Gaji BPIP Harus Pancasilais
A
A
A
Presiden Joko Widodo menandatangani Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 42/2018 tentang Hak Keuangan dan Fasilitas Lainnya bagi Pimpinan, Pejabat, dan Pegawai Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (Perpres Keuangan BPIP).
Perpres yang ditandatangani Jokowi pada 23 Mei 2018 ini telah menimbulkan kegundahan publik berkaitan struktur dan besaran gaji pimpinan, pejabat, dan pegawai BPIP yang dirasakan tidak logis.
Gaji pejabat negara adalah bagian dari kepentingan publik yang wajar bahkan dalam masyarakat demokratis adalah kepentingan yang harus direspons publik. Mengapa? Karena gaji pejabat tersebut dibayarkan dari dana yang dikumpulkan dari uang publik dan publik perlu menilai kepantasan atas dasar struktur dan kinerjanya. Karena itu, patut diapresiasi secara dewasa bahwa kegundahan publik atas gaji struktural BPIP adalah indikator sehatnya demokrasi kita.
Gaji itu mencerminkan dua hal, pertama struktur dan kinerja. Logika umum dalam suatu struktur apa pun, semakin tinggi struktur semakin tinggi tanggung jawab dan karenanya gajinya semakin tinggi. Tidak masuk akal jika ada pembantu lebih tinggi dari juragannya. Kinerja merupakan hasil atas dedikasi dan kerja yang diberikan.
Karenanya, untuk memotivasi kerja adalah logis setiap prestasi diapresiasi dengan gaji lebih dari yang tidak berkinerja baik. Karena itu, tidak logis lembaga baru, tentu belum berkinerja, diapresiasi berlebih. Hal tersebut merupakan pemborosan, bahkan akan menimbulkan kecemburuan struktural ketatanegaraan.
Melanggar Struktur Ketatanegaraan
Secara struktur kelembagaan BPIP adalah badan yang setara dengan 12 badan lainnya, seperti BIN, BNPT, BKN, dan lainnya. Dalam struktur ketatanegaraan Indonesia, badan merupakan lembaga pemerintah nonkementerian. Kepala badan tingkatannya disejajarkan dengan menteri. Disejajarkan sesungguhnya bukan berarti sejajar, ia hanya dianggap sejajar karenanya hak administrasi dan keuangan badan paling tinggi sejajar dengan menteri.
Dengan demikian, logikanya kepala badan seharusnya bergaji paling tinggi setingkat menteri atau boleh di bawahnya.
Dalam Perpres Keuangan BPIP diatur bahwa Megawati Soekarnoputri sebagai Ketua Dewan Pengarah BPIP mendapatkan hak keuangan atau gaji Rp112.548.000 per bulan. Sementara jajaran Anggota Dewan Pengarah masing-masing mendapatkan Rp100.811.000 per bulan. Sementara Kepala BPIP yang dijabat Yudi Latif lebih kecil, yaitu Rp76.500.000. Wakil kepala Rp63.750.000, deputi Rp51.000.000, dan staf khusus Rp36.500.000.
Secara struktur internal BPIP, tidak mungkin dalam struktur organisasi ada struktur yang lebih tinggi dari ketua/kepala dari lembaga tersebut. Karenanya, tidak masuk akal jika kepala BPIP sebagai puncak struktur BPIP gajinya lebih rendah dari dewan pengarahnya, walaupun orang akan melihat sosok “tokoh besar” siapa-siapa orangnya dalam dewan pengarah tersebut.
Namun, ia harus taat struktur sehingga gaji dewan pengarah yang melebihi kepala badannya hal itu akan merusak struktural dan berakibat mengganggu fungsional BPIP sendiri.
Secara struktur ketatanegaraan lebih luas, Presiden Jokowi sejak menjabat pada 2014 gajinya hanya Rp62.740.030 berasal dari gaji pokok dan tunjangan jabatan. Sementara lembaga tinggi negara lainnya berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 75/2000 tentang Gaji Pokok Pimpinan Lembaga Tertinggi/Tinggi Negara dan Anggota Lembaga Tinggi Negara serta Uang Kehormatan Anggota Lembaga Tertinggi
Negara, disebutkan gaji pokok tertinggi pejabat negara, seperti Ketua DPR, MA, dan BPK, sebesar Rp5.040.000 per bulan.
Dari paparan di atas, Kepala BPIP saja telah melebihi gaji presiden, apalagi ketua dan anggota dewan pengarahnya. Ketua lembaga tinggi negara apalagi sangat jauh di bawahnya. Struktur gaji yang demikian sangat merusak struktur ketatanegaraan, bagaimanapun besaran gaji pokok semestinya menjadi cerminan strata jabatan seseorang dalam struktur ketatanegaraan.
Tidak bo-leh ada alibi pejabat pelaksana dalam melaksanakan tugasnya masih ditunjang dengan anggaran operasional. Dana operasional harus dipandang sebagai pembiayaan atas operasional pejabat dimaksud, tidak diperkenankan mengambil keuntungan dari biaya operasional. Asumsi tingginya biaya operasional bagi pejabat walau gajinya kecil, ini merupakan pembenar atas seloroh publik bahwa pejabat Indonesia gajinya kecil, tapi pendapatannya besar, itu tamparan bahwa ada inefisiensi yang sedang berlangsung dengan bungkus aturan.
Belum Ada Prestasi Kinerja
BPIP lahir pada Maret 2018, Perpres Keuangan BPIP dikeluarkan pada Mei 2018, dewasa ini mudah menelusur kinerja lembaga dengan
di-googling saja tergambar bagaimana kinerja lembaga ini.
Mungkin masih diperdebatkan dengan keberadaan lembaga ini yang semula berasal dari Unit Kerja Presiden Pembinaan Ideologi Pancasila (UKP-PIP) dibentuk oleh Presiden sejak Mei 2017 lalu telah melakukan serangkaian sosialisasi dan pembinaan Ideologi Pancasila. Namun, itu semua belum terbukti efektivitas kinerjanya selama satu tahun tersebut.
Momentum Teladan Pancasilais
Fenomena kegaduhan besarnya gaji pejabat BPIP ini semakin menyeruak di saat tetangga kita Malaysia sedang melakukan “gotong royong” puasa gaji. PM Mahatir Mohamad sampai memotong gajinya sendiri untuk mengatasi beban utang negaranya. Heroiknya negara tetangga dalam mengatasi hutang seakan terbalik dengan perilaku pemborosan negara kita dalam menggaji pejabatnya.
Sementara menteri keuangan berdalih, jangan bandingkan Malaysia yang sedang sulit dengan negara kita masih sehat keuangannya. Alibi ini tidak cukup memuaskan publik karena faktanya ada “pelanggaran” struktural dan kinerja dalam penentuan gaji pejabat BPIP.
Malah sebaiknya, momen ini menjadi hal positif untuk mengingatkan semua pihak bahwa ada yang masih semrawut dalam struktur penggajian pejabat publik kita. Ini perlu segera diatur agar lebih adil dan memuaskan kepercayaan rakyat dalam mendukung ekonomi bangsa.
Pada akhirnya, problem gaji BPIP ini jangan sampai menjadi blunder, menjadi isu secara kelembagaan bagi sosialisasi dan pembinaan Pancasila, padahal tantangan de-ideologisasi Pancasila nyata ada. Ketidakadilan struktural penggajian personel BPIP jangan dibiarkan
membesar hingga menjadi pameo: “Pembinaan Pancasila dengan tidak Pancasilais” hanya gara-gara gaji yang boros dipercaya jelas melanggar nilai Pancasila.
Personel dalam BPIP adalah tokoh-tokoh besar bangsa Indonesia yang sudah melewati kepentingan gaji dalam berdedikasi untuk Indonesia. Mereka diyakini memiliki jiwa Pancasila yang patut diteladani.
Oleh karena itu, inilah saatnya personel BPIP menunjukkan suri teladan yang utama dalam pelaksanaan ideologi Pancasila dengan menolak menerima gaji sebagaimana perpres tersebut. Hal itu lebih bijak daripada sekadar mempersilakan rakyat untuk mengujinya ke Mahkamah Agung.
Perpres yang ditandatangani Jokowi pada 23 Mei 2018 ini telah menimbulkan kegundahan publik berkaitan struktur dan besaran gaji pimpinan, pejabat, dan pegawai BPIP yang dirasakan tidak logis.
Gaji pejabat negara adalah bagian dari kepentingan publik yang wajar bahkan dalam masyarakat demokratis adalah kepentingan yang harus direspons publik. Mengapa? Karena gaji pejabat tersebut dibayarkan dari dana yang dikumpulkan dari uang publik dan publik perlu menilai kepantasan atas dasar struktur dan kinerjanya. Karena itu, patut diapresiasi secara dewasa bahwa kegundahan publik atas gaji struktural BPIP adalah indikator sehatnya demokrasi kita.
Gaji itu mencerminkan dua hal, pertama struktur dan kinerja. Logika umum dalam suatu struktur apa pun, semakin tinggi struktur semakin tinggi tanggung jawab dan karenanya gajinya semakin tinggi. Tidak masuk akal jika ada pembantu lebih tinggi dari juragannya. Kinerja merupakan hasil atas dedikasi dan kerja yang diberikan.
Karenanya, untuk memotivasi kerja adalah logis setiap prestasi diapresiasi dengan gaji lebih dari yang tidak berkinerja baik. Karena itu, tidak logis lembaga baru, tentu belum berkinerja, diapresiasi berlebih. Hal tersebut merupakan pemborosan, bahkan akan menimbulkan kecemburuan struktural ketatanegaraan.
Melanggar Struktur Ketatanegaraan
Secara struktur kelembagaan BPIP adalah badan yang setara dengan 12 badan lainnya, seperti BIN, BNPT, BKN, dan lainnya. Dalam struktur ketatanegaraan Indonesia, badan merupakan lembaga pemerintah nonkementerian. Kepala badan tingkatannya disejajarkan dengan menteri. Disejajarkan sesungguhnya bukan berarti sejajar, ia hanya dianggap sejajar karenanya hak administrasi dan keuangan badan paling tinggi sejajar dengan menteri.
Dengan demikian, logikanya kepala badan seharusnya bergaji paling tinggi setingkat menteri atau boleh di bawahnya.
Dalam Perpres Keuangan BPIP diatur bahwa Megawati Soekarnoputri sebagai Ketua Dewan Pengarah BPIP mendapatkan hak keuangan atau gaji Rp112.548.000 per bulan. Sementara jajaran Anggota Dewan Pengarah masing-masing mendapatkan Rp100.811.000 per bulan. Sementara Kepala BPIP yang dijabat Yudi Latif lebih kecil, yaitu Rp76.500.000. Wakil kepala Rp63.750.000, deputi Rp51.000.000, dan staf khusus Rp36.500.000.
Secara struktur internal BPIP, tidak mungkin dalam struktur organisasi ada struktur yang lebih tinggi dari ketua/kepala dari lembaga tersebut. Karenanya, tidak masuk akal jika kepala BPIP sebagai puncak struktur BPIP gajinya lebih rendah dari dewan pengarahnya, walaupun orang akan melihat sosok “tokoh besar” siapa-siapa orangnya dalam dewan pengarah tersebut.
Namun, ia harus taat struktur sehingga gaji dewan pengarah yang melebihi kepala badannya hal itu akan merusak struktural dan berakibat mengganggu fungsional BPIP sendiri.
Secara struktur ketatanegaraan lebih luas, Presiden Jokowi sejak menjabat pada 2014 gajinya hanya Rp62.740.030 berasal dari gaji pokok dan tunjangan jabatan. Sementara lembaga tinggi negara lainnya berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 75/2000 tentang Gaji Pokok Pimpinan Lembaga Tertinggi/Tinggi Negara dan Anggota Lembaga Tinggi Negara serta Uang Kehormatan Anggota Lembaga Tertinggi
Negara, disebutkan gaji pokok tertinggi pejabat negara, seperti Ketua DPR, MA, dan BPK, sebesar Rp5.040.000 per bulan.
Dari paparan di atas, Kepala BPIP saja telah melebihi gaji presiden, apalagi ketua dan anggota dewan pengarahnya. Ketua lembaga tinggi negara apalagi sangat jauh di bawahnya. Struktur gaji yang demikian sangat merusak struktur ketatanegaraan, bagaimanapun besaran gaji pokok semestinya menjadi cerminan strata jabatan seseorang dalam struktur ketatanegaraan.
Tidak bo-leh ada alibi pejabat pelaksana dalam melaksanakan tugasnya masih ditunjang dengan anggaran operasional. Dana operasional harus dipandang sebagai pembiayaan atas operasional pejabat dimaksud, tidak diperkenankan mengambil keuntungan dari biaya operasional. Asumsi tingginya biaya operasional bagi pejabat walau gajinya kecil, ini merupakan pembenar atas seloroh publik bahwa pejabat Indonesia gajinya kecil, tapi pendapatannya besar, itu tamparan bahwa ada inefisiensi yang sedang berlangsung dengan bungkus aturan.
Belum Ada Prestasi Kinerja
BPIP lahir pada Maret 2018, Perpres Keuangan BPIP dikeluarkan pada Mei 2018, dewasa ini mudah menelusur kinerja lembaga dengan
di-googling saja tergambar bagaimana kinerja lembaga ini.
Mungkin masih diperdebatkan dengan keberadaan lembaga ini yang semula berasal dari Unit Kerja Presiden Pembinaan Ideologi Pancasila (UKP-PIP) dibentuk oleh Presiden sejak Mei 2017 lalu telah melakukan serangkaian sosialisasi dan pembinaan Ideologi Pancasila. Namun, itu semua belum terbukti efektivitas kinerjanya selama satu tahun tersebut.
Momentum Teladan Pancasilais
Fenomena kegaduhan besarnya gaji pejabat BPIP ini semakin menyeruak di saat tetangga kita Malaysia sedang melakukan “gotong royong” puasa gaji. PM Mahatir Mohamad sampai memotong gajinya sendiri untuk mengatasi beban utang negaranya. Heroiknya negara tetangga dalam mengatasi hutang seakan terbalik dengan perilaku pemborosan negara kita dalam menggaji pejabatnya.
Sementara menteri keuangan berdalih, jangan bandingkan Malaysia yang sedang sulit dengan negara kita masih sehat keuangannya. Alibi ini tidak cukup memuaskan publik karena faktanya ada “pelanggaran” struktural dan kinerja dalam penentuan gaji pejabat BPIP.
Malah sebaiknya, momen ini menjadi hal positif untuk mengingatkan semua pihak bahwa ada yang masih semrawut dalam struktur penggajian pejabat publik kita. Ini perlu segera diatur agar lebih adil dan memuaskan kepercayaan rakyat dalam mendukung ekonomi bangsa.
Pada akhirnya, problem gaji BPIP ini jangan sampai menjadi blunder, menjadi isu secara kelembagaan bagi sosialisasi dan pembinaan Pancasila, padahal tantangan de-ideologisasi Pancasila nyata ada. Ketidakadilan struktural penggajian personel BPIP jangan dibiarkan
membesar hingga menjadi pameo: “Pembinaan Pancasila dengan tidak Pancasilais” hanya gara-gara gaji yang boros dipercaya jelas melanggar nilai Pancasila.
Personel dalam BPIP adalah tokoh-tokoh besar bangsa Indonesia yang sudah melewati kepentingan gaji dalam berdedikasi untuk Indonesia. Mereka diyakini memiliki jiwa Pancasila yang patut diteladani.
Oleh karena itu, inilah saatnya personel BPIP menunjukkan suri teladan yang utama dalam pelaksanaan ideologi Pancasila dengan menolak menerima gaji sebagaimana perpres tersebut. Hal itu lebih bijak daripada sekadar mempersilakan rakyat untuk mengujinya ke Mahkamah Agung.
(nag)