MK sebagai Pengawal Ideologi Bangsa
A
A
A
M Iwan Satriawan
Pengurus MUI Provinsi Lampung
DASAR negara bagi setiap bangsa memiliki arti penting. Ia merupakan cerminan falsafah hidup suatu bangsa (filosofische grondslag) dan merupakan ikatan suci yang dapat menyatukan segala bentuk keragaman agama, budaya dan suku. Meminjam istilah Bung Karno, beliau menyatakan bahwa landasan falsafah berbangsa dan bernegara merupakan “panduan hidup bernegara yang di atasnya kita mendirikan negara Indonesia”.
Perdebatan mengenai dasar negara di Indonesia sudah dimulai antara Soekarno dan Natsir. Soekarno yang waktu itu sedang gandrung dengan Mustafa Kemal Attaturk, memimpikan bahwa Negara Indonesia adalah negara yang memisahkan antara urusan agama dan negara (baca: sekuler), sedangkan hal ini bertentangan dengan model negara yang diinginkan oleh Natsir, yaitu negara agama yang menjadikan salah satu agama (baca: Islam) sebagai dasar negara Indonesia.
Namun, sejatinya perdebatan mengenai dasar negara secara formal baru dimulai dalam sidang BPUPKI (Dokuritsu Zyunbi Tyoosakai). Suasana tegang dan panas mewarnai hampir di setiap persidangan yang membahas mengenai dasar negara. Setidaknya ada dua kubu yang saling berdebat, yaitu kubu dengan dasar agama Islam (Ki Bagus Hadikusumo, Abdul Kahar Muzakir , KH Abdul Wahid Hasyim) melawan kubu yang memisahkan antara negara dan agama (Soekarno, Hatta, Soepomo).
Perdebatan yang tidak berujung ini membawa berbagai konsekuensi. Pertama, Indonesia tidak jadi merdeka (berarti tetap sebagai negara jajahan); dan yang kedua, Indonesia menjadi negara yang terpecah-pecah. Maka lahirnya Pancasila setidaknya dapat menjadi jembatan penghubung perdebatan panjang dua kubu ini hingga saat ini.
Pancasila sebagai Asas Tunggal
Dalam perkembangannya, khususnya di era rezim Orde Baru, muncul wacana menjadikan Pancasila asas tunggal partai politik dan ormas. Hal ini terkait dengan pengalaman era Orde Lama yang menjadikan pemerintahan tidak stabil dan munculnya berbagai pemberontakan karena munculnya sifat sauvinisme ideologi antargolongan. Bahkan, Pancasila ditafsirkan sesuai kepentingan rezim Soeharto yang mana segala kegiatan yang patut diduga dapat mengancam Pancasila dikriminalisasi oleh negara berdasarkan penerapan UU Nomor 11/ PNPS/1963 tentang Pemberantasan Kegiatan Subversi.
Sempat terjadi pertentangan di antara ormas Islam mengenai wacana Pancasila sebagai asas tunggal. Khususnya berasal dari kelompok Islam modernis radikal seperti DDII (Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia) yang digawangi oleh M Natsir. DDII ini yang kemudian hari bermetamorfosis menjadi Lembaga Dakwah Kampus (LDK) yang di era reformasi menjadi embrio atau cikal bakal berdirinya Partai Keadilan Sejahtera (PKS).
Berbeda dengan kelompok modernis radikal, kelompok moderat yang diwakili oleh NU dan Muhammadiyah lebih soft (lunak) atau moderat dalam menanggapi wacana Pancasila sebagai asas tunggal. Bagi NU Pan-casila adalah ideologi sedangkan Islam adalah agama. Keduanya tidak bertentangan dan tidak boleh dipertentangkan. Keduanya tidak harus dipilih salah satu dengan sekaligus membuang yang lain. Penerimaan kelompok NU terhadap Pancasila tidak dapat dilepaskan dari sejarah berdirinya bangsa yang mana NU turut andil di dalamnya. Pancasila bagi NU adalah alat pemersatu bangsa, bukan suatu hal yang harus dijadikan agama. Maka menempatkan agama dan Pancasila sesuai porsinya menjadi kunci dari persatuan bangsa.
Taqiyyah Politik
Secara praktik, menurut Din Syamsuddin (2001:151) ada tiga pemikiran dan gerakan mainstream umat Islam terkait hubungan antara agama dan negara. Pertama, aliran formalistis yang menginginkan bentuk-bentuk formal dalam politik Islam. Mereka menginginkan dasar negara Islam, simbol Islam dalam segala aspek kehidupan harus berdasarkan syariat Islam. Di satu sisi kelompok ini mengakui Pancasila sebagai ideologi negara, namun di sisi lain kelompok ini memperjuangkan tegaknya syariat Islam. Kelompok ini sedang mempraktikkan taqiyyah politik yaitu berbedanya hati dan kata yang terucap. Simbol-simbol negara jarang ditemukan dalam setiap kegiatan kelompok ini, justru simbol-simbol negara lain seperti Arab Saudi dan Palestina sering menempel baik di baju, bendera maupun jaket kader-kadernya.
Kedua adalah kelompok substantivistik yang lebih menekankan tuntutan manifestasi substansial nilai-nilai Islam dalam aktivitas politik atau bernegara. Dalam konteks dasar negara misalnya, sebutan, bentuk, atau simbol boleh beragama, namun yang pasti isinya adalah nilai dan ajaran Islam. Ketiga adalah arus fundamentalisme, yakni arus yang berada di luar dua arus tersebut yang dianggap telah gagal menunjukkan Islam sebagai keseimbangan tanding dalam merespons sistem politik yang ada.
Dalam perkembangannya, arus fundamentalisme ini terbagi menjadi dua. Pertama fundamentalisme berbentuk radikal pemikiran yang tergabung dalam kelompok HTI, Salafi, FPI, MMI, dan Khilafatul Muslimin. Dan, yang kedua adalah kelompok radikal gerakan yang diwakili DI/TII, NII dan kelompok Imam Samudra dkk.
MK Pengawal Ideologi Negara
Kata ideologi berasal kata “idea” dan “logos”. Idea berasal dari bahasa Yunani ideos yang berarti bentuk gagasan, konsep, pengertian dasar, cita-cita, dan logos yang berarti ilmu. Jadi secara harfiah, ideologi berarti ilmu tentang pengertian dasar, ide, atau cita-cita.
Pembubaran ormas yang ideologinya bertentangan dengan ideologi negara oleh pemerintah lebih mendasarkan kepada aspek formal dalam artian jika dalam AD/ART ormas sudah menuliskan berasaskan Pancasila meskipun dalam setiap kegiatan dan praktik yang ada jauh dari nilai-nilai Pancasila, maka ormas tersebut secara legal formal sangat sulit untuk dapat dibubarkan.
Seperti halnya pembubaran PKI yang berideologi komunis, maka sejatinya ormas-ormas yang ideologinya bertentangan dengan ideologi negara (baca: Pancasila) dapat juga dibubarkan. Namun, apakah dengan pembubaran ormas ini akan juga berimplikasi pada menurunnya kader ideologis mereka? Belum tentu, malah justru akan memunculkan ormas-ormas baru sempalan dari ormas induknya yang sudah dibubarkan atau bahkan mereka dapat melakukan gerakan bawah tanah menyelusup dalam organisasi kampus.
Pembubaran ormas yang ideologinya bertentangan dengan Pancasila terkait dengan bahayanya kegiatan mereka terhadap kehidupan berbangsa dan bernegara khususnya tentang semangat hormat dan menghormati perbedaan, penyebaran sifat dan sikap pluralisme, dan yang tidak kalah pentingnya adalah menjaga persatuan dan kesatuan bangsa.
Jika ormas-ormas yang terus mengampanyekan tegaknya syariat Islam tidak segera ditertibkan, dikhawatirkan di daerah Indonesia bagian timur yang mayoritas nonmuslim akan berbuat sama sebagai bentuk solidaritas saudaranya di daerah Indonesia bagian barat yang minoritas dan harus menerima penerapan syariat Islam.
Maka itu, perluasan kewenangan Mahkamah Konstitusi (MK) tidak hanya sebagai pengawal konstitusi namun juga mengawal dan menjaga ideologi negara menjadi sangat penting. Karena jika Pancasila sudah tidak dianggap sebagai ideologi negara, padahal Pancasila adalah alat pemersatu bangsa Indonesia yang terdiri dari berbagai macam suku, budaya, bangsa, dan agama, maka hal ini akan mengancam persatuan dan kesatuan bangsa. MK dapat membubarkan ormas yang ideologi gerakannya bertentangan dengan Pancasila sebagaimana MK dapat juga membubarkan partai politik dan pengajuannya oleh negara. Dengan demikian pembubaran tersebut dapat dinilai sebagai bubar demi hukum bukan karena ego kekuasaan semata.
Pengurus MUI Provinsi Lampung
DASAR negara bagi setiap bangsa memiliki arti penting. Ia merupakan cerminan falsafah hidup suatu bangsa (filosofische grondslag) dan merupakan ikatan suci yang dapat menyatukan segala bentuk keragaman agama, budaya dan suku. Meminjam istilah Bung Karno, beliau menyatakan bahwa landasan falsafah berbangsa dan bernegara merupakan “panduan hidup bernegara yang di atasnya kita mendirikan negara Indonesia”.
Perdebatan mengenai dasar negara di Indonesia sudah dimulai antara Soekarno dan Natsir. Soekarno yang waktu itu sedang gandrung dengan Mustafa Kemal Attaturk, memimpikan bahwa Negara Indonesia adalah negara yang memisahkan antara urusan agama dan negara (baca: sekuler), sedangkan hal ini bertentangan dengan model negara yang diinginkan oleh Natsir, yaitu negara agama yang menjadikan salah satu agama (baca: Islam) sebagai dasar negara Indonesia.
Namun, sejatinya perdebatan mengenai dasar negara secara formal baru dimulai dalam sidang BPUPKI (Dokuritsu Zyunbi Tyoosakai). Suasana tegang dan panas mewarnai hampir di setiap persidangan yang membahas mengenai dasar negara. Setidaknya ada dua kubu yang saling berdebat, yaitu kubu dengan dasar agama Islam (Ki Bagus Hadikusumo, Abdul Kahar Muzakir , KH Abdul Wahid Hasyim) melawan kubu yang memisahkan antara negara dan agama (Soekarno, Hatta, Soepomo).
Perdebatan yang tidak berujung ini membawa berbagai konsekuensi. Pertama, Indonesia tidak jadi merdeka (berarti tetap sebagai negara jajahan); dan yang kedua, Indonesia menjadi negara yang terpecah-pecah. Maka lahirnya Pancasila setidaknya dapat menjadi jembatan penghubung perdebatan panjang dua kubu ini hingga saat ini.
Pancasila sebagai Asas Tunggal
Dalam perkembangannya, khususnya di era rezim Orde Baru, muncul wacana menjadikan Pancasila asas tunggal partai politik dan ormas. Hal ini terkait dengan pengalaman era Orde Lama yang menjadikan pemerintahan tidak stabil dan munculnya berbagai pemberontakan karena munculnya sifat sauvinisme ideologi antargolongan. Bahkan, Pancasila ditafsirkan sesuai kepentingan rezim Soeharto yang mana segala kegiatan yang patut diduga dapat mengancam Pancasila dikriminalisasi oleh negara berdasarkan penerapan UU Nomor 11/ PNPS/1963 tentang Pemberantasan Kegiatan Subversi.
Sempat terjadi pertentangan di antara ormas Islam mengenai wacana Pancasila sebagai asas tunggal. Khususnya berasal dari kelompok Islam modernis radikal seperti DDII (Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia) yang digawangi oleh M Natsir. DDII ini yang kemudian hari bermetamorfosis menjadi Lembaga Dakwah Kampus (LDK) yang di era reformasi menjadi embrio atau cikal bakal berdirinya Partai Keadilan Sejahtera (PKS).
Berbeda dengan kelompok modernis radikal, kelompok moderat yang diwakili oleh NU dan Muhammadiyah lebih soft (lunak) atau moderat dalam menanggapi wacana Pancasila sebagai asas tunggal. Bagi NU Pan-casila adalah ideologi sedangkan Islam adalah agama. Keduanya tidak bertentangan dan tidak boleh dipertentangkan. Keduanya tidak harus dipilih salah satu dengan sekaligus membuang yang lain. Penerimaan kelompok NU terhadap Pancasila tidak dapat dilepaskan dari sejarah berdirinya bangsa yang mana NU turut andil di dalamnya. Pancasila bagi NU adalah alat pemersatu bangsa, bukan suatu hal yang harus dijadikan agama. Maka menempatkan agama dan Pancasila sesuai porsinya menjadi kunci dari persatuan bangsa.
Taqiyyah Politik
Secara praktik, menurut Din Syamsuddin (2001:151) ada tiga pemikiran dan gerakan mainstream umat Islam terkait hubungan antara agama dan negara. Pertama, aliran formalistis yang menginginkan bentuk-bentuk formal dalam politik Islam. Mereka menginginkan dasar negara Islam, simbol Islam dalam segala aspek kehidupan harus berdasarkan syariat Islam. Di satu sisi kelompok ini mengakui Pancasila sebagai ideologi negara, namun di sisi lain kelompok ini memperjuangkan tegaknya syariat Islam. Kelompok ini sedang mempraktikkan taqiyyah politik yaitu berbedanya hati dan kata yang terucap. Simbol-simbol negara jarang ditemukan dalam setiap kegiatan kelompok ini, justru simbol-simbol negara lain seperti Arab Saudi dan Palestina sering menempel baik di baju, bendera maupun jaket kader-kadernya.
Kedua adalah kelompok substantivistik yang lebih menekankan tuntutan manifestasi substansial nilai-nilai Islam dalam aktivitas politik atau bernegara. Dalam konteks dasar negara misalnya, sebutan, bentuk, atau simbol boleh beragama, namun yang pasti isinya adalah nilai dan ajaran Islam. Ketiga adalah arus fundamentalisme, yakni arus yang berada di luar dua arus tersebut yang dianggap telah gagal menunjukkan Islam sebagai keseimbangan tanding dalam merespons sistem politik yang ada.
Dalam perkembangannya, arus fundamentalisme ini terbagi menjadi dua. Pertama fundamentalisme berbentuk radikal pemikiran yang tergabung dalam kelompok HTI, Salafi, FPI, MMI, dan Khilafatul Muslimin. Dan, yang kedua adalah kelompok radikal gerakan yang diwakili DI/TII, NII dan kelompok Imam Samudra dkk.
MK Pengawal Ideologi Negara
Kata ideologi berasal kata “idea” dan “logos”. Idea berasal dari bahasa Yunani ideos yang berarti bentuk gagasan, konsep, pengertian dasar, cita-cita, dan logos yang berarti ilmu. Jadi secara harfiah, ideologi berarti ilmu tentang pengertian dasar, ide, atau cita-cita.
Pembubaran ormas yang ideologinya bertentangan dengan ideologi negara oleh pemerintah lebih mendasarkan kepada aspek formal dalam artian jika dalam AD/ART ormas sudah menuliskan berasaskan Pancasila meskipun dalam setiap kegiatan dan praktik yang ada jauh dari nilai-nilai Pancasila, maka ormas tersebut secara legal formal sangat sulit untuk dapat dibubarkan.
Seperti halnya pembubaran PKI yang berideologi komunis, maka sejatinya ormas-ormas yang ideologinya bertentangan dengan ideologi negara (baca: Pancasila) dapat juga dibubarkan. Namun, apakah dengan pembubaran ormas ini akan juga berimplikasi pada menurunnya kader ideologis mereka? Belum tentu, malah justru akan memunculkan ormas-ormas baru sempalan dari ormas induknya yang sudah dibubarkan atau bahkan mereka dapat melakukan gerakan bawah tanah menyelusup dalam organisasi kampus.
Pembubaran ormas yang ideologinya bertentangan dengan Pancasila terkait dengan bahayanya kegiatan mereka terhadap kehidupan berbangsa dan bernegara khususnya tentang semangat hormat dan menghormati perbedaan, penyebaran sifat dan sikap pluralisme, dan yang tidak kalah pentingnya adalah menjaga persatuan dan kesatuan bangsa.
Jika ormas-ormas yang terus mengampanyekan tegaknya syariat Islam tidak segera ditertibkan, dikhawatirkan di daerah Indonesia bagian timur yang mayoritas nonmuslim akan berbuat sama sebagai bentuk solidaritas saudaranya di daerah Indonesia bagian barat yang minoritas dan harus menerima penerapan syariat Islam.
Maka itu, perluasan kewenangan Mahkamah Konstitusi (MK) tidak hanya sebagai pengawal konstitusi namun juga mengawal dan menjaga ideologi negara menjadi sangat penting. Karena jika Pancasila sudah tidak dianggap sebagai ideologi negara, padahal Pancasila adalah alat pemersatu bangsa Indonesia yang terdiri dari berbagai macam suku, budaya, bangsa, dan agama, maka hal ini akan mengancam persatuan dan kesatuan bangsa. MK dapat membubarkan ormas yang ideologi gerakannya bertentangan dengan Pancasila sebagaimana MK dapat juga membubarkan partai politik dan pengajuannya oleh negara. Dengan demikian pembubaran tersebut dapat dinilai sebagai bubar demi hukum bukan karena ego kekuasaan semata.
(pur)