatnya teori institusionalisasi berlaku bagi kita sebagai sebuah bangsa.
Strategi kedua yang bisa diambil, bahkan sebenarnya bisa berjalan bersamaan dengan strategi mengubah diri sebagai sebuah bangsa, adalah dengan mendorong warga negara Indonesia untuk berani berdiaspora. Selain itu dibarengi dengan melanjutkan upaya melakukan perubahan-perubahan positif, juga mengampanyekan kepada warga untuk pindah ke negara-negara maju dan tinggal di sana.
Beberapa negara maju punya permasalahan dengan pertumbuhan penduduk yang minus, sesuatu yang justru bertolak belakang dengan yang terjadi di Indonesia. Kedatangan orang Indonesia di negara tersebut bisa berdampak positif bagi kedua pihak. Kebutuhan angkatan kerja sebagai penggerak ekonomi di negara tujuan akan teratasi, sedangkan pendatang juga akan mendapatkan keuntungan.
Dalam jangka panjang, hal ini juga akan bermanfaat bagi negara pediaspora karena mereka dan keturunannya akan menjadi duta ekonomi negara ke depannya, juga duta di berbagai sektor lain. Jadi, mau melihat nama Bambang, Joko, Binsar, Puspayoga, dan semacamnya menghiasi punggung pemain yang berlaga di Piala Dunia? Ayo galakkan diaspora!
(kri)