MK sebagai Pengawal Ideologi Bangsa

Rabu, 06 Juni 2018 - 06:30 WIB
MK sebagai Pengawal...
MK sebagai Pengawal Ideologi Bangsa
A A A
M Iwan Satriawan

Pengurus MUI Provinsi Lampung

DASAR negara bagi se­tiap bangsa me­mi­liki arti penting. Ia merupakan cer­min­­an falsafah hidup suatu bang­sa (filosofische grondslag) dan merupakan ikatan suci yang dapat menyatukan segala bentuk keragaman agama, bu­daya dan suku. Meminjam is­ti­lah Bung Karno, beliau me­nya­takan bahwa landasan falsafah berbangsa dan bernegara me­ru­­pakan “panduan hidup be­r­ne­gara yang di atasnya kita me­n­­­dirikan negara Indonesia”.

Perdebatan mengenai dasar negara di Indonesia sudah di­mulai antara Soekarno dan Natsir. Soekarno yang waktu itu sedang gandrung dengan Mus­tafa Kemal Attaturk, me­mim­pikan bahwa Negara Indonesia ada­lah negara yang me­mi­sah­kan antara urusan agama dan negara (baca: sekuler), se­dang­kan hal ini bertentangan de­ngan model negara yang di­ingin­­kan oleh Natsir, yaitu ne­gara agama yang menjadikan salah satu agama (baca: Islam) sebagai da­sar negara Indonesia.

Namun, sejatinya pe­r­de­bat­an mengenai dasar negara se­cara formal baru dimulai dalam sidang BPUPKI (Dokuritsu Zyun­­bi Tyoosakai). Suasana te­gang dan panas mewarnai ham­pir di setiap persidangan yang membahas mengenai dasar ne­gara. Setidaknya ada dua kubu yang saling berdebat, yaitu kubu dengan dasar agama Is­lam (Ki Bagus Hadikusumo, Ab­dul Ka­har Muzakir , KH Abdul Wahid Hasyim) melawan kubu yang memisahkan antara ne­ga­ra dan agama (Soekarno, Hatta, Soe­pomo).

Perdebatan yang tidak ber­ujung ini membawa ber­bagai konsekuensi. Pertama, In­do­ne­sia tidak jadi merdeka (berarti tetap sebagai negara jajahan); dan yang kedua, Indonesia men­­jadi negara yang terpecah-pe­cah. Maka lahirnya Pancasila se­tidaknya dapat menjadi jem­batan penghubung perdebatan pan­jang dua kubu ini hingga saat ini.

Pancasila sebagai Asas Tunggal

Dalam perkembangannya, khususnya di era rezim Orde Baru, muncul wacana menja­di­kan Pancasila asas tunggal partai politik dan ormas. Hal ini terkait dengan pengalaman era Orde Lama yang menjadikan pe­me­rintahan tidak stabil dan mun­culnya berbagai pem­be­ron­takan karena munculnya sifat sau­vi­nisme ideologi an­tar­go­longan. Bah­kan, Pancasila di­taf­sirkan se­suai kepentingan rezim Soe­har­to yang mana segala ke­giatan yang patut diduga dapat meng­ancam Pancasila di­kri­mi­nalisasi oleh negara ber­da­sar­kan pe­ne­rap­an UU Nomor 11/ PNPS/1963 tentang Pem­be­rantasan Kegiatan Subversi.

Sempat terjadi per­ten­ta­ngan di antara ormas Islam me­ngenai wacana Pancasila se­bagai asas tunggal. Khususnya ber­asal dari kelompok Islam mo­dernis radikal seperti DDII (Dewan Dakwah Islamiyah In­do­nesia) yang digawangi oleh M Natsir. DDII ini yang ke­mudian hari bermetamorfosis menjadi Lembaga Dakwah Kam­pus (LDK) yang di era re­for­masi men­jadi embrio atau cikal bakal berdirinya Partai Keadilan Se­jahtera (PKS).

Berbeda dengan kelompok modernis radikal, kelompok moderat yang diwakili oleh NU dan Muhammadiyah lebih soft (lunak) atau moderat dalam me­nanggapi wacana Pancasila se­bagai asas tunggal. Bagi NU Pan-casila adalah ideologi se­dang­kan Islam adalah agama. Ke­duanya tidak bertentangan dan tidak boleh diper­ten­ta­ng­kan. Keduanya tidak harus di­pilih salah satu dengan se­ka­li­gus mem­buang yang lain. Pe­ne­ri­maan kelompok NU terhadap Pancasila tidak dapat di­le­pas­kan dari sejarah berdirinya bang­sa yang mana NU turut an­dil di da­lamnya. Pancasila bagi NU ada­lah alat pemersatu bang­sa, bu­kan suatu hal yang harus di­ja­dikan agama. Maka me­nem­pat­kan agama dan Pan­ca­sila sesuai porsinya menjadi kunci dari persatuan bangsa.

Taqiyyah Politik

Secara praktik, menurut Din Syamsuddin (2001:151) ada tiga pemikiran dan gerakan mains­tream umat Islam terkait hu­bu­ngan antara agama dan ne­gara. Pertama, aliran for­ma­listis yang menginginkan be­n­tuk-bentuk formal dalam po­li­tik Islam. Me­reka meng­ingin­kan dasar ne­gara Islam, simbol Islam dalam segala aspek ke­hi­dupan harus berdasarkan sya­riat Is­lam. Di satu sisi kelompok ini mengakui Pancasila sebagai ideo­logi ne­ga­ra, namun di sisi lain kelompok ini mem­per­juang­­kan tegaknya syariat Is­lam. Kelompok ini se­dang mem­­praktikkan taqiyyah po­li­tik yaitu berbedanya hati dan kata yang terucap. Simbol-sim­bol negara jarang ditemukan dalam setiap kegiatan kelom­pok ini, justru simbol-simbol ne­gara lain seperti Arab Saudi dan Pa­les­tina sering menempel baik di baju, bendera maupun jaket ka­der-kadernya.

Kedua adalah kelompok subs­­­tantivistik yang lebih me­ne­kan­kan tuntutan ma­ni­fes­tasi subs­tansial nilai-nilai Islam dalam aktivitas politik atau bernegara. Dalam konteks da­sar negara misalnya, sebutan, bentuk, atau simbol boleh be­ragama, namun yang pasti isinya adalah nilai dan ajaran Islam. Ketiga adalah arus fun­damentalisme, yakni arus yang berada di luar dua arus tersebut yang dianggap telah gagal me­nunjukkan Islam se­ba­gai ke­seimbangan tanding da­lam merespons sistem politik yang ada.

Dalam perkembangannya, arus fundamentalisme ini ter­bagi menjadi dua. Pertama fun­damentalisme berbentuk ra­di­kal pemikiran yang tergabung da­lam kelompok HTI, Salafi, FPI, MMI, dan Khilafatul Mus­li­min. Dan, yang kedua adalah ke­lompok radikal gerakan yang di­wakili DI/TII, NII dan ke­lom­pok Imam Samudra dkk.

MK Pengawal Ideologi Negara

Kata ideologi berasal kata “idea” dan “logos”. Idea berasal dari bahasa Yunani ideos yang ber­arti bentuk gagasan, kon­sep, pengertian dasar, cita-cita, dan logos yang berarti ilmu. Jadi secara harfiah, ideologi berarti ilmu tentang pengertian dasar, ide, atau cita-cita.

Pembubaran ormas yang ideo­loginya bertentangan de­ngan ideologi negara oleh pe­me­rintah lebih mendasarkan kepada aspek formal dalam ar­tian jika dalam AD/ART ormas sudah menuliskan berasaskan Pancasila meskipun dalam se­tiap kegiatan dan praktik yang ada jauh dari nilai-nilai Pan­ca­sila, maka ormas tersebut se­ca­ra legal formal sangat sulit un­tuk dapat dibubarkan.

Seperti halnya pembubaran PKI yang berideologi komunis, maka sejatinya ormas-ormas yang ideologinya bertentangan dengan ideologi negara (baca: Pancasila) dapat juga di­bu­bar­kan. Namun, apakah dengan pem­bubaran ormas ini akan juga berimplikasi pada menu­run­nya kader ideologis me­re­ka? Belum tentu, malah justru akan me­mun­culkan ormas-or­mas baru sempalan dari ormas in­duknya yang sudah di­bu­barkan atau bah­kan mereka da­pat me­lak­u­kan gerakan bawah tanah me­nye­lusup dalam or­ganisasi kampus.

Pembubaran ormas yang ideologinya bertentangan de­ngan Pancasila terkait dengan bahayanya kegiatan mereka ter­hadap kehidupan berbangsa dan bernegara khususnya ten­tang semangat hormat dan meng­hormati perbedaan, pe­ny­e­baran sifat dan sikap plu­ra­lisme, dan yang tidak kalah pen­tingnya adalah menjaga per­sa­tuan dan kesatuan bangsa.

Jika ormas-ormas yang te­rus mengampanyekan te­gak­nya sya­riat Islam tidak segera di­ter­tibkan, dikhawatirkan di daerah Indonesia bagian timur yang mayoritas nonmuslim akan ber­buat sama sebagai ben­tuk so­li­daritas saudaranya di daerah Indonesia bagian barat yang minoritas dan harus me­nerima penerapan syariat Islam.

Maka itu, perluasan ke­we­nangan Mahkamah Konstitusi (MK) tidak hanya sebagai pe­ngawal konstitusi namun juga me­ngawal dan menjaga ideo­lo­gi negara menjadi sangat pen­ting. Karena jika Pancasila su­dah tidak dianggap sebagai ideo­logi negara, padahal Pan­ca­sila adalah alat pemersatu bang­sa Indonesia yang terdiri dari berbagai macam suku, budaya, bangsa, dan agama, maka hal ini akan mengancam persatuan dan kesatuan bang­sa. MK dapat membubarkan ormas yang ideo­logi ge­ra­kan­nya ber­ten­ta­ngan dengan Pan­casila se­ba­gai­mana MK dapat juga mem­bu­barkan partai politik dan pe­ng­ajuan­nya oleh negara. Dengan de­mi­kian pem­bubaran ter­se­but dapat dinilai sebagai bubar de­mi hukum bukan karena ego ke­kuasaan semata.
(pur)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.0743 seconds (0.1#10.140)