Kampus dan Radikalisme
A
A
A
Aom Karomani
Guru Besar FISIP dan Wakil Rektor Bidang Kemahasiswaan Universitas Lampung
PENELITIAN Badan Intelijen Negara (BIN) mencatat pada 2017 sekitar 39% mahasiswa dari sejumlah perguruan tinggi (PT) di Indonesia terpapar radikalisme. BIN melaporkan terdapat 24% mahasiswa di PT dan 23,3% siswa di sekolah lanjutan atas (SLTA) setuju dengan jihad dalam rangka menegakkan Negara Islam Indonesia. Malah temuan GP Anshor menyebutkan sejumlah masjid di berbagai lembaga negara termasuk di PT, BUMN, hingga internal Polri sudah terpapar paham tersebut. Bahkan ada anggota Polri yang tertarik dengan ideologi radikal itu. Hasil penelitian Lembaga Pengetahuan Indonesia (LIPI) pada 2016 lebih gawat lagi, terdapat 84,8% siswa dan 76% guru di sekolah setuju dengan penerapan syariat Islam dan yang cukup mengejutkan dalam survei itu ditemukan 4% orang Indonesia menyatakan setuju dengan ISIS (Lampost , 22 Mei 2018).
Radikalisme dan Teologi Agama
Dalam pandangan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme(BNPT), radikalisme merupakan embrio terorisme. Ia merupakan sikap yang mendambakan perubahan secara total dan bersifat revolusioner dengan menjungkirbalikkan nilai-nilai yang ada secara drastis melalui kekerasan dan aksi-aksi yang ekstrem. Ciri yang bisa dikenali dari paham radikal, yaitu 1) intoleran, tidak mau menghargai pendapat dan keyakinan orang lain; 2) fanatik, selalu merasa benar sendiri; 3) eksklusif, membedakan diri dari umat Islam pada umumnya; dan 4) revolusioner, cenderung menggunakan cara kekerasan untuk mencapai tujuan.
Ciri radikalisme ini mirip dengan apa yang dikemukakan oleh Charles Kimball dalam Religion Becomes Evil (2002) bahwa agama akan menjadi bencana atau radikal jika ditandai lima hal, yakni 1) mengklaim kebenaran mutlak (absolute truth claim ), padahal kebenaran mutlak hanya milik Tuhan; 2) menuntut ketundukan buta (blind obedience) yang mengingkari perintah kitab suci untuk berpikir kritis; 3) menginginkan kembali pada masa keemasan ( establishing the ideal times ) yang justru mengingkari gerak waktu yang tak pernah surut ke masa lalu dan tiap zaman memiliki problem tersendiri yang menuntut jawaban berbeda; 4) membenarkan segala cara (the end justifies any means), padahal tujuan yang baik harus ditempuh dengan cara yang baik; 5) menyatakan perang suci (declaring holy wars ), di mana perang sejatinya kotor tidak ada yang suci.
Patut dicatat, radikalisme dalam dunia Islam harus dicari akarnya dalam rumusan teologi Islam itu sendiri. Dalam sejarah Islam aliran teologi sangat beragam mulai dari Khawarij, Murjiíah, Syiíah, Qadariah, Jabariah, Muítazilah, hingga Ahlusunnah Waljamaíah dengan beragam variannya. Teologi ini akan mewarnai pandangan individu, kelompok, partai, atau ormas tertentu. Nahdlatul Ulama misalnya yang berteologi moderat Ahlusunnah Waljamaíah yang berbasis pada teologi Abu Musa Al-Asy’ari akan berbeda moderasinya dengan yang lain yang berteologi Khawarij misalnyayang selalu mengafirkan pihak lain yang tentu saja vis a vis dengan ideologi negara mana pun yang tidak berlabel Islam.
NU dengan teologi Ahlusunnahnya sejak awal berdiri lebih akomodatif dan lebih luwes pandangannya terhadap ideologi negara, bahkan tradisi atau kearifan lokal ( local wisdom ) yang tidak formalistik berlabel Islam. Ormas ini lebih menjaga harmoni ketimbang konflik atau konfrontatif dengan institusi budaya atau adat tradisi lokal sekalipun.
Radikalisme dan Reformasi
Jika kita membuka lembaran sejarah, bibit radikalisme dan terorisme yang menggugat ideologi negara telah hadir pasca-Indonesia merdeka. Semuanya memimpikan bentuk negara Islam dan memandang ideologi lain sebagai kafir belaka. Saat ini patut diduga kemunculan gerakan radikal seperti Jama’ah Islamiyah (JI), Jamaah Ansharut Tauhid (JAT), Jamaah Anshorut Daulah (JAD) boleh jadi beririsan dengan DI dan NII .
Kemunculan radikalisme dan terorisme belakangan ini disebabkan oleh lemahnya pengawasan pemerintah terhadap berkembangnya ideologi tersebut pasca-Reformasi sepanjang 20 tahun terakhir ini. Beberapa kebijakan Orde Baru (Orba) yang menjaga keamanan ideologi negara seperti “bersih diri” dan “bersih lingkungan” bagi calon aparatur negara dihapuskan.
Dalam pendirian partai politik, sejak Reformasi siapa pun di Indonesia bebas mendirikan partai. Dari sisi ideologis persyaratan pendirian partai politik hanya cukup mencantumkan secara formal bahwa partai tersebut berdasarkan Pancasila dan UUD 45 tanpa ditelisik lebih jauh rekam jejak bersih diri dan bersih lingkungan para pendirinya.
Demikian pun dalam dunia pendidikan dan pesantren, tokoh-tokoh tertentu yang pada masa Orba diisolasi dan pergi ke luar negeri pasca-Reformasi mereka pulang ke Tanah Air mendirikan sekolah atau pesantren tanpa terpantau pemerintah ideologi laten yang dibawa mereka. Ditambah menguatnya hegemoni media sosial yang berbasis internet yang demikian mudah dan masif menyebarkan ideologi radikal, sementara di sisi lain sosialisasi dan internalisasi Pancasila sebagai ideologi negara, dan perekat bangsa (binding force) yang pada zaman Orba digalakkan demikian intens, pada masa Reformasi justru ditinggalkan, bahkan terasa ditabukan. Situasi anomali seperti ini sepanjang 20 tahun terus berjalan, dan kemudian bertali temali dengan perkembangan global dan menjadikan radikalisme dan terorisme tumbuh subur di Tanah Air.
Radikalisme
Kemunculan radikalisme di kampus disebabkan oleh tiga hal. Pertama , rekrutmen dosen dan pegawai sejak Era Reformasi dari sisi ideologi tidak lagi mensyaratkan ada bersih diri dan bersih lingkungan seperti yang dilakukan Orba. Kedua, masjid pada hampir semua kampus terutama kampus pendidikan tinggi negeri (PTN) pengelolaannya di luar organisasi dan tata kerja (OTK) kampus. Pihak kampus tidak bisa mengontrol siapa yang menjadi takmir masjid, siapa yang menjadi penceramah, dari mana dan bagaimana latar belakang ideologinya, dan sebagainya.
Ketiga, para pengampu mata kuliah agama Islam—karena keterbatasan SDM/dosen—tidak semuanya memiliki kompetensi sebagai dosen agama, melainkan dosen lain yang diminta mengajar mata kuliah tersebut yang berkemungkinan dosen yang bersangkutan sudah terpapar radikalisme. Keempat, Lembaga Dakwah Kampus (LDK) yang didominasi oleh Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia (KAMMI) yang dari sisi ideologi diduga secara laten lebih berkiblat pada gerakan dan ideologi Ikhwanul Muslimin ketimbang ideologi Pancasila.
Berdasarkan fenomena tersebut untuk mencegah radikalisme di kampus, pihak kampus atau pemerintah dari sisi ideologi harus segera menata ulang model rekrutmen dosen dan pegawai di kampus. Demikian pula masjid kampus hendaknya berada di dalam OTK kampus hingga pimpinan kampus mudah untuk mengontrol dan membina kegiatannya. Para dosen agama hendaknya memiliki kompetensi dan berpaham moderat, dan lembaga kemahasiswaan harus ditata ulang sedemikian rupa agar para aktivis mahasiswa di kampus “tidak diasuh” dan dikendalikan pihak eksternal kampus atau oleh partai politik tertentu.
Fenomena radikalisme dan terorisme sesungguhnya merupakan fenomena gunung es (iceberg) akibat berbagai hal yang bersifat kompleks yang telah berlangsung demikian lama. Ia muncul baik akibat kesenjangan pemikiran, ketidakadilan, pemahaman konsep beragama dan bernegara yang keliru, maupun akibat politik dan pengaruh ideologi transnasional melalui jejaring sosial yang marak akhir-akhir ini. Untuk itu, diperlukan ada pendekatan yang komprehensif dan integral untuk memecahkan masalah tersebut baik dengan cara soft power seperti pendekatan kultural, sosial, melalui kontranarasi di pelbagai media dan sosial media, institusi pendidikan, dan lainnya, maupun pendekatan hard power dari aparat keamanan agar lebih sigap lagi memberantas radikalisme dan terorisme.
Guru Besar FISIP dan Wakil Rektor Bidang Kemahasiswaan Universitas Lampung
PENELITIAN Badan Intelijen Negara (BIN) mencatat pada 2017 sekitar 39% mahasiswa dari sejumlah perguruan tinggi (PT) di Indonesia terpapar radikalisme. BIN melaporkan terdapat 24% mahasiswa di PT dan 23,3% siswa di sekolah lanjutan atas (SLTA) setuju dengan jihad dalam rangka menegakkan Negara Islam Indonesia. Malah temuan GP Anshor menyebutkan sejumlah masjid di berbagai lembaga negara termasuk di PT, BUMN, hingga internal Polri sudah terpapar paham tersebut. Bahkan ada anggota Polri yang tertarik dengan ideologi radikal itu. Hasil penelitian Lembaga Pengetahuan Indonesia (LIPI) pada 2016 lebih gawat lagi, terdapat 84,8% siswa dan 76% guru di sekolah setuju dengan penerapan syariat Islam dan yang cukup mengejutkan dalam survei itu ditemukan 4% orang Indonesia menyatakan setuju dengan ISIS (Lampost , 22 Mei 2018).
Radikalisme dan Teologi Agama
Dalam pandangan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme(BNPT), radikalisme merupakan embrio terorisme. Ia merupakan sikap yang mendambakan perubahan secara total dan bersifat revolusioner dengan menjungkirbalikkan nilai-nilai yang ada secara drastis melalui kekerasan dan aksi-aksi yang ekstrem. Ciri yang bisa dikenali dari paham radikal, yaitu 1) intoleran, tidak mau menghargai pendapat dan keyakinan orang lain; 2) fanatik, selalu merasa benar sendiri; 3) eksklusif, membedakan diri dari umat Islam pada umumnya; dan 4) revolusioner, cenderung menggunakan cara kekerasan untuk mencapai tujuan.
Ciri radikalisme ini mirip dengan apa yang dikemukakan oleh Charles Kimball dalam Religion Becomes Evil (2002) bahwa agama akan menjadi bencana atau radikal jika ditandai lima hal, yakni 1) mengklaim kebenaran mutlak (absolute truth claim ), padahal kebenaran mutlak hanya milik Tuhan; 2) menuntut ketundukan buta (blind obedience) yang mengingkari perintah kitab suci untuk berpikir kritis; 3) menginginkan kembali pada masa keemasan ( establishing the ideal times ) yang justru mengingkari gerak waktu yang tak pernah surut ke masa lalu dan tiap zaman memiliki problem tersendiri yang menuntut jawaban berbeda; 4) membenarkan segala cara (the end justifies any means), padahal tujuan yang baik harus ditempuh dengan cara yang baik; 5) menyatakan perang suci (declaring holy wars ), di mana perang sejatinya kotor tidak ada yang suci.
Patut dicatat, radikalisme dalam dunia Islam harus dicari akarnya dalam rumusan teologi Islam itu sendiri. Dalam sejarah Islam aliran teologi sangat beragam mulai dari Khawarij, Murjiíah, Syiíah, Qadariah, Jabariah, Muítazilah, hingga Ahlusunnah Waljamaíah dengan beragam variannya. Teologi ini akan mewarnai pandangan individu, kelompok, partai, atau ormas tertentu. Nahdlatul Ulama misalnya yang berteologi moderat Ahlusunnah Waljamaíah yang berbasis pada teologi Abu Musa Al-Asy’ari akan berbeda moderasinya dengan yang lain yang berteologi Khawarij misalnyayang selalu mengafirkan pihak lain yang tentu saja vis a vis dengan ideologi negara mana pun yang tidak berlabel Islam.
NU dengan teologi Ahlusunnahnya sejak awal berdiri lebih akomodatif dan lebih luwes pandangannya terhadap ideologi negara, bahkan tradisi atau kearifan lokal ( local wisdom ) yang tidak formalistik berlabel Islam. Ormas ini lebih menjaga harmoni ketimbang konflik atau konfrontatif dengan institusi budaya atau adat tradisi lokal sekalipun.
Radikalisme dan Reformasi
Jika kita membuka lembaran sejarah, bibit radikalisme dan terorisme yang menggugat ideologi negara telah hadir pasca-Indonesia merdeka. Semuanya memimpikan bentuk negara Islam dan memandang ideologi lain sebagai kafir belaka. Saat ini patut diduga kemunculan gerakan radikal seperti Jama’ah Islamiyah (JI), Jamaah Ansharut Tauhid (JAT), Jamaah Anshorut Daulah (JAD) boleh jadi beririsan dengan DI dan NII .
Kemunculan radikalisme dan terorisme belakangan ini disebabkan oleh lemahnya pengawasan pemerintah terhadap berkembangnya ideologi tersebut pasca-Reformasi sepanjang 20 tahun terakhir ini. Beberapa kebijakan Orde Baru (Orba) yang menjaga keamanan ideologi negara seperti “bersih diri” dan “bersih lingkungan” bagi calon aparatur negara dihapuskan.
Dalam pendirian partai politik, sejak Reformasi siapa pun di Indonesia bebas mendirikan partai. Dari sisi ideologis persyaratan pendirian partai politik hanya cukup mencantumkan secara formal bahwa partai tersebut berdasarkan Pancasila dan UUD 45 tanpa ditelisik lebih jauh rekam jejak bersih diri dan bersih lingkungan para pendirinya.
Demikian pun dalam dunia pendidikan dan pesantren, tokoh-tokoh tertentu yang pada masa Orba diisolasi dan pergi ke luar negeri pasca-Reformasi mereka pulang ke Tanah Air mendirikan sekolah atau pesantren tanpa terpantau pemerintah ideologi laten yang dibawa mereka. Ditambah menguatnya hegemoni media sosial yang berbasis internet yang demikian mudah dan masif menyebarkan ideologi radikal, sementara di sisi lain sosialisasi dan internalisasi Pancasila sebagai ideologi negara, dan perekat bangsa (binding force) yang pada zaman Orba digalakkan demikian intens, pada masa Reformasi justru ditinggalkan, bahkan terasa ditabukan. Situasi anomali seperti ini sepanjang 20 tahun terus berjalan, dan kemudian bertali temali dengan perkembangan global dan menjadikan radikalisme dan terorisme tumbuh subur di Tanah Air.
Radikalisme
Kemunculan radikalisme di kampus disebabkan oleh tiga hal. Pertama , rekrutmen dosen dan pegawai sejak Era Reformasi dari sisi ideologi tidak lagi mensyaratkan ada bersih diri dan bersih lingkungan seperti yang dilakukan Orba. Kedua, masjid pada hampir semua kampus terutama kampus pendidikan tinggi negeri (PTN) pengelolaannya di luar organisasi dan tata kerja (OTK) kampus. Pihak kampus tidak bisa mengontrol siapa yang menjadi takmir masjid, siapa yang menjadi penceramah, dari mana dan bagaimana latar belakang ideologinya, dan sebagainya.
Ketiga, para pengampu mata kuliah agama Islam—karena keterbatasan SDM/dosen—tidak semuanya memiliki kompetensi sebagai dosen agama, melainkan dosen lain yang diminta mengajar mata kuliah tersebut yang berkemungkinan dosen yang bersangkutan sudah terpapar radikalisme. Keempat, Lembaga Dakwah Kampus (LDK) yang didominasi oleh Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia (KAMMI) yang dari sisi ideologi diduga secara laten lebih berkiblat pada gerakan dan ideologi Ikhwanul Muslimin ketimbang ideologi Pancasila.
Berdasarkan fenomena tersebut untuk mencegah radikalisme di kampus, pihak kampus atau pemerintah dari sisi ideologi harus segera menata ulang model rekrutmen dosen dan pegawai di kampus. Demikian pula masjid kampus hendaknya berada di dalam OTK kampus hingga pimpinan kampus mudah untuk mengontrol dan membina kegiatannya. Para dosen agama hendaknya memiliki kompetensi dan berpaham moderat, dan lembaga kemahasiswaan harus ditata ulang sedemikian rupa agar para aktivis mahasiswa di kampus “tidak diasuh” dan dikendalikan pihak eksternal kampus atau oleh partai politik tertentu.
Fenomena radikalisme dan terorisme sesungguhnya merupakan fenomena gunung es (iceberg) akibat berbagai hal yang bersifat kompleks yang telah berlangsung demikian lama. Ia muncul baik akibat kesenjangan pemikiran, ketidakadilan, pemahaman konsep beragama dan bernegara yang keliru, maupun akibat politik dan pengaruh ideologi transnasional melalui jejaring sosial yang marak akhir-akhir ini. Untuk itu, diperlukan ada pendekatan yang komprehensif dan integral untuk memecahkan masalah tersebut baik dengan cara soft power seperti pendekatan kultural, sosial, melalui kontranarasi di pelbagai media dan sosial media, institusi pendidikan, dan lainnya, maupun pendekatan hard power dari aparat keamanan agar lebih sigap lagi memberantas radikalisme dan terorisme.
(pur)