Gaji BPIP Harus Pancasilais

Rabu, 30 Mei 2018 - 08:13 WIB
Gaji BPIP Harus Pancasilais
Gaji BPIP Harus Pancasilais
A A A
Presiden Joko Wi­dodo menan­da­ta­nga­ni Peraturan Pre­siden (Per­pres) Nomor 42/2018 tentang Hak Keuangan dan Fasilitas Lain­nya bagi Pimpinan, Pe­ja­bat, dan Pe­ga­wai Badan Pem­binaan Ideo­logi Pancasila (Per­pres K­e­ua­ng­an BPIP).

Per­pres yang ditan­da­ta­ngani Jokowi pada 23 Mei 2018 ini telah me­nim­bul­kan ke­gun­dahan publik ber­kai­tan struk­­tur dan besaran gaji pim­pinan, pe­jabat, dan pe­ga­wai BPIP yang d­i­ra­sakan tidak logis.

Gaji pejabat negara adalah ba­gian dari ke­pen­tingan publik yang wajar bahkan dalam ma­sya­rakat demokratis adalah ke­pentingan yang harus di­res­pons publik. Mengapa? Ka­re­na gaji pejabat tersebut diba­yar­kan dari dana yang di­kum­pul­kan dari uang publik dan publik perlu menilai kepantasan atas dasar struktur dan kinerjanya. Ka­rena itu, patut diapresiasi se­cara dewasa bahwa ke­gun­dah­an publik atas gaji struk­tu­ral BPIP adalah indikator se­hatnya de­mokrasi kita.

Gaji itu mencerminkan dua hal, pertama struktur dan ki­nerja. Logika umum dalam sua­tu struktur apa pun, se­ma­kin tinggi struktur semakin ting­gi tanggung jawab dan ka­renanya gajinya semakin tinggi. Tidak masuk akal jika ada pem­bantu lebih tinggi dari ju­ra­gannya. Kinerja me­ru­pa­kan ha­sil atas dedikasi dan kerja yang diberikan.

Ka­re­na­nya, untuk memotivasi kerja adalah logis setiap prestasi diapresiasi de­ngan gaji lebih dari yang tidak ber­kinerja baik. Karena itu, ti­dak logis lembaga baru, ten­tu belum ber­ki­ner­ja, diapresiasi ber­lebih. Hal tersebut me­ru­pakan pem­bo­ros­an, bahkan akan menim­bulkan kecem­bu­ru­an struk­tu­ral ketatane­ga­raan.

Melanggar Struktur Ketatanegaraan

Secara struktur kelem­ba­ga­an BPIP adalah badan yang se­tara dengan 12 badan lainnya, se­perti BIN, BNPT, BKN, dan lain­nya. Dalam struktur keta­ta­ne­garaan Indonesia, badan me­ru­pakan lembaga pe­me­rin­tah nonkementerian. Kepala badan tingkatannya di­se­ja­jar­kan de­ngan menteri. Di­se­ja­jar­kan se­sungguhnya bukan ber­arti se­ja­jar, ia hanya dianggap sejajar ka­renanya hak ad­mi­nis­trasi dan keuangan badan pa­ling ting­gi sejajar dengan men­teri.

Dengan demikian, lo­gi­kanya kepala ba­dan se­ha­rus­nya bergaji paling tinggi se­tingkat menteri atau boleh di bawahnya.

Dalam Perpres Keuangan BPIP diatur bahwa Megawati Soe­karnoputri sebagai Ketua Dewan Pengarah BPIP mend­a­patkan hak keuangan atau gaji Rp112.548.000 per bulan. Se­men­tara jajaran Anggota De­wan Pengarah masing-masing mendapatkan Rp100.811.000 per bulan. Sementara Kepala BPIP yang dijabat Yudi Latif lebih kecil, yaitu Rp76.500.000. Wakil kepala Rp63.750.000, deputi Rp51.000.000, dan staf khusus Rp36.500.000.

Secara struktur internal BPIP, tidak mungkin dalam struk­tur organisasi ada struk­tur yang le­bih tinggi dari ke­tua/kepala dari lembaga ter­sebut. Karenanya, tidak masuk akal jika kepala BPIP sebagai puncak struktur BPIP gajinya lebih rendah dari dewan pe­ng­arahnya, walaupun orang akan melihat sosok “tokoh be­sar” siapa-siapa orangnya dalam de­wan pengarah tersebut.

Na­mun, ia harus taat struktur se­hingga gaji dewan pengarah yang melebihi kepala badannya hal itu akan merusak struktural dan berakibat mengganggu fung­sio­nal BPIP sendiri.

Secara struktur keta­ta­ne­ga­raan lebih luas, Presiden Jo­ko­wi sejak menjabat pada 2014 ga­ji­nya hanya Rp62.740.030 ber­asal dari gaji pokok dan tun­jangan jabatan. Sementara lem­­baga tinggi negara lainnya ber­dasarkan Peraturan Pe­me­rin­tah Nomor 75/2000 ten­tang Gaji Pokok Pimpinan Lem­­­baga Tertinggi/Tinggi Ne­gara dan Anggota Lembaga Ting­gi Ne­ga­ra serta Uang Ke­hor­matan Ang­gota Lembaga Tertinggi

Ne­ga­ra, disebutkan gaji pokok ter­tinggi pejabat negara, seperti Ketua DPR, MA, dan BPK, se­be­sar Rp5.040.000 per bulan.

Dari paparan di atas, Kepala BPIP saja telah melebihi gaji presiden, apalagi ketua dan an­g­gota dewan pengarahnya. Ke­tua lembaga tinggi negara apa­lagi sangat jauh di ba­wah­nya. Struk­tur gaji yang de­mi­kian sangat merusak struktur ke­ta­ta­­ne­ga­raan, bagaima­na­pun besaran gaji pokok se­mes­ti­nya menjadi cerminan strata ja­batan se­se­orang dalam struk­tur ke­ta­ta­ne­garaan.

Tidak bo-leh ada alibi pe­jabat pelaksana da­lam me­lak­sa­nakan tugasnya ma­sih ditunjang dengan ang­garan operasional. Dana ope­ra­sional harus di­pan­dang se­ba­gai pembiayaan atas ope­ra­sio­nal pejabat dimaksud, tidak di­per­­ke­nankan mengam­bil ke­un­­tu­ngan dari biaya ope­ra­sio­nal. Asumsi tingginya biaya ope­­rasional bagi pejabat walau ga­­j­­inya kecil, ini merupakan pem­­benar atas seloroh publik bahwa pejabat Indonesia ga­ji­nya kecil, tapi pendapatannya besar, itu tamparan bahwa ada inefisiensi yang sedang ber­langsung de­ngan bungkus aturan.

Belum Ada Prestasi Kinerja

BPIP lahir pada Maret 2018, Perpres Keuangan BPIP di­ke­luar­kan pada Mei 2018, dewasa ini mudah menelusur kinerja lem­baga dengan

di-googling saja tergambar bagaimana kinerja lembaga ini.

Mungkin masih di­perdebatkan dengan ke­ber­ada­an lembaga ini yang semula ber­asal dari Unit Kerja Presiden Pem­binaan Ideologi Pancasila (UKP-PIP) dibentuk oleh Pre­siden sejak Mei 2017 lalu telah melakukan serangkaian so­sia­li­sasi dan pembinaan Ideologi Pan­casila. Namun, itu semua be­lum terbukti efektivitas ki­ner­janya selama satu tahun ter­sebut.

Momentum Teladan Pancasilais

Fenomena kegaduhan be­sar­nya gaji pejabat BPIP ini se­makin menyeruak di saat te­tang­ga kita Malaysia sedang me­lakukan “gotong royong” puasa gaji. PM Mahatir Mo­hamad sampai memotong ga­jinya sendiri untuk mengatasi beban utang negaranya. He­roik­nya negara tetangga dalam mengatasi hutang seakan ter­balik dengan perilaku pem­bo­ros­an negara kita dalam meng­gaji pejabatnya.

Sementara men­teri ke­uang­an berdalih, ja­ngan ban­ding­kan Malaysia yang se­dang sulit dengan ne­gara kita masih sehat ke­uangannya. Alibi ini tidak cu­kup memuaskan pu­blik karena faktanya ada “pe­langgaran” struktural dan ki­nerja dalam penentuan gaji pe­jabat BPIP.

Malah sebaiknya, momen ini menjadi hal positif untuk meng­ingatkan semua pihak bahwa ada yang masih sem­ra­wut dalam struktur penggajian pejabat publik kita. Ini perlu segera di­atur agar lebih adil dan me­muas­kan kepercayaan rak­yat dalam mendukung ekonomi bangsa.

Pada akhirnya, problem gaji BPIP ini jangan sampai menjadi blunder, menjadi isu secara ke­lem­­bagaan bagi sosialisasi dan pembinaan Pancasila, pa­dahal tantangan de-ideo­lo­gi­sa­si Pan­ca­sila nyata ada. Ke­ti­dak­adilan struktural penggajian personel BPIP jangan dibiarkan

mem­be­sar hingga menjadi pa­meo: “Pembinaan Pancasila de­ngan tidak Pancasilais” hanya gara-gara gaji yang boros di­per­caya jelas melanggar nilai Pan­casila.

Personel dalam BPIP adalah tokoh-tokoh besar bangsa In­donesia yang sudah melewati ke­pentingan gaji dalam ber­de­dikasi untuk Indonesia. Mereka di­ya­ki­ni memiliki jiwa Pancasila yang patut diteladani.

Oleh karena itu, inilah saatnya per­so­nel BPIP me­nunjukkan suri te­ladan yang utama dalam pe­laksanaan ideo­logi Pancasila dengan menolak me­nerima gaji sebagaimana per­pres tersebut. Hal itu lebih bijak daripada se­kadar mem­per­si­la­kan rakyat un­tuk mengujinya ke Mah­ka­mah Agung.
(nag)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.6231 seconds (0.1#10.140)